HIRA
“Ayo dong kak, temenin beli tongkat baru.” Rengek Harsha yang sedang duduk di tanah, menarik-narik lengan baju Hira.
“Tapi kamu kan harus ke gudang membantu mas Danu.” Kata Hira yang sedang kesulitan memeras pakaian karena tangannya tertahan lengan baju.
“Tapi nanti sore kak Bara janji mau ngajarin Harsha berantem.” Harsha lanjut merengek.
Hira berusaha tidak menghiraukan rengekan adiknya.
“Aku punya uang kok kak.” Rengekan Harsha makin menjadi. “Ayo kak ke pasar. Kan cuman sebentar. Ayo kaaaaak.”
“Harsha, sudah dong. Kamu nanti dicariin mas Danu.” Hira berusaha berdiri mengangkat keranjang berisi baju basah. Tapi Harsha mengalihkan pegangannya dari tangan Hira ke kakinya. “Harsha, ayo dong.”
“Nggak mau!”
“Nanti sore kita ke pasar. Sekarang kamu harus ke --”
“--nggak mau!”
“Harsha--”
“-- nggak mau!”
“Kamu kenapa keras kepala sekali sih?!” Hira tanpa sadar meninggikan suaranya.
Saat ia menoleh, Harsha terlihat sedang menahan tangis.
Hira mendesah, meletakkan keranjang baju di tanah dan berjongkok di depan Harsha. “Harsha ke gudang, biar kakak yang beli sendiri, bagaimana?”
Harsha mengusap hidungnya yang mulai meler. “Janji?”
“Janji. Nanti Harsya pulang, tongkatnya sudah ada di kamar.” Kata Hira sambil menepuk pelan kepala Harsha.
“Ya udah.” Gumam Harsha yang akhirnya melepaskan pegangannya dan berdiri. “Harsha pergi dulu.”
Hira mengangguk, memperhatikan adiknya berlari-lari kecil menjauh.
Hira menghembuskan nafas dan melanjutkan pekerjaannya. Hari baru mulai tapi Hira rasanya sudah lelah sekali. Bukan hanya lelah karena harus mendengar rengekan Harsha pagi-pagi buta begini. Tapi juga karena harus memaksakan diri bersikap tegas pada Harsha demi melindunginya dari paman Chanda. Yang Harsha tahu, dia bekerja di sawah hanya agar mendapatkan uang saku dari Hira. Yang Harsha tidak tahu, paman mewajibkan semua orang yang menumpang di rumahnya untuk bekerja. Siapapun itu. Dan Harsha bukan pengecualian. Hira merasa lebih baik dia yang memarahi Harsha dan memaksanya bekerja daripada Harsha harus merasakan kemarahan paman.
Hira rela memikulnya sendiri.
Memendamnya sendiri.
Segala pikiran yang berkecamuk di kepala Hira, ditambah berhelai-helai jemuran yang harus ia gantung, membuat Hira tidak sadar sedang diperhatikan seseorang.
“Sejak kapan kamu duduk di situ?” Tanya Hira saat sadar Bara sedang merengut ke arahnya sambil duduk di bangku kayu kecil di depan gudang.
“Sejak matahari belum terbit.” Gerutu Bara.
“Untuk apa?” Tanya Hira bingung.
“Bertapa dan jadi satu dengan tembok gudang.” Balas Bara sekenanya. “Ya nungguin kamu lah!”
Hira baru sadar, kepala Bara berdarah. “Kepalamu kenapa?” Tanyanya khawatir.
“Akhirnya sadar juga.” Kata Bara lega.
“Ya nggak bilang!”
“Kamunya aja nggak perhatian!”
Hira memutar bola matanya. “Tunggu sini.”
“Saya patung.”
Hira beranjak sambil menggerutu. Buru-buru ia ambil kain basah bersih, salep dan perban.
Saat ia kembali, jemurannya sudah tergantung semua tapi Bara terlihat seperti sama sekali belum beranjak dari tempatnya.
Tampaknya Bara menyadari tatapan bingung Hira. “Tadi arwah-arwah di gudang nongol terus menggantung semua jemuran.”
“Wah, terima kasih arwah.” Saut Hira sekenanya sambil berdiri di depan Bara yang masih duduk rapi di bangku. “Rambut.”
Bara menarik rambutnya ke belakang agar Hira bisa membersihkan luka di dahinya.
“Kamu habis kena pukul mas Arah?” Tanya Hira.
“Hah! Ngimpi!” Tukas Bara.
“Terus kenapa?”
“Keseruduk kambing.” Jawab Bara datar.
“Iya, iya.” Hira menggubris seadanya.
“Beneran!”
Hira tertawa pelan. “Iyaaa.”
“Aduh!” Bara meringis saat Hira mengoleskan salep ke lukanya.
“Payah ah.”
“Sakit tau!”
“Katanya patung?”
“Udah bukan!”
Hira kembali tertawa sambil menutup luka Bara dengan perban. “Dah, sana pulang.”
Namun saat Hira melihat wajah Bara, tatapan pria itu kosong. Pikirannya sepertinya sedang melayang entah kemana.
Lalu tiba-tiba Bara melingkarkan tangannya ke pinggang Hira, menariknya mendekat sebelum membenamkan kepalanya ke perut Hira.
Hira terdiam. Kaget. Sudah lama sekali Bara tidak memeluknya seperti ini.
Lalu tawanya pecah saat teringat manjanya Bara saat mereka masih kecil. Segala rengekannya, persis seperti Harsha pagi ini.
“Cup cup cup. Sakit banget ya?” Canda Hira sambil menepuk kecil kepala Bara. Hira sudah siap-siap mendengar omelan Bara.
Tapi pria itu malah diam.
“Bara?” Panggil Hira, tiba-tiba khawatir.
Bara tidak menjawab.
Dan Hira bingung harus apa selain meletakkan tangannya di punggung Bara. Ia membiarkan Bara seperti itu sejenak sambil membiarkan matanya memperhatikan sekelilingnya. Memperhatikan petak-petak kecil salju di pekarangan. Memperhatikan kain-kain jemuran yang menari-nari tertiup angin.
Hira bisa merasakan kepala Bara bergeser.
Lalu tubuh Hira terdorong pelan-pelan. Makin lama makin condong ke belakang.
“Bara! Ntar aku jatuh!” Pekik Hira, berpegangan pada leher Bara.
Lalu Bara tiba-tiba melepaskan pelukannya.
Hira memekik.
Tawa Bara pecah. Tangannya dengan gesit menangkap Hira tepat sebelum dia jatuh.
“HAHAHAHA” Bara tertawa puas dan menarik Hira berdiri.
Kesal, Hira memukul lengan Bara.
“Daaah, aku ada janji dengan paman Chanda.”
Hira menggerutu dan memaki-maki Bara pelan, tidak ingin meneriakkan kata-kata tak pantas di pekarangan rumah paman. Dengan kesal, ia memperhatikan Bara yang melenggang santai menuju ruang belajar paman.
Walau kesal, paling tidak Hira lega melihat Bara sudah kembali jadi bocah menyebalkan lagi.
Setelah berganti pakaian dan mencatat titipan belanja Shanta dan Widuri, Hira bergegas ke pasar. Bukan hanya untuk berbelanja dan membeli tongkat Harsha, tapi juga untuk memberikan surat titipan bibi Lakshmi.
“Tolong berikan ke pelayan keluarga Ranggawuni ya.” Pesan Bibi Lakshmi. “Namanya Aditi. Biasanya ada di tenda penjual ikan dekat gedung penjagalan. Anaknya tinggi, kurus.”
“Baik bibi.”
“Tolong hati-hati ya. Jangan sampai terlihat para ichi-gun.”
Tanpa diberitahu pun Hira juga akan berusaha menjauhkan surat ini dari penglihatan para ichi-gun. Bahaya kalau mereka sampai lihat dan merasa ingin mengintip isi suratnya.
Karena titipan Bibi, Hira yang awalnya merasa biasa-biasa saja menjadi sedikit gugup. Harusnya ini hanya urusan singkat; ke pasar lalu pulang. Tapi sekarang Hira harus jadi pembawa pesan juga. Rasanya Hira ingin cepat-cepat menyelesaikan semuanya.
Tapi cepat-cepat harus agak tertunda karena Hira kesulitan menutup pintu gerbang rumah.
Sudahlah tadi sulit sekali untuk dibuka, sekarang mau ditutup pun sulit. Kenapa pintu ini berat sekali sih?
“Hira-chan!”
Chan? Ichi-gun mana yang berani memanggil dia sok akrab begitu?
Ketika pintu gerbang berhasil ditutup, Hira membalikkan badannya dan melihat seorang pria Azumachi berjalan dengan senyum lebar ke arahnya. Rambutnya tebal lurus jatuh menutupi kuping. Di hidungnya bertengger kacamata berbingkai hitam. Kulitnya putih, jelas-jelas orang Azumachi. Tapi pakaian yang dia kenakan adalah pakaian sehari-hari rakyat Khajana alih-alih seragam ichi-gun.
Hira memicingkan mata. Kalau lelah begini entah kenapa matanya rasanya jadi rabun.
“Nona Hira?” ujar pria itu saat sudah lebih dekat. “Kenapa bingung?”
“Maaf, Anda siapa ya?” Tanya Hira ragu. Apa dia utusan Azumachi? Perwira lain? Tapi kenapa dia sok kenal sekali.
Pria tersebut tersenyum malu. “Oh, maaf.” Katanya seraya melepaskan kacamata dan menarik rambutnya ke belakang. .
Senyum malu nan jenaka. Alis tebal. Codet di pelipis kiri.
Kolonel Izumi?!
Pria asing di depannya ini Kazuki? Mana seragamnya? Kenapa dia berkacamata?
Lebih penting lagi...
“Tuan sedang apa disini?” Tanya Hira sambil berbisik.
“Sedang kabur, Nona mau kemana?” Kazuki balas berbisik seperti anak kecil yang sedang main petak umpet.
“Ke pasar.”
“Saya boleh ikut menemani?”
GUBRAK!
Tampaknya ada sesuatu yang menabrak pagar rumah dari dalam. Selain mengagetkan, suara itu mengingatkan Hira bahwa Bara masih ada di dalam dan bisa muncul kapan saja.
Kalau sampai Bara lihat ada seorang ichi-gun di depan rumah, bisa gawat.
“Ada yang marah-marah kah di dalam rumah anda?” Tanya Kazuki. Walau wajahnya penuh senyum, Hira bisa merasakan keawasan di tatapannya.
Dunia bisa runyam kalau mereka masih berdiam di sini.
“Lebih baik kita cepat-cepat bergegas.” Ujar Hira tanpa pikir panjang.
Kazuki tiba-tiba menawarkan lengannya. “Jadi, boleh saya temani?” tanyanya, masih sambil berbisik dengan nada jenaka. Tak sadar akan binatang buas yang mendekat.
“Boleh.” Jawab Hira sekenanya sambil cepat-cepat berjalan pergi.
Dalam sekejap, Kazuki muncul disampingnya. “Lengan saya kenapa diabaikan?”
“Biar cepat.”
“Oh iya, kenapa kita dari tadi berbisik-bisik ya?”
Eh, benar juga.
Hira berdeham. “Tuan apa tidak bekerja hari ini?” Tanya Hira dengan suara normal.
“Saya ada urusan pagi ini. Tapi tampaknya saya harus kembali dulu ke perehatan.”
“Ada yang tertinggal?”
“Bisa dibilang begitu.” Jawabnya sambil tersenyum lebar.
Terserahlah, pikir Hira. Yang penting mereka mesti cepat-cepat menjauh dari kediaman paman. Kazuki memang tidak mengenakan seragamnya, tapi kulit putihnya tidak bisa menipu. Dia jelas-jelas seorang Azumachi. Dan Bara pasti tidak akan peduli. Ichi-gun atau bukan, orang Azumachi adalah musuh.
Beruntung Kolonel Izumi tidak banyak bertanya. Justru dia terlihat seperti tidak peduli sama sekali dengan tingkah Hira. Pria itu asik mengoceh sepanjang perjalanan hingga mereka tiba di pasar. Mulai dari pemandangan Khajana yang penuh salju hingga puisi-puisi romantis dari Azumachi. Hira tidak tahu harus bersikap bagaimana kecuali menanggapi dengan senyum sopan.
Berjalan malam hari bersama kolonel Izumi rasanya bukan masalah. Jalanan gelap, orang juga tidak akan terlalu peduli.
Tapi siang hari begini, ke pasar. Berjalan berdampingan bersama Kazuki sama saja dengan berjalan dengan seonggok masalah.
Kalau sampai ada kenalan paman yang melihatnya berbelanja di pasar dengan seorang Azumachi, habis sudah riwayat Hira.
Mereka sudah hampir masuk ke pasar ketika Hira berhenti tiba-tiba.
“Ada apa nona?” Tanya Kazuki.
“Tuan bisa tunggu di sini sebentar?” Tanya Hira.
Kazuki terlihat bingung. “Baiklah.”
Hira tersenyum berterima kasih sebelum buru-buru berlari-lari kecil ke arah penjual topi. Dia membeli sebuah topi bertepi lebar.
“Ini untuk tuan.” Ujar Hira seraya menyerahkan topi tersebut kepada Kazuki.
“Wah! Terima kasih banyak!” Ujar Kazuki girang sambil memakai topi tersebut.
Hira menatapnya dengan bingung. Pria ini menerima begitu saja tanpa bertanya apa-apa. Mudah sekali.
Kazuki menyeringai lebar. “Saya merasa seperti seorang petani.”
Ya memang itu topi petani di musim panas. Hira juga kaget ada yang masih menjual topi seperti itu di musim dingin. Tapi beruntung, dengan topi itu wajah Kazuki tidak terlalu terlihat. Akan butuh usaha lebih agar orang bisa melihat bahwa dia adalah seorang Azumachi.
Kazuki tiba-tiba terdiam. Wajahnya seperti sedang berusaha menyelesaikan suatu masalah.
Tanpa berkata apa-apa, Kazuki melepaskan syal di lehernya dan menyampirkannya ke kepala Hira.
Hira tidak bisa bergerak. Membiarkan pria itu memasang syal di kepalanya seperti tudung.
“Nah, kalau begini muka nona jadi tidak terlalu terlihat.” Ujar Kazuki sambil tersenyum.
“Kenapa--”
“--Nona khawatir ada orang yang mengenali kita di pasar kan?” Tanyanya dengan nada jenaka.
Sebelum Hira bisa menjawab apa-apa, Kazuki meletakkan tangannya di bahu Hira dan memutar tubuhnya.
“Hari ini, saya ajudan nona.” Ujarnya sambil mendorong Hira ke arah pasar.
Tapi ajudan apa yang tidak bisa diam begini?
Mau ditutup topeng pun, kalau Kazuki ribut begitu mereka pasti menarik perhatian!
“Nona, saya belikan apel ini bagaimana?”
“Kalau jepit rambut ini?”
“Nona lihat topi ini pasti cocok untuk nona!”
“Nona, biar saya saja yang bawa!”
Pria ini kenapa tidak bisa berhenti bicara? Bara saja tidak sebawel ini.
Kalau dengan Bara, Hira cukup menyeretnya ke sana kemari agar Bara tidak tiba-tiba melayangkan tinju ke orang di pasar.
Tapi kalau ini? Masa Hira harus menyumpal mulut Kazuki? Mulut yang dari tadi sebenarnya sudah sibuk mengulum permen manis.
Dan bukan hanya ceriwis, Kazuki juga suka tiba-tiba saja nimbrung ketika Hira berbelanja. Bukan hanya ikut-ikutan memilih sayuran dan bahan masak lain, Kazuki bersikap kelewat ramah pada para pedagang pasar. Rasanya seperti berjalan dengan diekori matahari berbentuk manusia karena wajah Kazuki tidak henti-hentinya melempar senyum cerah.
Tidak jarang para wanita yang sedang berjualan tersipu malu gara-gara Kazuki. Bahkan setelah mereka sadar bahwa yang sedang mereka ajak bicara dari tadi itu orang Azumachi.
“Wah! Hasil panen nyonya bagus-bagus sekali!” Puji Kazuki saat Hira sedang memilih kubis.
Si ibu penjaga tenda terkekeh. “Matamu jeli juga ya nak.”
“Terima kasih banyak nona! Semangat berjualannya ya!” Ujar Kazuki sebelum pergi dari tenda penjual daging.
Si nona penjaga tenda tersipu malu.
“Biar saya saja yang angkat!” Ujar Kazuki ceria sembari membantu seorang nenek penjual sayur.
Nenek tersebut tersenyum sampai Hira kira mulutnya akan sobek.
“Wah! Ini nona giling sendiri--”
“--terima kasih banyak. Kami permisi.” Potong Hira sebelum cepat-cepat pergi dari tenda penjual bumbu masak.
Samar-samar terdengar suara tawa Kazuki sebelum dia juga pamit meninggalkan tenda.
Kenapa sih pria itu tebar pesona sana sini?
Setelah beres membeli semua pesanan Shanta, Hira mendatangi tenda penjual tongkat yang berada tidak jauh dari rumah jagal. Saat itu Hira teringat surat yang dititipkan Bibi kepadanya.
Haduh. Bagaimana pula caranya Hira bisa kabur sebentar dari Kazuki yang dari tadi mengekor seperti anak ayam?
Tiba-tiba pria itu muncul dari balik pundak Hira.
“Wah, nona tertarik dengan bo juga?” Tanya Kazuki penuh antusias.
“Bukan untuk saya. Ini untuk adik saya.” Jawab Hira sambil memilih-milih tongkat. Namun sejujurnya Hira tidak tahu apa-apa tentang tongkat. Memilihnya pun dia bingung.
“Oh iya, nona mau permen?” Tanya Kazuki sambil menyodorkan permen manis.
Lagi. Pria ini beli permen manis lagi? Bukannya dia baru saja menghabiskan permen ke-duanya? Sekarang sudah asik makan permen lagi?
“Saya tidak suka manis.” Jawab Hira.
Mata Kazuki melebar. Pria itu menutup mulutnya dan terkesiap kaget.
Hira mendengus, berusaha tidak tertawa melihat tingkah dramatis Kazuki.
“Ah, tapi saya maafkan. Karena yang bicara lebih manis daripada permen yang saya makan.”
Hira terbatuk sedikit. Sudah puas menebar pesona ke penjuru pasar sekarang pria ini ganti target? Sudahlah, lebih baik cepat-cepat memilih tongkat dan pulang. Nanti pria di sampingnya ini makin banyak tingkah.
“Mau saya pilihkan?”
Hira mendongak ke arah Kazuki. Ini kesempatan, pikir Hira.
Hira memasang senyum termanisnya. “Dengan senang hati.”
Wajah Kazuki tiba-tiba bersinar, bisa-bisa lebih cerah daripada matahari sendiri. “Adik nona seberapa tinggi?”
“Kurang lebih sepinggang tuan.”
“Kurus?”
“Tidak terlalu.”
Kazuki mengangguk dan mulai memilah-milah tongkat dihadapannya.
Hira menelengkan kepalanya, memperhatikan wajah Kazuki yang terlihat gembira memilihkan tongkat untuk Harsha. Dari caranya memperhatikan tongkat-tongkat yang terpajang, Hira tahu Kazuki benar-benar serius memilih tongkat.
“Maaf tuan, sembari tuan memilih, boleh saya ke penjual ikan terlebih dahulu?”