ARAH
Arah tidak tahu hal penting apa yang Chanda ingin bicarakan sampai mengirim Hira pagi-pagi buta ke rumahnya. Tapi Arah sudah dengar dari salah satu relasinya di kepolisian bahwa kolonel Izumi mempercepat upaya kerjasama tentara Azumachi dengan kepolisian Khajana.
Sesuai perkiraannya.
Semua yang dilakukan kolonel Izumi sesuai dengan tebakannya. Kalau begini terus, rencananya untuk mendayung dua pulau sekaligus bisa tercapai.
“Uhuk! Uhuk!” Arah terbatuk-batuk hebat dan buru-buru menghentikan laju kudanya. Kepalanya tiba-tiba ringan.
Namun Bharata dengan sigap menempatkan dirinya di sisi Arah, menahan pria itu agar tidak terjatuh dari kuda.
Sejak masuk musim dingin, batuknya semakin parah. Arah akan sangat bersyukur kalau bisa melewati musim dingin ini dengan selamat. Dia harus melihat rencananya berhasil dulu baru bisa mati dengan tenang.
“Lain kali saya akan minta pelayan menyiapkan baju yang lebih tebal.” Ujar Bharata, membantu menuntun Arah dan kudanya.
Arah mengangguk mengiyakan, berusaha tetap duduk tegak di kudanya.
Perjalanan ke kediaman Gardapati rasanya lebih melelahkan daripada biasanya. Tiba di sana, Arah meminta Bharata memastikan dirinya tampak sehat.
“Anda terlihat sedikit pucat tapi harusnya wajar dengan udara sedingin ini.” Ujar Bharata sembari menemani Arah menuju ruang belajar Chanda.
Arah mengurut-urut dadanya, merasa agak lebih sesak dari biasanya. “Tolong minta pelayan untuk buatkan minuman hangat.” Ujar Arah pelan.
“Baik tuan.” Sahut Bharata sebelum menunduk kecil dan meninggalkan Arah di depan pintu ruang belajar.
Arah mengetuk.
“Paman Chanda, ini Arah.” Suaranya terdengar agak parau di telinga nya sendiri.
“Masuk.”
Arah membuka pintu, melangkah masuk dan membungkuk memberi hormat.
“Tutup pintu, silahkan duduk.”
Arah mengangguk dan menutup pintu dibelakangnya sebelum duduk di seberang meja kecil di mana Chanda sedang sibuk dengan kertas-kertasnya.
“Ada hal penting apa, paman Chanda?” Tanya Arah begitu ia sudah duduk.
“Paman dengar tentara Azumachi semakin mempercepat upaya kerjasama dengan kepolisian Khajana?” Tanya Chanda sambil meletakkan penanya dan mulai membenahi kertas-kertas di hadapannya.
Arah memilih diam, pura-pura tidak tahu. Informasi terkait kepolisian harusnya jadi ranah keluarga Ruhur Gandawasa, bukan keluarga Ranggawuni.
“Kalau memang benar begitu, bukankah sebaiknya tuan Ruhur juga ada disini?” Tanya Arah. Kalimat pendek begitu saja rasanya sudah membuat dia kehabisan nafas. Nampaknya dia harus cepat-cepat ke dokter dan minta resep obat baru.
“Itu urusan nanti.” Jawab Chanda. Terbesit rasa kesal pada suaranya. “Paman memintamu kemari karena ada yang ingin paman diskusikan.”
Arah mengangguk.
“Apa langkah yang diambil kolonel Izumi ini masuk dalam rencanamu?”
Iya.
“Sayang tidak. Saya tidak menyangka kolonel Izumi punya ambisi sebesar itu untuk mengamankan kota.” Jawab Arah.
Namun paman Chanda tampaknya tidak puas dengan jawaban Arah.
“Saya tahu pada akhirnya akan ada kerjasama antara tentara Azumachi dengan kepolisian. Tapi saya tidak menyangka akan secepat ini. Bahkan dia bergerak tanpa menemui para tetua kota terlebih dulu.”
“Kolonel Izumi adalah pilihanmu kan?”
“Benar.” Jawab Arah tenang. “Tapi dari informasi yang saya dapatkan, kinerjanya tidak pernah segesit ini. Dia terkenal sebagai kolonel yang tidak serius dan sering main-main. Saya sendiri kaget dengan kondisinya saat ini.”
Tentu saja itu bohong. Benar bahwa kolonel Izumi terkenal sebagai kolonel yang tidak becus. Tapi Arah tahu itu akan berubah begitu dia tahu ada anak Jaya Sima di kota ini. Itu adalah kepingan informasi yang susah payah ia dapatkan.
Dan tidak akan ia bagi kepada siapapun.
“Apa solusimu untuk kondisi ini?” Tanya paman Chanda. Dia terlihat masih belum puas tapi Arah tahu Chanda tidak punya bukti apapun tentang kecurigaannya.
Arah terdiam. Bukan karena tidak dapat menjawab, tapi karena sedang berusaha tidak terbatuk-batuk lagi.
Tapi tampaknya dia gagal.
Buru-buru Arah mengeluarkan sapu tangan untuk menutupi mulutnya.
Lalu serangan itu datang. Rasanya seperti ada yang meninju-ninju dadanya. Batuknya datang bertubi-tubi, tidak memberikan kesempatan untuk bernafas.
Dan tiba-tiba berhenti begitu saja.
Arah menarik nafas panjang dan mengangkat lengannya untuk menutupi wajahnya. Hati-hati ia menyeka mulutnya, berharap tidak ada darah yang tertinggal.
Berharap paman tidak menyadari tangannya yang gemetaran.
“Maaf, tampaknya musim dingin mulai mengalahkan saya.” Ujar Arah sembari menurunkan lengannya, berusaha duduk tegak kembali. Sapu tangan penuh darahnya sudah aman tersimpan di kantung bajunya.
Wajah Chanda sulit dibaca namun yang jelas pria tua itu tidak terlihat khawatir sama sekali.
“Lebih baik kamu buru-buru periksakan diri ke dokter.” Ujar Chanda, jelas-jelas hanya basa basi.
Arah mengangguk.
“Untuk solusi yang paman tanyakan.” Ujar Arah, masih berusaha mengatur nafasnya. “Saya rasa kita hanya bisa berusaha mencari celah untuk bergerak. Saya tidak yakin ada yang bisa kita lakukan untuk menghentikan upaya kerjasama mereka.”
Chanda menangkupkan tangannya lalu menyandarkan dagunya. “Arah.” Panggilnya setelah sempat terdiam sejenak. “Belakang ini rencanamu banyak yang meleset. Apa karena sakit?”
Arah menundukkan kepalanya.” Maafkan saya, paman.”
“Paman memintamu datang pagi-pagi begini karena ingin mendapatkan solusi cerdas. Tapi justru saran mu hanya agar kita mencari celah untuk bergerak?”
Arah tidak menjawab. Dia harus diam dulu sampai Chanda mengutarakan kemauannya. Buang-buang waktu menebak-nebak kemauan pria tua itu.
“Kamu merupakan salah satu penasihat Nae Subah terbaik karena kemampuanmu melihat masalah dari berbagai sudut.” Lanjut Chanda. “Tapi ini? Paman kecewa.”
Ah, jadi begitu?
Sekarang Arah tahu, Chanda pasti sudah punya keinginan dan rencana. Minimal untuk menghambat proses kerjasama tentara Azumachi dengan kepolisian Khajana. Tapi pria tua itu menunggu Arah yang menyuarakannya agar kalau gagal, dia bisa punya kambing hitam.
Kalau begitu…
“Kita bisa mempercepat proses kerjasamanya.” Ujar Arah.
Wajah Chanda mengeras. “Kamu mau mempermainkan paman?” Geramnya.
“Bukan begitu, paman. Kalau mereka terburu-buru, persiapannya pasti akan berantakan dan tidak maksimal. Begitu juga dengan kinerjanya. Akan banyak celah untuk tuan Ruhur menyelipkan orang-orangnya dan mendapatkan informasi dari dalam.”
Chanda terdiam.
Arah tahu Chanda pasti enggan. Pria tua itu hanya mau menghambat dan menghancurkan tentara Azumachi. Tapi Arah juga tahu, kesempatan untuk memasukkan orang kedalam kerjasama Azumachi-Khajana tidak bisa dilewatkan begitu saja.
Akhirnya Chanda mengangguk. “Paman akan pikirkan ini. Kita diskusikan nanti malam.”
Arah menunduk kecil, memberi hormat.
“Ada hal penting lain yang ingin paman diskusikan?”
“Dengan senang hati, paman.” Jawab Arah sopan.
“Tentara pemberontak di Banyu mulai kesulitan menghadapi Goro.” Chanda memulai. “Mereka kekurangan celah untuk melebarkan pasukan dan melakukan persiapan untuk pergerakan melawan tentara Azumachi nanti.”
Arah mengangguk. “Saya bisa kirim salah satu relasi saya untuk membantu.”
“Paman ingin kamu sendiri yang kesana.”
Arah terdiam.
“Mohon maaf, paman. Tapi --”
“-- kesuksesan pejuang Banyu juga berpengaruh kepada kesuksesan kita, bukan?”
Tidak, Chanda hanya mau menyingkirkan dirinya. Dari awal pembicaraan pun pria tua itu pasti sudah berencana demikian.
Arah menunduk kecil. “Baik, paman.” Jawabnya tenang.
Chanda tidak langsung menjawab. Arah yakin pria itu kaget karena Arah dengan mudah menerima pengusiran tidak langsung ini.
“Kapan saya harus berangkat?” Tanya Arah. Chanda masih terlihat kaget saat Arah mengangkat wajahnya.
“Paman serahkan kepadamu. Yang jelas harus dalam minggu ini.”
“Baik, paman.”
Chanda berdehem. “Kalau begitu cepat pergi ke dokter. Kita bertemu lagi malam ini untuk membahas pergerakan Nae Subah.”
Kembali dari kediaman Gardapati, Arah menyempatkan diri mampir ke dokter untuk memeriksakan diri sekaligus meminta resep baru. Diluar dugaan, keadaannya tidak memburuk. Nampaknya benar-benar hanya karena cuaca yang terlalu dingin.
Sesampainya di rumah, Arah langsung meminta Bharata memanggil Cakra, komandan pasukan pribadi keluarga Ranggawuni.
“Ada yang ini saya bicarakan dengan kalian.” Ujar Arah begitu Cakra tiba di ruang kerjanya. “Besok lusa saya harus berangkat ke Banyu.”
“Kenapa mendadak sekali, tuan?” Tanya Bharata kaget. “Apa urusan di Banyu sepenting itu? Bagaimana dengan urusan di sini?”
“Itu kenapa saya memanggil kalian berdua--”
Tapi lagi-lagi batuknya menyela pembicaraan. Syukur, kali ini batuknya tidak terlalu lama dan memberatkan.
“Tuan tidak mau istirahat saja dulu?” Tanya Cakra, jelas-jelas khawatir.
Arah menggeleng. “Saya hanya punya dua hari untuk mempersiapkan semua. Kita tidak punya banyak waktu.”
Cakra dan Bharata mengangguk.
“Cakra, lusa kau kawal saya hingga kamp pasukan kita di hutan. Setelah itu saya akan melanjutkan perjalanan bersama Gading dan pasukannya. Kamu harus kembali ke rumah ini secepat mungkin.”
“Baik, tuan.” Jawab Cakra. “Tapi bagaimana kalau ada yang bertanya?”
“Bilang saya sudah dikawal pasukan pemberontak dari Banyu.”
Cakra mengangguk.
“Tugasmu disini melindungi Bharata dan Bara.” Arah melanjutkan. Bharata jelas terlihat bingung.
Arah mengeluarkan sebuah buku kecil dari laci mejanya dan menyerahkannya kepada Bharata.
“Selama saya pergi, kamu yang mengurus semua urusan rumah tangga termasuk memastikan rencana saya di Khajana berhasil.” Ujar Arah, memperhatikan Bharata yang sedang membolak-balik halaman buku yang diberikan Arah. “Kau tinggal ikuti semua instruksi di buku itu. Cakra, kau juga tolong bantu Bharata ya.”
“Bagaimana dengan tuan Bara?” Tanya Cakra.
“Anak itu akan sibuk dengan hal lain. Jadi saya serahkan semua urusan saya di sini kepada kalian berdua.”
Arah mengeluarkan dua amplop putih dari lacinya dan meletakkannya di meja.
“Ini adalah surat bukti alih kepengurusan anak panti.” Ujar Arah sambil menunjuk salah satu amplop. “Begitu terjadi sesuatu pada tuan Ruhur Gandawasa, segera bawa surat ini kepada tuan Parbata Asraya agar kepengurusan anak panti langsung bisa kita ambil alih.”
“Memangnya Anda berencana menyingkirkan tuan Ruhur?” Tanya Bharata khawatir.
Arah menggelengkan kepalanya. “Sejak awal tuan Ruhur sering bergerak sendiri dengan gegabah. Saya yakin cepat atau lambat akan ada sesuatu hal yang menimpanya, bahkan tanpa campur tangan saya.”
Bharata mengangguk.
“Lalu yang amplop yang ini…” Arah mendorong amplop lainnya ke arah Bharata. “Ini hanya untuk berjaga-jaga. Kalau ada yang terjadi kepada saya dan Bara.”
Bharata mengambil amplop yang disodorkan Arah dan mulai membaca isinya.
Matanya terbelalak kaget. Mulutnya terbuka, tampaknya kesulitan menemukan kata untuk berbicara.
“Tu..tuan...ini…” Bharata terbata begitu membaca surat di tangannya. “Saya tidak bisa menerima ini, tuan!”
Wajah Arah mengeras. “Saya sudah bilang, kamu orang kepercayaan saya. Sudah seperti saudara saya sendiri.”
“Tapi...tapi kalau sampai diangkat jadi saudara--”
“-- pada akhirnya kamu juga akan membantu mengurus keluarga ini kan?” Potong Arah. Dia lelah, ingin segera beristirahat. Tapi hal-hal ini harus selesai terlebih dahulu. “Semua kuasa dan aset keluarga tetap akan jatuh ke Bara terlebih dahulu sebelum jatuh kepadamu. Saya rasa itu cukup masuk akal.”
“Ta..tapi…”
“Saya tidak sudi usaha keras keluarga Ranggawuni hilang begitu saja. Terlebih kalau sampai jatuh ke tangan Gardapati.”
Bharata terdiam.
Arah tahu, ini langkah yang sangat riskan. Salah-salah, sepeninggalannya Bara malah akan jadi target Bharata. Tapi Arah sudah mengenal Bharata sejak kecil. Dia percaya pada kesetiaan pria itu. Dan rela bertaruh masa depan untuknya.
“Saya mohon laksanakan tugasmu, Bharata.” Ujar Arah. “Dan ini adalah rahasia kita bertiga sampai nanti saya dan Bara meninggal.”
Bharata berdiri dari kursinya dan bersujud di lantai. “Baik, tuan!”
Arah sengaja mengundur keberangkatannya ke rumah paman Chanda malam itu untuk menunggu Bara. Kalau-kalau anak itu perlu di seret ke pertemuan.
Tapi Bara tidak kunjung muncul juga.
Tiba di kediaman Chanda pun, anak itu tidak ada. Bahkan akhirnya pertemuan dimulai tanpa ada Bara sama sekali.
“Memangnya sama sekali tidak ada cara untuk mengundur kerjasama itu?” Ruhur bersikukuh. Mereka masih alot membahas tentang rencana kerjasama tentara Azumachi dengan kepolisian Khajana. Hal yang sebenarnya sudah Chanda putuskan tadi pagi bersamanya.
Tapi tetap harus buang-buang waktu dibahas lagi sekarang dengan seluruh anggota Nae Subah.
Arah paham, Ruhur pasti resah. Sama seperti Chanda, Ruhur juga punya beberapa rumah judi ilegal. Kalau kepolisian Khajana kembali kuat, ada kemungkinan pemasukan Ruhur berkurang.
“Arah, bagaimana menurutmu?” Tanya Chanda.
“Kita tidak bisa menghambat proses kerjasama itu tanpa menimbulkan kecurigaan.” Jawab Arah tenang. “Tapi kita masih punya kesempatan untuk membuat persiapan mereka berantakan dan bahkan kesempatan untuk menyelipkan orang dalam kita ke dalam kelompok mereka.”
Ruhur bersedekap. Dahinya mengkerut karena sedang berpikir keras. “Maksudmu bagaimana? Tidak menghambat tapi bisa membuat persiapan mereka berantakan. Bukannya itu hal yang sama?”
Arah menggeleng. “Kita bisa memaksa mereka mempercepat pembentukan kerjasama.”
“Gila kamu ya.” Gumam Ruhur kesal. “Kerjasama mereka itu halangan besar untuk kita. Kenapa justru mau dipercepat?”
“Anda kenapa selalu memotong Arah? Dia kan belum selesai menjelaskan.” Parbata menegur.
Ruhur hanya menjawab dengan dengusan kesal.
Arah mulai menjabarkan saran untuk memulai memperbanyak penyerangan di jalur Barat. Ia juga mengusulkan untuk memanfaatkan para Anjing Hitam atau para Nokhoi, bekas simpatisan tentara Wang Dong yang sekarang statusnya tidak lebih dari sekolompok pengangguran yang cuman tahu berkelahi dan berjudi.
Jelas usul ini ditolak keras, bukan saja oleh beberapa tuan besar tapi juga para anggota pejabat yang tergabung dengan Nae Subah dan hadir malam itu.
“Keuangan kota masih berusaha pulih setelah kerusuhan Goro kemarin. Kalau kita lepas para Nokhoi, bisa-bisa kota makin merugi.” Protes Cipto Ismawan. Sebagai penanggung jawab keuangan kota, Arah paham kekhawatiran pria itu.
Madhukar Padma yang merupakan pejabat bagian kemasyarakatan, dan Shyam Rajaswa pejabat bagian sipil pun melontarkan keberatan mereka.
Hanya pejabat bagian pangan dan peternakan Arya Ugraha saja yang terlihat tidak terlalu ambil pusing.
Tapi semua diam begitu Chanda angkat bicara.
“Saya rasa, kita bisa tetap menggunakan bandit jalur Barat dulu untuk sekarang. Kita lihat beberapa hari kedepan sembari tuan-tuan pejabat menyiapkan diri.” Ujarnya. “Kalau serangan jalur barat masih belum cukup untuk mendesak kolonel Izumi, baru kita manfaatkan para Anjing Hitam.”
Wajah-wajah di ruangan itu terlihat resah. Kebanyakan mereka terlihat setuju dengan usul Chanda. Namun mereka juga nampaknya masih tidak nyaman dengan kemungkinan terlibatnya para Anjing Hitam.
“Dengan ini semuanya setuju?” Tanya Chanda, berusaha menarik jawaban dari para anggotanya.
“Saya rasa untuk sekarang seperti ini dulu juga tidak apa-apa.” Asim menyahut. “Nanti kita bahas lagi dalam dua atau tiga hari.”
Yang lain mengangguk setuju.
“Arah, kapan kamu berangkat ke Banyu?” Tanya Chanda.
Dari sudut matanya, Arah bisa melihat wajah-wajah kaget anggota Nae Subah. Jelas berita ini baru untuk mereka.
“Rencananya lusa.” Jawab Arah.
“Untuk apa kamu ke Banyu? Kamu kan penasihat Nae Subah, seharusnya tetap di Khajana.” Tanya Madhukar bingung.
“Nanti pasukan rahasia Ranggawuni bagaimana? Kita sudah kalah jumlah. Kalau pasukan mu ikut ke Banyu, kita akan benar-benar pincang.” Protes Ruhur.
“Bukannya sebagian besar rencana Nae Subah dibuat oleh dirimu?” Asim menimpali. “Kalau kau pergi, siapa yang mengawasi rencana kita?”
Arah diam-diam membuang nafas lelah. Dari tadi Arah memperhatikan Chanda dan pria tua itu tidak menunjukkan tanda-tanda ingin menengahi kerusuhan ini.
Pria tua itu benar-benar melemparkan semua tanggung jawabnya kepada Arah.
Karena pria itu kesal.
Nampaknya Chanda tidak memperhitungkan ini. Dia tidak menyangka mengirim Arah keluar akan menyebabkan para anggota Nae Subah yang lain menjadi panik.
Arah menunduk hormat kepada para anggota Nae Subah. “Saya rasa paman-paman dan tuan-tuan tidak perlu khawatir.” Ujar Arah datar. “Saya yakin tanpa saya pun semua rencana bisa dijalankan dengan baik. Bagaimanapun, kita masih punya paman Chanda.”
Arah bisa melihat rahang Chanda mengeras.
“Saya hanya sebatas penasihat.” Arah melanjutkan. “Lagipula, semua rencana kita hanya akan berujung satu; menghabisi batalyon kolonel Izumi.”
Para anggota Nae Subah yang lain mengangguk kecil.
“Bagaimana kalau kau jelaskan rencana akhirnya kepada kami?” Tanya Chanda.
Maksudnya, kalau-kalau saya tidak pulang? Begitu?
Arah mengangguk hormat.
“Inti penting dari rencana kita adalah mengikis kekuatan batalyon milik kolonel Izumi.” Arah mulai menjelaskan.
“Pelan-pelan, kita bisa meningkatkan kadar serangan dan bahaya di jalur Barat dan jalur Timur. Tentara Azumachi yang mati nanti akan dibebankan kepada para bandit. Dan karena kita juga ikut mengalami kerugian, seharusnya butuh waktu sampai kolonel Izumi benar-benar curiga.”
Para pejabat dan tuan besar terlihat serius mendengarkan.
“Kita juga bisa merekayasa kecelakaan kerja jika memungkinkan. Kolonel Izumi pasti akan punya beberapa proyek pembangunan.”
Arah berhenti, berusaha menjaga nafasnya tetap stabil. Dadanya lagi-lagi terasa berat.
“Namun, mau bagaimanapun usaha kita, pada akhirnya jumlah tentara kolonel Izumi akan tetap lebih besar.”
“Ya, saya setuju. Mayoritas tentaranya pasti ikut patroli kota dan menjaga pos. Belum lagi yang ikut melaksanakan pembangunan.” Sahut Shyam.
Arah mengangguk. “Untuk itu, penting bagi kita memecah pasukan Izumi menjelang perang besar nanti.”
“Maksudmu membagi pasukan ke beberapa titik perang? Tetap saja pasukan kita tidak akan cukup.” Shyam kembali bersuara.
“Tidak. Pada saat kelompok pemberontak di ibu kota bergerak, saya yakin batalyon kolonel Izumi akan dipanggil kembali ke Khutamas.” Arah menjawab. “Walau terkesan tidak kompeten, tapi batalyon Izumi termasuk batalyon yang paling kuat miliki Azumachi.”
“Lalu kenapa kau pilih musuh seperti itu untuk kita urus? Kau tahu kan tentara kita tidak seberapa.” Protes Ruhur kesal.
“Justru ini kesempatan kita.” Jawab Arah tenang. “Saat batalyon kolonel Izumi di panggil nanti, kalau kita bisa memecahnya menjadi dua regu, kita bisa dengan mudah mencegat mereka di jalur Jagar.”
Ruhur mulai terlihat tertarik. Memang, kalau sudah soal menumpahkan darah, pria tua satu itu selalu mudah gembira.
“Tapi bagaimana kita bisa memecah pasukan Izumi? Sepenglihatan saya, mereka cukup kompak.” Tanya Cipto.
“Untuk itu saya yakin nanti paman Chanda bisa memberikan strategi yang tepat ketika waktunya tiba.” Jawab Arah sambil memberi anggukan hormat kepada Chanda.
Arah bisa melihat kilatan amarah yang berusaha disembunyikan Chanda. Pria tua itu pasti tidak mengira Arah akan menyerang balik seperti ini.
Ya, dulu-dulu mungkin Arah tidak akan mau. Tapi berhubung sebentar lagi dia akan ke Banyu, tidak ada salahnya sedikit-sedikit main api dengan Chanda.
“Yang penting kita sudah tahu kunci utama rencana ini.” Asim menimpali dengan tenang. “Saya rasa nanti pelan-pelan kita bisa mencari solusi sembari menjalankan rencana yang ada.”
Pertemuan dilanjutkan dengan pembahasan lain. Hal-hal kecil tentang pergerakan senjata, perkembangan pelatihan para pasukan rahasia, hingga urusan penting relasi dengan para bandit Wang Dong yang menyerang jalur Timur dan Barat.
Ketika pertemuan akhirnya berakhir, semua langsung bergegas pulang.
Kecuali Arah.
Dia memutuskan keluar ruangan terakhir, masih berfikir Bara akan muncul tiba-tiba.
Namun anak itu tidak muncul juga.
Kenapa kamu tidak sudah-sudah membuat masalah sih?
“Mohon maaf, paman.” Ujar Arah sambil membungkuk ke arah Chanda. “Tampaknya Bara malam ini tidak datang. Saya sebagai kepala keluarga Ranggawuni minta maaf.”
“Ah iya, saya lupa bilang.” Ujar Chanda. “Saya mengirim Bara dan beberapa anak panti untuk penyergapan jalur Barat malam ini.”
Arah terdiam, berusaha menjaga air wajahnya.
Karena informasi ini baru keluar ketika para anggota Nae Subah yang lain sudah pergi, Arah yakin ini pasti ulah Chanda seorang diri. Pria tua itu sengaja mengirim Bara bersama anak-anak di malam jadwal patroli tentara Azumachi. Sudah jelas ini pasti salah satu usahanya untuk memojokkan keluar Ranggawuni. Untuk membuat repot hubungan tentara Azumachi dengan Khajana.
Arah memasang senyum sopan sebelum menyahuti Chanda. “Terima kasih sudah mempercayakan tugas tersebut kepada Bara.”
“Kamu sudah semakin berani menjawab ya, Arah?” Ujar Chanda, jelas-jelas berusaha menahan emosinya.
“Begitu juga paman yang sudah mulai terlihat keinginannya.”
“Itu hanya perasaanmu saja.”
“Bisa jadi.”
Seutas senyum sinis tersungging di bibir Chanda. “Sudah, lebih baik kau pulang dan beristirahat sambil berdoa untuk Bara.”
Arah membalas senyum Chanda dengan senyum dinginnya. “Buang-buang nafas berdoa untuk anak itu. Saya yakin dia kembali.”
“Percaya diri sekali.”
Bukan begitu, Arah tahu Chanda pasti mengirim Bara dan para anak panti ke jalur Barat bukan untuk bermain-main dengan nyawa Bara. Tapi untuk mengekang anak itu agar pelan-pelan tunduk pada Chanda.
Dan Arah punya firasat Bara pada akhirnya akan terpeleset dan jatuh ke dalam perangkap Chanda.
Mau bagaimanapun, Bara tidak sepintar itu untuk sadar akan rencana Chanda.
Tapi Arah yakin, selama ada Hira di samping Bara dan selama Bara tidak mati, keluarga Ranggawuni akan baik-baik saja. Bahkan jika kedua kepala keluarganya harus pura-pura jadi pion Chanda.
BARA
Duduk di dahan-dahan besar pepohonan di hutan kaki gunung Gayatri, Bara dan kelima muridnya sedang menggulung diri dengan berlapis-lapis pakaian. Wajah mereka tertutup kain berlapis-lapis juga, hanya meninggalkan celah kecil untuk mata mereka. Hujan salju turun sedari tadi, Bara berdoa semoga hujan tidak berubah menjadi badai. Bara ingin muntah saking gugupnya. Tapi Bara tahu anak-anak disampingnya jauh lebih gugup. Cuaca jauh lebih buruk dibandingkan saat latihan kemarin. Dan untuk pertama kalinya, mereka harus menggunakan senjata tajam.
Bara mengeluarkan kue beras yang dia bawa dari rumah dan melemparkannya ke arah Nayaka.
Kaget, Nayaka beruntung bisa menangkap kue beras yang terbungkus daun tersebut.
“Ambil. Bagi sama anak-anak lain.” Ujar Bara.
Nayaka mengangguk. Wajahnya terlihat sedikit lebih tenang.
“Pucet amat. Dingin?” Canda Bara.
“Mas Bara nggak takut?” Tanya Nayaka sembari mengunyah.
“Takut lah.” Bara mengeluarkan tangannya lalu menggoyangkannya. “Tuh nggak liat tangan aku gemetaran.”
Nayaka terkekeh. “Bohong ah.”
Bara menyeringai. “Dah, tenang aja. Pokoknya kita semua pulang dengan selamat.”
Nayaka tersenyum, mengangguk dengan yakin.
Bara memutar kepala, berusaha mengendurkan otot-otot kaku di leher dan bahunya. Bara ingat dulu saat pertama kali harus benar-benar bertarung dengan tombak bermata tajam, dia tidak takut sama sekali. Namun, dia membatu saat mata tombaknya pertama kali menancap di tubuh seorang ichi-gun. Dia hampir saja terpenggal karena terguncang.
Dan Bara tahu, pasti ada beberapa anak yang nanti akan mengalami hal yang sama. Terlalu kaget untuk bisa terus bertarung.