BARA
Bengong itu, kenapa enak? Batin Bara.
Menyandarkan diri di kedua lengannya, mata Bara menatap nanar langit-langit ruang belajar paman Chanda. Para wakil keluarga sedang alot mendiskusikan rencana Nae Subah selanjutnya. Ruangan kecil itu rasanya seperti kandang anjing, bising. Semua marah, kesal, dan terpojok. Bara tidak mengerti, tapi yang ia dengar tampaknya walikota mulai mengesahkan aturan tentang kepemilikan lahan kerja dan upah minimum pekerja.
Tidak bisa bohong, Bara sedikit terhibur melihat wajah si tua Chanda memerah karena panik ladang uangnya mulai terancam. Belum lagi si kolonel Izumi yang ternyata mulai menugaskan tentaranya berjaga di gudang-gudang untuk memantau pengolahan dan penyimpanan pangan. Sudah jelas membuat Chanda naik pitam.
Tapi kepedulian Bara pada diskusi ini hanya sampai situ. Toh ikut diskusi pun Bara tidak akan mengerti. Perkara beras, pangan, lahan mana Bara paham.
“Saya setuju, kita harus terlihat lebih khawatir masalah serangan bandit di jalur Barat.” Ujar Ruhur Gandawasa, tuan besar yang mengawasi hampir setengah pedagang di Khajana. “Nanti biar saya yang urus.”
Preman kaya, batin Bara.
“Terima kasih.” Sahut Chanda. “Selanjutnya kita bisa mulai penyebaran isu. Dengan semakin meningkatnya jumlah beras tidak layak makan dan adanya para tentara Azumachi yang menjaga gudang, kita bisa menjadikan mereka sebagai kambing hitam.”
“Bahwa mereka yang memaksa menukar beras dengan beras tidak layak makan?” Tanya Ruhur.
“Bahwa mereka yang memaksa mengedarkan beras tidak layak makan agar mereka bisa mendapatkan lebih banyak jatah beras layak makan.” Jawab Chanda.
Bara membuang nafas lelah. Lama sekali rapat ini.
Kenapa langit-langit ruangan ini bisa bersih banget gitu sih?
Gimana cara bersihinnya? Padahal kan tinggi sekali.
Hira kenapa ya?
Manu kapan pulang ya?
Lapar…
Tapi mules...
“Bara.” Panggil paman Chanda.
“Hmmm?” Jawab Bara seadanya.
Sebuah buku melayang, tepat mengenai dahi Bara.
“Aduh! Kenapa sih paman?”
“Bersikap yang layak.” Ujar paman Chanda. Nadanya tak meninggi, namun pengaruhnya terasa sama beratnya. “Kamu satu-satunya perwakilan keluarga Ranggawuni sekarang. Tidak pantas kalau masih bermalas-malasan seperti itu.”
“Cih…” Gerutu Bara pelan. Kenapa kata-kata itu jauh lebih sakit ketimbang buku yang menimpuk kepalanya?
“Kau dari tadi mendengarkan atau tidak?” Tanya Chanda.
“Nggak.” Jawab Bara santai.
“Dasar--”
“--tuan Chanda.” Asim Anand memotong. “Untuk penyebaran isu dan percetakan, nanti biar saya saja yang urus.”
Bara membuang muka. Chanda tidak terlihat puas.
“Terima kasih, Asim. Tapi Anda terlalu memanjakan anak itu.” Ujar Chanda.
“Bukan maksud saya, tuan. Hanya saja, saya rasa lebih penting menjalankan tugas ini sebaik-baiknya daripada memaksakan tugas kepada Bara.”
Chanda membuang nafas panjang. “Baiklah.” Ujar Chanda. “Kalau begitu Bara, kau pimpin anak-anak untuk menyergap pedagang--”
“--nggak.” Potong Bara tegas.
“Apa?” Geram Chanda.
“Saya nggak akan izinkan anak-anak pegang senjata kecuali untuk melawan para ichi-gun.” Entah bagaimana, saat mendengar permintaan itu rasanya seperti ditampar hingga bangun.
Enak saja orang tua itu.
Suasana ruangan berubah dalam sekejap.
Berat.
Resah.
Chanda tersenyum sinis. “Sudah paman bilang, kalau kamu tidak mau maka akan paman kirim anak-anak itu---”
“--coba aja.” Tantang Bara.
“Bara!” Asim berbisik mengingatkan. Panik.
Chanda terlihat siap melayangkan tinju ke wajah Bara.
“Kalo perlu, saya ikat anak-anak ke pohon biar mereka nggak bisa kemana-mana.” Tambah Bara.
“Kamu sudah bersumpah membantu Nae Subah. Kenapa sekarang membangkang?” Ujar Chanda pelan.
“Sumpah ku sebagai anggota keluarga Ranggawuni itu untuk mengusir para ichi-gun. Bukannya membawa anak-anak ke dalam misi bunuh diri.”
Ruangan hening.
Tidak ada yang berani bicara. Tidak ada yang berani bersuara sebelum ada kata yang keluar dari mulut Chanda atau Bara.
Bara sudah tidak peduli. Dianggap tidak berguna pun dia tidak akan peduli. Jika sudah menyangkut nyawa anak-anak itu, nyawa pun rela ia jual sekarang. Apa lagi hanya sekedar ego.
Kalau Arah di sini, dia pasti sudah menatapnya tajam. Tatapan tajam bak neraka es.
Tapi Arah tidak di sini. Tidak ada yang bisa menghakiminya sekarang.
Bara pelan-pelan berdiri. Lalu menatap Chanda yang menatap balik dengan tatapan penuh amarah.
“Aku permisi.” Ujar Bara sebelum melangkah ke arah pintu keluar.
“Bara!” Raung Chanda.
Tapi Bara sudah tidak peduli. Dia akan kembali lagi nanti, kalau kawah amarah di dadanya sudah tidak semendidih sekarang ini. Bara tahu pasti, kalau dia memaksakan diri berdebat dengan Chanda, yang ada mereka akan saling adu pukulan.
Bara memutuskan untuk langsung pulang.
Esok paginya, Bara sengaja tidak mampir ke kediaman Chanda. Kendati ingin bertemu Hira, apalagi setelah kemarin gadis itu terlihat begitu sedih. Tapi Bara sangat tidak ingin bertemu paman Chanda. Dia takut Chanda akan melemparkan ancaman macam-macam, membuat pendiriannya goyah. Bara berpikir untuk keliling ke percetakan keluarga. Tapi sesampainya di sana juga Bara tidak tahu harus apa. Biasanya Arah yang mengurus ini semua.
Ujung-ujungnya, Bara hanya berputar-putar di Khajana tanpa arah. Kota yang beberapa waktu belakangan ini rasanya agak berbeda. Seperti ada ikatan yang sedikit longgar. Orang-orang kota terlihat sedikit lebih...santai? Sedikit-sedikit, Bara mendengar ada orang yang tertawa. Tawa yang bukan datang dari para ichi-gun setan itu.
Dan berbicara soal para ichi-gun, kenapa rasanya sudah lama sekali Bara tidak adu tinju dengan para tentara sialan itu? Biasanya ada saja cemooh atau keributan yang mereka buat, yang memberi kesempatan untuk Bara bisa mengayunkan satu dua tinju.
“Mau pergi kemana, nak Bara?”
Bara berhenti dan menoleh, mendapati paman Asim sedang berjalan menghampirinya. Di tangannya ada kantong kertas besar yang mengeluarkan semerbak bau manis. Sosok paman Asim benar-benar terlihat seperti Manu, tapi edisi lebih tua. Dan dengan wajah yang lebih tajam. Kalau Manu wajahnya penuh sudut tumpul dan kecil. Paman Asim penuh dengan sudut tajam dan garis-garis tanda pengalaman hidup. Sosoknya terlihat lembut, tapi kokoh. Seperti tongkat kayu ulin. Wajahnya selalu penuh senyum menenangkan. Persis seperti Manu.
“Eh, paman. Nggak tau nih mau kemana.” Jawab Bara sambil menyeringai lebar. “Paman abis dari pasar?”
“Iya, bibi Bestari sedang ingin makan jajanan pasar. Jadi paman sekalian jalan pagi saja.” Ujar Asim.
Bara jadi lapar. Dia baru ingat belum sarapan dari pagi.
“Nak Bara ikut saja yuk ke rumah. Sugeng katanya mau masak enak pagi ini.”
“Wah! Dengan senang hati!” Sahut Bara.
Asim tertawa dan bersama mereka berjalan ke kediaman keluarga Anand.
“Manu kapan pulang, paman?” Tanya Bara.
“Belum tahu. Mungkin besok.”
Bara mengangguk.
Untuk beberapa saat, mereka hanya berjalan dalam diam. Ditemani sayup-sayup suara kesibukan pagi hari di sepanjang jalan. Berjalan di samping Bara yang jangkung, Asim jadi terlihat kecil dan lebih tua. Namun demikian, wibawa Asim membuatnya terasa lebih besar.
“Nak Bara,” Panggil Asim.
“Ya?”
“Paman dapat kabar dari panti.”
Perut Bara rasanya mulas. Ada kabar apa dari panti? Anak-anak baik-baik saja kan?
“Darshan masih belum bisa ikut berlatih.” Ujar Asim.
Wajah sih, pikir Bara. Luka di kaki dan bahu Bara pun rasanya masih sakit. Darshan masih kecil, luka di perutnya pasti rasanya sakit bukan main.
“Ya bagus, biar istirahat. Ngerasain jadi anak kecil.” Gumam Bara. Syukurlah kalau cuman itu kabarnya. Dia sudah takut ada sesuatu yang terjadi pada anak-anak.
Paman Asim melirik. “Nak Bara juga tidak perlu memaksakan diri.”
“Luka ku mah nggak seberapa, hahaha.” Canda Bara sambil memutar-mutar bahunya. Lukanya terasa seperti terbakar.
“Bukan itu maksud paman.”
“Eh? Terus apa?”
“Kamu sebenarnya tidak mau kan, mengajari anak-anak bertarung?”
Bara termenung.
“Kamu berusaha masuk Nae Subah karena mau menjaga anak-anak kan?”
Bara menoleh ke arah Asim.
Orang ini dukun ya? Kok tahu?
Bara tertawa canggung sambil menggaruk lehernya yang sebenarnya tidak gatal. “Nggak kok paman, aku gemes aja sama Kama. Kalau ngajar udah kayak patung datar begitu.”
Asim tersenyum dan menepuk lembut bahu Bara. “Nak Bara, paman cuman mau bilang. Kamu itu anak kuat.”
Kok tiba-tiba gini?
“Dan keputusan kamu untuk menolak permintaan Chanda itu adalah keputusan yang tepat.”
Bara tersenyum kecut. Pokoknya, mulai hari ini, Bara tidak akan membiarkan paman Chanda seenaknya menggunakan anak-anak sebagai pionnya. Mentang-mentang mereka yatim piatu dan bukan berasal dari keluarga berada, bukan berarti paman Chanda bisa seenaknya membuang mereka.
“Oh soal semalam,” Bara tiba-tiba teringat. “Makasih ya paman, udah belain Bara.”
Asim tertawa. “Justru paman yang terima kasih. Karena anak muda seperti mu ini membuat paman jadi semangat.”
Bara menyeringai sebelum meringis karena tiba-tiba kepalanya ditempeleng.
“Tapi bahasamu itu loh, tolong diperbaiki” Omel Asim. “Kebiasaan nanti sama orang tua tidak sopan.”
“hehehe , kalau untuk paman, Bara siap!”
Asim tertawa terbahak-bahak.
Sarapan di kediaman keluarga Anand terasa hangat. Masakan Sugeng benar-benar enak, pas dan hangat untuk pagi yang dingin ini. Paman Asim dan bibi Bestari juga ramah dan hangat seperti biasanya. Bara rasanya betah sekali di sana. Hanya kurang Manu saja.
Setelah sarapan, Bara menemani paman Asim ke kandang ternak untuk memeriksa keadaan ternak sekaligus bertemu Lele. Karena terlalu asyik bermain dengan para kambing, Bara sampai lupa waktu. Akhirnya Bara dan Asim memutuskan untuk makan siang di peternakan sebelum kembali pulang ke kediaman Anand
Yang terasa sepi.
Bara termenung di pintu masuk pekarangan.
Dia tidak salah kan? Sudah sore begini kenapa yang latihan hanya segini? Mana Kama? Tidak mungkin orang saklek seperti Kama bisa telat sampai sore begini. Dan lagi, kenapa Mahesa tidak ada? Nayaka, Djani dan Radha pun tak tampak. Apa ada latihan khusus?
Bara melihat Murugan dan menghampiri anak tersebut.
“Yang lain mana?’ Tanya Bara. “Apa latihannya sudah selesai?”
“Siang, raka Bara.” Sapa Murugan sopan. “Hari ini raka Kama minta kami latihan bersama raka Bara. Tapi karena dari tadi raka Bara tidak ada, jadi kami berlatih sendiri.”
“Hah?” Kama tidak bilang apa-apa. Biasanya kalau dia absen mengajar dia pasti mengabari.
Tapi ya hari ini kan Bara memang sedang menghindari keluarga Gardapati. Jadi mungkin wajar kalau pesan ini tidak sampai ke kuping Bara.
“Mahesa, Nayaka, Radha dan Djani mana?”
“Ikut raka Kama. Katanya ada latihan khusus.”
Latihan khusus? Kok tidak bilang-bilang? Biasanya walaupun enggan, Kama akan berdiskusi dulu dengan Bara untuk memilih anak yang perlu dapat pelatihan khusus.
Bara melihat sekelilingnya, kearah anak-anak yang sedang mengerutkan kening karena bingung berlatih.
Seringai penuh semangat terbentuk di wajah Bara. Ah bodo lah. Asal sama Kama, anak-anak itu pasti aman berlatih.
“Kita ke danau aja yuk hari ini?” Ajak Bara.
Murugan terlihat ragu tapi matanya jelas-jelas menunjukkan rasa semangat.
Mumpung tidak ada Kama. Mumpung tidak ada yang bawel. Bara akhirnya mengajak anak-anak ke danau di hutan dengan pos utara. Danau yang saat musim dingin begini, sudah menjadi lapangan es. Dengan menambahkan tulang binatang di alas kaki mereka, dengan mudah Bara dan anak-anak bisa berselancar di danau. Hutan yang biasanya sepi itu kini dipenuhi gema suara tawa anak-anak yang sedang mengejar-ngejar Bara, berusaha menjatuhkannya menggunakan tongkat kayu. Harsha pun ikut, setelah tadi diculik Bara dari sekolah dalam perjalanan ke hutan. Usha pun mau tak mau ikut Bara culik. Repot kalau gadis kecil itu harus pulang sendirian nanti.
“Kamu jangan bilang kak Hira ya soal ini.” Bisik Bara kepada Usha dan Harsha saat mereka sedang beristirahat setelah capek bermain dan latihan seharian.
Harsha mengangkat jempolnya sebagai jawabanya. Mulutnya sedang asik mengunyah ubi bakar.
“Memang kenapa mas Bara?” Tanya Usha, berusaha mengupas ubi bakarnya.
“Entar mas Bara kena omel kak Hira.” Jawab Bara sambil membantu Usha. “Yah jatoh!”
Ubi bakar yang sedang dipegang Usha, ujungnya patah dan jatuh ke salju. Kotor.
Wajah Usha merengut, menahan tangis.
“Nih.” Harsha menyodorkan ubinya kepada Usha. “Aku udah kenyang.”
Usha menerima ubi Harsha dengan gembira. “Terima kasih!”
Bara tertawa dan mengacak-acak rambut Harsha. “Jantan sekali! Pasti nyontoh mas Bara, ya?”
“Nggak sih, we!” Harsha menjulurkan lidahnya.
Bara tertawa dan melihat ke sekelilingnya. Anak-anak masih asik makan, dan tampaknya cukup patuh untuk tidak bermain lagi di danau.