KHAJANA

Anisa Saraayu
Chapter #10

8. Ira Ira

KAZUKI


Kazuki ingin tidur. 

Setelah mengurus para begundal semalam, hati Kazuki rasanya lebih lega. Tapi bisa juga karena kemarin dia sudah bisa bertemu Hira. Walau ujung-ujungnya dia merasa hatinya remuk redam saat melihat wanita itu menangis. 

Kazuki meletakkan dagunya di meja, menatap nanar ke arah pintu di seberang ruangan. 

Pasti berat. 

Kazuki tidak tahu cerita Hira. Tapi melihat reaksinya, amarahnya, tangisan nya, Kazuki tahu pasti beban yang dipikul Hira lebih berat daripada apa yang dia perlihatkan. 

Sekarang terjawab sudah pertanyaan Kazuki saat pertama kali melihat wajah Hira. 

Pertanyaan mengapa seperti ada kesedihan yang tersembunyi di balik wajah dinginnya. 

Mengapa sepasang mata kecilnya terlihat mampu mendorong dunia dan isinya. 

Kazuki memiringkan kepalanya ketika pintu di seberang ruangan berayun terbuka dan Kichiro melangkah masuk. 

“Pagi, kapten Maki.” Sapa Kazuki sekenanya tanpa mengangkat kepalanya dari meja. 

Kichiro menghela nafas dan menutup pintu di belakangnya. 

“Minta izin untuk bersikap sebagai teman?” Tanya Kichiro. 

“Izin tidak diberikan.” Gumam Kazuki. 

Tapi nampaknya kata-kata Kazuki tidak dapat dimengerti oleh Kichiro. Pria itu berjalan menyeberangi ruangan, berhenti tepat di depan meja Kazuki, lalu menyentil dahi Kazuki. 

“Aduh.” Gumam Kazuki, terlalu mengantuk untuk benar-benar merasa sakit.

“Dasar anak muda kasmaran!” Omel Kichiro sembari memberikan sentilan kedua. “Pacaran boleh tapi jangan menumpuk kerjaan dong!” 

“Aduh.” Gumam Kazuki ketika sentilan entah keberapa mendarat di dahinya.  

“Sampai kapan anda mau tinggal di sini? Kapan mulai cari rumah?”

“Tidak mau.”

“Lama-lama saya tutup semua pedagang permen-”

“--jangan dong!” Kazuki buru-buru menegakkan tubuhnya. Sentilan Kichiro malah mengenai dagunya. 

“Makanya kerja! Jangan pacaran terus!” 

“Kan cuman kemarin doang!” Kazuki balas protes. 

Kichiro menjedotkan kepala ke kepala Kazuki. “Eh anak muda, gara-gara pacaran kamu kemarin malam jadi tidak memantau pos barat kan?”

Kazuki menggeram dan balas menjedotkan kepala ke kepala Kichiro. “Eh pak tua, selain pacaran semalam aku menangkap tiga begundal Goro! Kan sama aja kerja!”

“Saya baru 29 tahun! Belum tua!” Balas Kichiro berusaha menarik kerah Kazuki. 

“Iya aku juga sudah 23 tahun! Sudah bukan anak kecil!” Kelit Kazuki, ikutan berusaha menarik kerah Kichiro. 

“Kolonel!” 

“Apa?!” Sahut Kichiro dan Kazuki berbarengan. 

Yuto, yang muncul di ambang pintu, terlihat bingung dan ragu. 

Kazuki berdehem dan cepat-cepat merapikan kerah bajunya, berusaha terlihat normal. Kepalanya cenat cenut setelah menyundul kepala Kichiro. Keras juga kepala pria itu. 

“Ya?” Jawab Kazuki, sok berwibawa. 

“Sarapan dari Bungahaken sebentar lagi tiba.”

Kazuki dan Kichiro saling melirik. Kazuki dengan wajahnya yang tiba-tiba cerah seperti matahari musim panas. Kichiro dengan wajahnya yang terlihat siap merantai Kazuki ke kursinya. 

“Kazu--”

“--Kapten Maki! Saya mohon maaf tapi saya permisi!” Potong Kazuki sebelum melesat keluar. Sayup-sayup terdengar omelan Kichiro dari kantornya. 

Saat Kazuki membuka pintu depan perehatan, kereta Hira baru saja berhenti. 

Kazuki tersenyum melihat sosok wanita yang sebenarnya baru saja dia lihat beberapa jam yang lalu. Tapi rasanya Kazuki masih tidak puas juga. 

Kazuki hendak melangkah keluar dari perehatan untuk membantu Hira turun dari kereta. 

Saat ada pria lain muncul dan menggendong Hira turun. 

Digendong?

Itu siapa?

Kazuki tidak pernah melihat pria itu di Bungahaken. Pria berkulit gelap dengan wajah merengut, seperti dari lahir kerjaannya hanya marah-marah saja. Dari rambut panjangnya terikat asal-asalan di belakang kepalanya, Kazuki tahu pria itu pasti dari keluarga besar di kota.

Dan dia terlihat sangat akrab dengan Hira. Kalau saling ngotot dan menggerutu bisa dibilang akrab. 

Kakaknya? 

Tapi seingat Kazuki, Hira hanya punya satu adik laki-laki yang masih kecil.

Pria itu tidak terlihat seperti seorang adik kecil. Lebih cocok jadi preman pasar. 

“Kolonel?” Suara anak buahnya membuyarkan lamunan Kazuki. 

“Ya?” Sahut Kazuki. 

“Kami bantu turunkan makanannya?”

“Oh, iya.” 

Kazuki menoleh dan bertemu mata dengan Hira. 

Wanita itu tersenyum tipis sebelum berjalan ke arahnya. 

Terpincang-pincang. 

Kazuki buru-buru menghampiri dan menyodorkan lengannya. 

“Kaki nona kenapa?” Tanya Kazuki. 

“Ah, tadi pagi saya ceroboh dan keseleo.” Jawab Hira sembari menerima lengan yang disodorkan Kazuki. “Maaf saya jadi terlambat mengantar makan pagi.”

“Harusnya justru nona tidak perlu kemari.”

“Oh ya soal semalam--”

“--nggak usah pegang-pegang.”

Tiba-tiba pria yang tadi datang bersama Hira muncul, mencengkram lengan Hira dan berusaha menariknya. 

Namun Hira tidak melepaskan pegangannya dari lengan Kazuki.

Kazuki tersenyum dan menghentikan tangan pria itu dengan cekeramannya.

“Tuan tidak perlu kasar begitu pada perempuan.” Tegur Kazuki. 

“Hah? Apaan sih?” Bentaknya. 

Eh? Kok galak?

“Bara!” Desis Hira. 

“Apa? Nggak usah deket-deket ama ichi-gun!” Pria itu membentak Hira.

Tangan Kazuki gatal rasanya ingin menyumpal mulut kasar pria di depannya ini. 

Tapi Kazuki urung. 

Sebagai gantinya, ia mengencangkan cengkraman tangannya di lengan Bara. 

Bara melirik cengkraman Kazuki sebelum melempar tatapan tajam ke arah Kazuki. Kalau sepasang mata itu adalah perapian, sudah ada api yang membara berkelip di sana. 

“Cari ribut?” Tanya Bara, sambil menyeringai sinis. Dengan tangan kanannya yang kosong, Bara mencengkram balik lengan Kazuki. 

“Sepertinya Anda yang sedang cari ribut.” Sahut Kazuki sambil tersenyum lebar. 

Untuk sesaat, Kazuki dan Bara hanya saling tatap dan saling cengkram. Lama sedikit, mungkin salah satu lengan mereka akan remuk. 

Tapi tiba-tiba Hira menarik tangannya, membuat Kazuki dan Bara tiba-tiba kehilangan tempat bertumpu. 

Kazuki hampir terjerembab namun cepat-cepat menegakkan tubuhnya. 

Tapi kepalanya malah menghantam dagu Bara yang juga nampaknya hampir terjerembab. 

“Aduh!” Protes Bara. 

Kepala Kazuki juga sakit karena terpentok dagu Bara yang lancip. Tapi Kazuki tidak punya pilihan selain memasang wajah datar. 

“Dasar anak-anak.” Gumam Hira kesal sembari terpincang-pincang berjalan masuk ke perehatan. 

“Saya permisi.” Ujar Kazuki buru-buru dan membuntuti Hira masuk ke perehatan. 

Tapi sebelum Kazuki bisa meraih Hira, Yuto tiba-tiba muncul menghalangi jalannya.

“Apa?” Tanya Kazuki tidak sabar. 

Lihat selengkapnya