KHAJANA

Anisa Saraayu
Chapter #5

3. Doki Doki

KAZUKI

Matahari sudah tidur nyenyak namun Kazuki masih harus terjebak di depan tumpukan kertas di ruang kerjanya. Bertopang dagu, Kazuki menatap nanar lembar demi lembar kertas yang seharusnya menjadi tugasnya di hari pertama dia tiba di Khajana. 

Ini akibat Kazuki sok-sokan mengabaikan pekerjaannya saat tiba di Khajana. Sekarang, dia harus menyelami tumpukan kertas ini. 

Menyusahkan.

Kazuki menunduk dan membuang nafas panjang. Percuma mengeluh, kertas-kertas ini tidak akan selesai dengan sendirinya. 

Enggan, Kazuki mengambil satu kertas dari tumpukkan teratas. Laporan keuangan Mayor Goro. 

Dan sebuah catatan kecil. 

Sudah saya periksa dan saya tandai apa yang harus Anda tindaklanjuti - Kichiro

Loh? 

Kazuki mengambil kertas lainnya, dan melihat catatan-catatan kecil yang serupa. Dan setelah melihat hampir setengah tumpukkan kertas itu, tidak ada selembar pun yang luput dari catatan kecil Kichiro.  

Buru-buru Kazuki beranjak dari ruang kerjanya, menuju bangsal tidur di bagian timur gedung. Di salah satu ruang tidur bersama, Kazuki menemukan Kichiro sedang tidur pulas di antara prajuritnya. Kazuki suka heran kenapa pria ini tidak mau tidur sendirian di kamarnya sendiri. Pelan-pelan Kazuki berjingkat mendekati Kichiro dan berjongkok di dekatnya. 

“Kichiro.” Bisiknya sambil mengetuk pelan kepala Kichiro yang langsung terbangun. 

“Ya?” Tanyanya serak. Matanya setengah tertutup tapi Kichiro terlihat cukup awas. 

“Terima kasih untuk catatannya.” Ujar Kazuki sambil menepuk pelan pundak Kichiro. 

“Sama-sama. Ada masalah apa?”

“Eh? Tidak ada, hanya mau bilang itu saja. Kamu boleh--”

“--itu saja?” 

“Iya?”

“Kan bisa besok!” Desis Kichiro kesal sambil menempeleng kepala Kazuki.

“Aduh!” 

“Dasar anak muda tidak tau terima kasih.” Kichiro menggerutu dan menutup kepalanya dengan bantal. 

“Aku kan sudah bilang terima kasih.”

“Ya nggak usah bangunin orang tengah malam juga!” 

“Tapi--”

Kichiro tiba-tiba berdiri dan menarik kerah Kazuki. Dalam diam, Kichiro setengah menyeret atasannya itu keluar kamar. Kazuki mengikuti dengan wajah cerah, seperti anak kecil yang bersemangat mau menerima hadiah. 

Kichiro berhenti dan mendorong Kazuki ke dalam ruang kerja. 

Kazuki berputar dan menyeringai ke arah Kichiro yang menatapnya tajam. 

“Mau bantu kerja lagi?” Tanya Kazuki. 

“Anda kerja, saya tidur.” Kata Kichiro sambil menutup pintu tepat di depan wajah Kazuki. 

Kazuki terkekeh sembari menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Kichiro selalu galak kalau mengantuk. Tapi ya salahnya juga sih karena membangunkan Kichiro. Masalahnya, Kazuki tidak tahu kalau ini masih tengah malam. Dia pikir sebentar lagi matahari akan terbit. 

Malam ini akan jadi malam yang panjang. 

Walau pada akhirnya, ketika Kazuki memutuskan untuk benar-benar menumpahkan perhatiannya pada pekerjaannya, waktu berjalan cepat. Kertas-kertas itu mulai menyita perhatiannya bukan karena menarik, namun karena membuatnya tidak habis pikir. 

Laporan demi laporan ia baca, hampir semuanya berisi keluhan untuk penanggung jawab kota saat itu, Mayor Goro. Mulai dari pungutan liar, keributan dan kekerasan oleh para tentara Azumachi, hingga pelecehan. Selain itu, ada berlembar-lembar permintaan pencarian orang hilang yang belum di proses sama sekali. 

Yang paling membuat Kazuki geram adalah segepok surat permintaan pertanggungjawaban atas kematian beberapa warga. Salah satunya adalah surat permohonan penangkapan anggota Ichi-gun atas pembunuhan dan pemerkosaan. Surat itu tertanggal empat tahun yang lalu. 

Empat tahun. 

Empat tahun surat itu diabaikan begitu saja oleh Goro. Nampaknya wajar kalau penduduk kota mulai diam-diam membentuk perkumpulan pemberontak. Goro memperlakukan kota ini seperti mainannya.

Selain laporan-laporan dari masa pemerintahan Goro, Kichiro juga sudah menandai beberapa dokumen penting terkait orang-orang penting. 

Dengan sebuah memo yang ditulis dengan huruf kapital. 

BACA SEGERA. INI HARUSNYA BACAAN ANDA SEBELUM KEMARI. 

Kazuki terkekeh. Membaca tulisannya saja, Kazuki rasanya bisa mendengar suara Kichiro yang sedang ngomel-ngomel. 

Tapi Kazuki paham. Sebelum kemari, Kazuki memang sedang santai-santainya. Tapi bukan berarti dia tidak menyiapkan diri. Dia punya rencana untuk kota ini. Sudah sewajarnya dia mencari tahu tentang sosok-sosok penting di kota ini. 

Dan sudah sewajarnya juga Kazuki buru-buru menemui semua orang penting itu. Tapi Kazuki sudah menekankan, pejabat kota harus diutamakan. Para tuan besar mungkin punya pengaruh lebih besar. Tapi Kazuki tidak ingin membantu para tuan besar semakin berkuasa di kota ini. 

Kazuki membaca cepat dokumen yang Kichiro tandai. Kurang lebih isinya sama dengan yang ia baca sebelum datang ke Khajana. Aset-aset dan kuasa yang dipegang tiap keluarga sudah Kazuki ingat diluar kepala, bahkan sebelum menginjakkan kaki di kota ini. 

  

Tanpa disadari, matahari sudah mulai merangkak naik. Perehatan mulai terdengar sibuk.

Terdengar ketukan pelan dari pintu. 

“Hmmm?” Gumam Kazuki, masih bingung harus menulis apa sebagai surat balasan kepada atasannya. 

“Kolonel, latihan pagi sudah selesai.” Lapor Kichiro. “Saya juga sudah memimpin apel pagi.”

“Baik. Makanan dari Bungahaken sudah datang?”

“Karena belum memperbarui kontrak, kita hanya dapat makan siang.”

Kazuki mendongak. “Kontrak yang kemarin hanya makan siang?”

Kichiro mengangguk. 

“Ya sudah, nanti biar saya buat kontrak baru. Untuk sarapan hari ini, minta regu 2 untuk memasak. Pasar dekat sini harusnya sudah buka.” Kazuki merogoh sakunya dan mengeluarkan sekantung uang. “Pakai ini saja dulu untuk belanja.”

“Baik.” Kichiro mengambil kantong uang tersebut dari tangan Kazuki. “Oh iya, saya sudah mengirimkan surat kepada Walikota Giri. Beliau sudah setuju untuk bertemu sore ini di kediamannya.”

“Wah, Kichiro kau bisa baca pikiran ku ya?” Tanya Kazuki takjub. “Baru saja aku mau minta tolong.”

Kichiro tidak terlihat terkesan sama sekali. Wajahnya tetap datar tanpa ekspresi. “Bukan. Itu perintah yang seharusnya Anda berikan dari hari pertama.”

Kazuki terkekeh. “Beruntung sekali ya aku punya teman seperti mu.”

Kichiro membuang nafas lelah seraya menundukkan wajahnya. “Sebagai teman Anda, saya sangat berharap Anda bisa cepat-cepat punya sekretaris pribadi agar pekerjaannya saya bisa berkurang.”

“Terus nanti kau kerja apa?”

“Mengerjakan pekerjaan yang lupa Anda kerjakan. Menerima dan memeriksa laporan tiap kapten dan regu. Lalu kembali mengerjakan pekerjaan yang Anda lupa kerjakan. Lalu menjadi ajudan dadakan Anda….” Kichiro terdiam. “Mau saya lanjutkan lagi?”

Kazuki tersenyum canggung. “Nanti coba ku--”

“--Anda sudah bilang hal yang sama setahun terakhir ini.”

Kazuki hanya tertawa kecil.

Kichiro memutar bola matanya, tampaknya sudah kenyang dengan segala alasan Kazuki. “Kalau sampai bulan depan Anda belum dapat sekretaris, saya mengundurkan diri.”

“Kau sudah bilang hal yang sama setahun terakhir.” Kazuki membalas sambil tersenyum jahil dan cepat-cepat menambahkan sebelum Kichiro mulai menceramahinya. “Iya, iya, kali ini aku janji.”

“Janji Anda itu seperti belut, tidak bisa dipegang.”

“Tidak, tidak, saya pastikan janji saya kali ini seperti kura-kura, bisa dipegang.”

Kichiro membuang nafas kesal. “Jangan sampai saya terpaksa harus berdoa pada arwah-arwah.”

Bulu kuduk Kazuki meremang. “Jangan bawa arwah-arwah dong.” Katanya gugup. 

Untuk pertama kalinya, Kichiro tersenyum. Walau senyumnya terlihat mencurigakan. “Kalau begitu, cepat cari sekretaris.”

“Siap!”

Karena Kichiro sudah mengancam macam-macam sebelum tadi ia meninggalkan ruangan, Kazuki memutuskan untuk menghabiskan pagi itu menyelesaikan semua dokumen-dokumen di mejanya. 

Kazuki sudah bertekad. 

Semua harus selesai hari ini. 

Dia bahkan menolak ikut sarapan. 

Tapi tekad Kazuki ternyata hanya bertahan beberapa saat saja. Bukan karena malas, tapi karena mengantuk. 

Kazuki menyandarkan kepalanya ke kursi, menatap langit-langit. 

Kotor sekali, batin Kazuki. Tangannya gatal ingin membersihkan tapi matanya berat. Kalau ada permen manis pasti dia bisa lebih semangat. Tapi malas sekali harus jalan ke pasar.

Mungkin dia bisa memejamkan mata sejenak. 

Semilir angin yang masuk melalui celah kecil di jendela…

Sayup-sayup suara obrolan di perehatan….

Semua terasa seperti lagu tidur. Kazuki pelan-pelan tertidur.

“Kolonel Izumi.”

Kazuki tersentak bangun. “Ya?” Sahutnya setengah sadar. 

Di ambang pintu, anak muda berambut cepak dan mata bulat sedang berdiri menatapnya. 

“Ada apa, Yuto?” Tanya Kazuki. 

“Kapten Maki meminta saya mengingatkan kolonel untuk makan siang!” Lapor Yuto. 

Punggung Kazuki menegak, kantuknya tiba-tiba hilang. “Nona yang mengantar masih di sini?” 

Kenapa jantung Kazuki berdebar-debar begini? Perutnya terasa aneh. Mungkin dia lapar karena belum makan dari pagi. 

“Eh, sudah pulang dari tadi, Kolonel. Ini kan sudah hampir sore.” 

“Ah.” Gumam Kazuki. 

“Tapi sore ini Nona katanya akan kembali untuk mengambil kotak makan siang.” 

Oh, benar juga? Kazuki tidak perlu kecewa. Tapi kenapa juga Kazuki kecewa? Kenapa dia jadi semangat sekali ingin bertemu Hira? 

Apa karena wajah manisnya saat tertawa tadi malam? Atau karena wajahnya yang penuh dengan rasa ingin tahu saat mendengarkannya bercerita tentang kampung halamannya? 

Lucu, kemarin siang Hira hanya seorang sosok wanita cantik dengan senyum sedih di wajahnya. Tapi sejak semalam, wajah wanita itu bolak balik menyelinap ke dalam benaknya. 

Kenapa ya? 

“Kolonel, saya permisi kalau begitu.” Ujar Yuto. 

Kazuki lupa ada Yuto di sana. 

Tiba-tiba, ia teringat sesuatu.

“Yuto , kau bisa menulis, kan?”

“Bisa, Kolonel!” Jawab Yuto tegas seraya menegakkan badan.

“Seingat ku kau juga cukup pandai berhitung.”

“Benar, Kolonel!”

Kazuki menyeringai. Yuto terlihat bingung. 

“Mulai hari ini, kamu saya angkat jadi sekretaris.” 

“HAH!” Pekik Yuto kaget. “Tapi...tapi...saya--”

“--tugas pertama mu,” Potong Kazuki, mengabaikan Yuto yang masih tergagap panik. “Menulis kontrak baru untuk Bungahaken.” 

“Tapi...tapi Kolonel--”

“-- sini, sini.” Panggil Kazuki, tiba-tiba serius. 

Takut, Yuto berjalan mendekat. 

Tiba-tiba Kazuki meletakkan tangannya ke bahu Yuto dan menariknya mendekat. 

“Patroli kota melelahkan, kan?” Bisik Kazuki. 

“Eh, kadang sih.” Yuto menjawab, tidak yakin. 

“Ditambah musim dingin di sini jauh lebih dingin dibandingkan di Kuthamas, loh.”

Yuto mengangguk ragu. 

“Bukannya enak kalau bisa diam di dalam ruangannya yang hangat?”

“I..iya, Kolonel.” 

Kazuki menepuk bahu Yuto yang sontak membuat Yuto loncat di tempat karena kaget. 

“Kalau begitu, kamu sudah siap jadi sekretaris saya HAHAHAH.”

Setelah melemparkan berbagai bujuk rayu, Yuto akhirnya setuju untuk menjadi sekretaris Kazuki. 

“Kolonel...yakin saya yang menulis?” Tanya Yuto gugup. Kazuki sudah memaksanya duduk di belakang meja kecil di pojok ruangan. Selembar kertas putih kosong terhampar di depannya. 

“Yakin.” Jawab Kazuki tegas. 

“Tulis bahwa kita mengganti pesanan makan siang menjadi sarapan.” Kazuki memulai. “Lalu untuk tiap hari pertama di awal minggu, sarapan wajib makanan lokal, bukan makanan Azumachi.” 

Yuto terlihat mulai antusias menulis. 

“Semua tagihan makanan yang masuk sebelum jam tugas berakhir akan dibayarkan oleh Kolonel Izumi Kazuki. Semua tagihan harap diserahkan langsung kepada Kolonel Izumi saat mengantarkan makanan setiap awal minggu.”

Yuto mendongak. “Jadi kita bisa makan siang dan malam gratis di Bungahaken?” Tanya Yuto penuh semangat. 

“Cuman sampai jam malam dimulai. Dan kalian tetap harus masak di akhir pekan.” 

 Yuto mengangguk semangat dan melanjutkan menulis. 

“Berarti tolong tambahkan bahwa tagihan yang dibayar oleh Kolonel Izumi Kazuki hanya tagihan yang masuk di hari kerja. Bukan tagihan di akhir pekan.”

Kazuki menyebutkan beberapa poin lagi sebelum membiarkan Yuto menyelesaikan menulis kontrak sekaligus perhitungannya.

Sembari menunggu, Kazuki berdiri di samping jendela. Matanya memperhatikan jalan di bawah, mencari-cari kereta dari Bungahaken. 

Terutama kereta yang baru saja muncul dari belokan di ujung jalan. 

Senyum merekah di wajah Kazuki. Walau dari lantai dua dan jarak yang cukup jauh, Kazuki tahu pasti wanita yang sedang mengendarai kereta tersebut. Buru-buru dia menghampiri Yuto. 

“Sudah selesai?” Tanyanya.

“Sedikit lagi.”

“Percepat.”

“Baik!”

Lalu mata Kazuki menangkap kotak bekas makan miliknya dan Yuto yang tadi mereka santap sebelum mulai menulis. 

“Saya tunggu di bawah ya.” Ujar Kazuki sembari memungut kotak-kotak makan di ruangan itu dan berjalan keluar. 

Dan ketika sampai di bawah, Kazuki menemukan kotak-kotak makan berserakan di meja makan. Bersih namun jauh dari rapih. 

Dasar anak-anak ini, batin Kazuki. Terlalu lama dilayani di Khutamas sekarang mereka jadi manja. 

Setelah menggulung lengan kemejanya, Kazuki mulai mengangkat kotak-kotak makan tersebut dan meletakkannya di dekat pintu masuk. 

“Permisi.” 

Kazuki menoleh ke arah pintu, mengenali suara lembut itu. 

Hatinya berdesir. 

Buru-buru ia membuka pintu dan langsung berhadapan dengan sosok yang sudah ia tunggu-tunggu. 

Doki doki, begini rasanya? batin Kazuki. 

“Nona Hira.” Sapanya tanpa usaha menyembunyikan senyum lebarnya. 

Bagaimana bisa dia menahan senyum kalau di depannya ada wanita ini. Jika dibandingkan dengan wanita-wanita di Khutamas, mungkin Hira bisa dibilang biasa saja. Rambutnya sama hitamnya. Wajahnya kecil tapi manis. Hidungnya tidak terlalu mancung. Sosoknya kecil tapi terasa kuat. Hira tampil biasa saja namun tetap, jantung Kazuki berdebar penuh harap tiap mendengar namanya. Apalagi melihat wajahnya. 

“Selamat siang, Kolonel Izumi.” Sapa Hira sambil membungkuk kecil. Senyum sopan yang manis tersungging di wajahnya. “Saya datang untuk mengambil kotak makan.”

“Ah iya,” Kazuki mengintip tumpukkan kotak makan disampingnya. Belum ada setengahnya. “Beberapa sudah saya letakkan di dekat pintu. Sisanya akan saya ambil segera.”

Hira mengerutkan dahinya. 

“Anda? Apa tidak ada yang membantu?” 

“Eh?” Kazuki tadi sama sekali tidak kepikiran mencari orang untuk membantunya. “Biar cepat, biar saya saja.”

Hira terlihat tidak puas. Atau bahkan bisa dikatakan bahwa Hira terlihat kecewa. 

Kenapa? Apa ada orang lain yang dia ingin lihat? 

Menepis pikiran tidak penting, Kazuki buru-buru mengangkat sisa kotak makan di dalam. Beberapa kali ia mencuri pandang ke arah Hira. Wajah wanita itu terlihat keras, seperti berusaha menahan diri untuk tidak mengatakan sesuatu. 

“Nona Hira, Anda baik-baik saja?” Tanya Kazuki sembari membantu Hira mengangkat tumpukan kotak terakhir ke keretanya. 

“Saya tidak apa-apa. Hanya agak kedinginan.” Jawab Hira. “Jika tidak ada lagi, saya permisi.”

“Tunggu sebentar.” Kazuki mengeluarkan kontrak yang tadi di tulis Yuto, yang sempat di serahkan di tengah-tengah upayanya membantu Hira mengangkat kotak makanan. “Ini kontrak baru untuk Bungahaken. Jika semuanya berkenan, tolong dicap dan kembalikan kepada saya.” 

“Baik, akan saya serahkan ke mas Gotama.” Ujar Hira. 

“Hati-hati di jalan.” Ujar Kazuki.

Hira terlihat kaget. “Terima kasih.” Balasnya canggung. 

Kazuki berdiri di depan perehatan, menunggu hingga kereta Hira hilang di tikungan ujung jalan. Walau rasa hangat di hatinya menetap bahkan setelah matahari mulai merangkak turun.  


Berjalan di tengah ramainya jalan Khajana sore itu tidak terasa menyesakkan seperti biasanya. Walau kurang tidur dan lapar, Kazuki merasa bersemangat. Lucu. Padahal hanya bertemu Hira sebentar saja tapi rasanya Kazuki bisa lari maraton seharian.

“Kolonel hari ini ceria sekali?” Ujar Touya. 

Kazuki sudah bilang, Touya dan Shigure tidak perlu ikut kalau memang masih banyak pekerjaan. Tapi Kichiro bersikeras. Alasannya, tidak elok kalau seorang perwira datang sendiri menemui orang penting seperti walikota. 

Kata Kichiro, Kazuki harus terlihat berwibawa dan punya kuasa. Tapi kan yang penting obrolannya. 

“Oh ya?” Kazuki bertanya balik, menanggapi Touya sebelum kembali sibuk mengulum permen manisnya.

Lihat selengkapnya