BARA
Setelah sehari beristirahat di kediaman keluarga Asraya, Bara memutuskan untuk pulang. Darshan masih harus dirawat, sehingga Bara meminta anak-anak lainnya untuk menemani.
“Nanti saya berkunjung lagi. Terima kasih banyak untuk bantuannya, bibi Darmani.” Ucap Bara yang membuat bibi Darmani termenung kaget.
“Sama-sama nak Bara.”
“Hesa, aku titip yang lainnya. Nanti sore aku balik lagi.”
Mahesa mengangguk.
Dari kediaman keluarga Asraya, Bara langsung menuju rumah. Dia enggan membuang tenaga singgah ke kediaman keluarga Gardapati. Walau Bara ingin sekali menemui Hira, tapi Bara tahu kalau sampai ia bertatap muka dengan paman Chanda ia tidak akan sanggup menahan amarahnya.
Bukan.
Bara tidak akan sanggup menahan rasa frustrasinya sendiri.
Pagi itu, jalanan Khajana ramai dengan tentara ichi-gun yang mondar mandir. Lebih ramai dari biasanya. Dan Bara yakin ini semua pasti gara-gara penyergapan kemarin malam.
Bara mengepalkan tangannya keras-keras. Sial. Misinya berantakan. Dia yang membuat aturan tidak boleh membunuh siapapun. Namun dia sendiri yang melemparkan tombaknya ke leher seorang ichi-gun.
Kalau dia mati bagaimana?
Bara mengatupkan rahangnya. Takut.
Sepanjang jalan, tangannya terkepal sampai kuku jarinya memutih. Keringat dingin menetes di punggungnya kendati angin musim dingin berhembus semilir. Suara di sekitarnya terdengar jauh lebih nyaring dari biasanya. Bisik-bisik tetangga terdengar jelas.
“Sudah dengar belum? Katanya ada ichi-gun yang mati di jalur barat.”
DEG
Kaki Bara sontak terasa kaku. Jantungnya rasanya mau meledak. Dadanya sesak.
Mati.
Ichi-gun itu mati.
Berat, kaki Bara terasa berat. Tapi Ia ingin pulang. Luka di pahanya terasa terbakar. Menyakitkan. Tapi Bara tidak peduli. Ia ingin pulang. Langkah demi langkah ia ambil. Tanah di bawah kakinya terasa seperti jembatan tali, bergoyang ke kanan dan ke kiri.
Ayah.
Ibu.
Kak Arah.
Persetan. Siapapun. .
Tolong.
Bara tidak tahu harus merasa apa. Takut? Sedih? Marah? Senang? Bersalah?
Membunuh saat perang tidak pernah mudah untuk Bara. Ujung-ujungnya dia selalu berusaha mengubur memori itu dalam-dalam.
Tapi ini bukan perang.
Bara sedang melakukan penyergapan pedagang tak bersalah. Bukan sedang perang.
Tidak.
Dia membunuh karena harus melindungi Darshan.
Iya kan?
Toh mereka menyerangnya duluan. Bara hanya berusaha selamat.
Iya kan?
Udara yang Bara hirup rasanya tajam, menusuk hidung dan tenggorokannya. Tersengal-sengal, Bara mendorong pintu rumahnya. Dia terpincang-pincang menyebrangi pekarangan rumah yang sedang ramai dengan para prajurit keluarga Ranggawuni. Ia berjalan, mengabaikan Bharata dan Cakra yang memanggilnya. Kaki Bara rasanya berat. Ia menaiki tangga dan terseok-seok di sepanjang selasar.
Langkahnya terhenti ketika melihat Arah muncul di ujung lorong.
Nafas Bara memburu. Dadanya sakit.
Arah terlihat sedang menatap Bara dengan bingung. Pria itu mengenakan pakaian pergi lengkap dengan jubah dan mantel. Pedang terikat di pinggangnya. Rambut panjangnya sudah terikat rapi menjadi ekor kuda hitam di belakang kepalanya.
Untuk sesaat, mata mereka saling bertemu. Tak ada kata yang keluar dari bibir mereka. Hanya keheningan dan nafas berat Bara.
Arah lah yang pertama kali menurunkan pandangannya.
“Bagaimana lukamu?” Tanya Arah.
“Mau kemana?” Bara balik bertanya.
“Ke Banyu sebagai utusan Nae Subah.”
Dada Bara tiba-tiba terasa makin sesak. “Banyu?” Ulang Bara lirih.
Arah mengangguk.
Bara menundukkan kepalanya, berusaha menyembunyikan wajahnya. Tidak tahu apa yang tergambar di wajah Bara, yang pasti Bara tidak mau Arah melihatnya. Bara ingin marah, ingin menangis. Bara ingin melayangkan tinju ke wajah kakaknya.
Dari sudut matanya, Bara bisa melihat Arah berjalan melewatinya. Tiba-tiba, Bara merasakan tangan ramping Arah di kepalanya. Walau hanya sejenak, tapi tepukan pelan itu benar-benar membuat hati Bara remuk. Rasanya ia ingin menghadap kakaknya dan memaki.
Bertanya kenapa giliran dia mau pergi begini dia malah berlaku baik?
Kenapa Arah tidak pernah mau berbicara kepada Bara?
Kenapa Arah selalu diam?
Kenapa Arah selalu pergi?
Memangnya Bara setidak berguna itu?
“Oh ya, Bara,” Panggil Arah. “Ada titipan untuk mu di kamar.”
Bara tidak menyahut. Bara tidak bergerak. Dia berdiri saja mematung di situ. Bara diam, mendengarkan suara-suara pengawal keluarga di luar.
Lalu sepi.
Arah sudah pergi.
Dengan langkah berat, Bara berjalan ke kamarnya. Di tempat tidurnya, ada sebuah benda besar pipih yang terbungkus rapi dengan selembar kain merah tua. Ada selembar kertas kecil di depannya.
Enggan, Bara meraih kertas tersebut dan membacanya.
Bara, selamat ulang tahun ke 20. Maaf kakak harus pergi di hari ulang tahunmu. Walau kakak yakin kau pun tidak akan peduli.
Bara, perisai ini hadiah dariku dan ayah. Bentuk percaya kami bahwa kau akan jadi pelindung kebanggaan keluarga Ranggawuni. Kakak harap, suatu saat nanti, kita bisa bersama-sama mengharumkan kembali nama keluarga Ranggawuni.
Bara, maafkan kakak yang tidak pintar berbicara ini. Kakak sadar kakak adalah sosok yang dingin untukmu. Walau tidak pernah terucap, tapi kakak bangga padamu.
Selamat ulang tahun, adik kecil.
Arah
Rubuh sudah pertahanan Bara. Air mata mengalir deras di pipi Bara. Bahunya bergetar hebat. Nafasnya tersengal-sengal namun raungannya tidak juga mereda.
Arah bodoh! Arah bodoh!
Dasar setan berhati dingin!
Kenapa giliran dia akan pergi begini malah meninggalkan surat seperti ini? Maksudnya apa! Seenaknya saja meninggalkan Bara sendiri.
Bara terpuruk ke lantai. Tangisnya masih menjadi-jadi.
Tolong jangan pergi juga….batin Bara.
Kenapa semuanya pergi?
Ayah.
Ibu.
Manu.
Arah.
Bara harus apa?
ARAH
“Bibi Dalimah, nanti tolong bantu Bharata dan Bara ya.” Ujar Arah sembari berjalan menuju kudanya. Dalimah mengikuti di sampingnya, wajah wanita sepuh itu terlihat sedih.
“Tuan kapan kembali?” Tanyanya parau.
“Anggap saja saya tidak akan pulang.” Jawab Arah tenang.
Pergi ke Banyu dengan adanya orang-orang Goro disana sama saja seperti masuk ke hutan penuh binatang buas dengan mata tertutup. Kalau nanti bisa selamat sampai tentara pusat bergerak saja sudah bagus.
“Bibi akan tetap berdoa untuk kepulangan tuan muda.” Ujar Dalimah sambil membungkuk memberi hormat.
Arah mengangguk dan menaiki kudanya.
“Tuan Bara tidak mengantar anda pergi?” Tanya Cakra yang sudah duduk di atas kuda di sampingnya.
Arah menggeleng. “Kami sudah bertemu tadi di atas.” Ujar Arah sebelum menoleh ke arah Bharata yang sedang berdiri di samping Dalimah.
“Akan sulit untuk mengirim surat dari Banyu. Jadi mungkin saya tidak akan berkabar. Tapi tolong tetap kirimkan surat kepada walikota Banyu agar saya bisa tahu keadaan disini.”
Bharata mengangguk. “Baik, tuan.”
Arah balas mengangguk. Lalu memacu kudanya keluar kediaman Ranggawuni.
Sepanjang jalan menuju jalur Timur, hati Arah tidak tenang. Dia sudah dengar kabar terbunuhnya seorang tentara Azumachi di jalur Barat.
Dan melihat tampang Bara tadi, Arah tahu ketakutannya baru saja menjadi kenyataan. Terpojok karena harus melindungi anak-anak, Bara pasti khilaf membunuh tentara itu.
Itu pasti tujuan Chanda. Meruntuhkan Bara pelan-pelan hingga menjadi bonekanya. Sudah diam-diam mengkhianati ayah, berusaha membuang Arah dan sekarang pria tua itu mau menghancurkan Bara juga.
Kalau begini, Arah harus bisa hidup lama. Agar dia bisa menggorok leher pria tua itu dengan tangannya sendiri.
KAZUKI
Beberapa hari terakhir ini, Kazuki merasa seperti tenggelam. 24 jam sehari rasanya tidak cukup untuk mengurus semuanya. Mondar-mandir mengelilingi Khajana, Kazuki bahkan tidak ingat kapan terakhir kali dia tidur di kasur. Terlalu banyak yang harus diurus. Terlalu banyak laporan yang masuk. Terlalu banyak isu-isu menyebalkan. Ditambah rasa kecewanya atas perubahan sikap para penduduk Khajana. Setelah kejadian di Bungahaken, Kazuki berharap para penduduk akan sedikit percaya pada prajurit Azumachi. Tapi sampai detik ini pun, mereka masuk takut untuk sekedar bertemu mata dengan Kazuki.
Hari itu, Kazuki baru kembali dari sebuah rumah makan di tengah kota untuk bertemu dengan beberapa tetua kota. Dari lima tetua kota, hanya tiga yang hadir hari itu. Tuan Gardapati tidak datang. Alasannya karena Kazuki sudah meminta untuk datang ke kediamannya, jadi dia merasa tidak perlu datang di pertemuan hari ini.
Sedangkan tuan muda Ranggawuni absen karena sedang ada urusan ke luar kota. Adiknya pun sedang sakit, sehingga tidak bisa datang mewakili.
“Mohon maklum, hanya mereka berdua saja yang tersisa dari keluarga besar Ranggawuni.” Ujar tuan Anand tadi siang.
Kazuki berusaha tidak terlalu mempermasalahkan absennya dua perwakilan keluarga itu. Toh kalau memang perlu, nanti Kazuki bisa minta prajuritnya untuk menyelidiki para tuan besar itu.
Rapat dengan para tuan besar kota rasanya seperti berenang di kolam berlumpur. Sulit untuk membawa pembicaraan ke arah yang Kazuki inginkan. Terutama dengan tuan Gandawasa yang sama sekali tidak berusaha menutupi rasa tidak sukanya terhadap Kazuki.
“Buat apa kami berurusan dengan orang Azumachi? Tanpa kalian pun, kami bisa mengurus kota ini.” Ujar Ruhur ketus.
“Jika kita bisa berkoordinasi dengan satu sama lain, akan lebih--”
“--tidak. Saya akan urus urusan saya sendiri.” Potongnya.
Tidak ada pilihan lain selain mengakhiri pertemuan lebih cepat dari yang Kazuki harapkan.
Tapi Kazuki dikejutkan dengan kemunculan pria yang memperkenalkan dirinya sebagai ajudan tuan Arah Ranggawuni. Pria itu muncul tepat saat Kazuki hendak meninggalkan ruang pertemuan, saat para tuan besar lain sudah pergi.
Jelas nampaknya pertemuan ini ingin disembunyikan dari para tuan besar.
“Saya Bharata Drupadi. Mohon maaf saya baru bisa menemui tuan sekarang.” Ujarnya dengna bahasa Azumachi yang cukup lancar sambil membungkuk hormat kepada Kazuki.
“Anda perwakilan keluarga Ranggawuni kalau begitu?” Jawab Kazuki dengan bahasa Swarga.
Bharata menggelengkan kepalanya. “Pertemuan seperti tadi tidak selayaknya diwakilkan oleh ajudan seperti saya.”
“Lalu anda ada perlu apa?”
Bharata menyerahkan sepucuk surat kepada Kazuki. “Ini surat dari tuan Arah. Mohon diterima.”
Ragu, Kazuki menerima surat dari Bharata. Namun alih-alih membacanya, ia memasukan surat tersebut ke dalam kantong bajunya.