HIRA
Pagi itu Hira menyusuri jalan pinggir kota Khajana jauh lebih pagi daripada biasanya. Dini hari sekali, paman Chanda meminta Hira untuk mengirim beberapa dokumen sekaligus mengantarkan titipan obat dari keluarga Asraya. Agar tidak terlambat ke Bungahaken, Hira memutuskan berangkat sebelum subuh.
Seperti pagi-pagi belakang ini, kediaman keluarga Anand pagi itu sudah jauh lebih hidup dibandingkan jalan-jalan Khajana. Lampu-lampu malam menyala remang-remang, beberapa pelayan dan pengawal sibuk mondar-mandir. Hira disambut oleh seorang pelayan sebelum di arahkah ke ruang istirahat Manu yang sudah pulang dari rumah sakit sejak beberapa hari lalu.
“Tuan dan nyonya masih istirahat. Tapi kalau ada apa-apa, kata tuan bisa dititipkan ke tuan Bara.” Ujar pelayan tersebut saat mereka sedang berjalan menuju kamar Manu.
“Bara di sini?” Tanya Hira walau sebenarnya dia juga tidak terlalu kaget. Dulu, saat Hira sakit di rumah, Bara juga menginap untuk sekedar menemani Hira. Tidak peduli jika paman atau mas Arah mencak-mencak menyuruhnya pulang. Hira yakin Bara pasti melakukan hal yang sama untuk Manu.
Pelayan tersebut menangguk. “Tuan Bara menginap di sini sejak tuan Manu pulang dari rumah sakit.”
Hira tersenyum.
Tentu saja.
Mereka berhenti di depan pintu besar. Dari jendela kecil di sampingnya, Hira bisa melihat pendar remang lampu kecil di dalam ruangan.
“Tuan Manu, tuan Bara.” Panggil pelayan tersebut pelan sembari mengetuk pintu.
Pintu tiba-tiba terbuka lebar, menampakkan Bara. Rambut panjangnya terurai semrawutan. Wajahnya terlihat lelah dengan kantung mata besar di bawah matanya. Namun ada senyum lebar tersungging di wajahnya saat dia melihat Hira.
Bara mengangkat tangannya dan meletakkan jari telunjuknya di depan bibir.
“Manu lagi tidur.” Bisiknya sambil pelan-pelan menutup pintu di belakang punggungnya. “Makasih Ningsih. Hira dan titipan-titipannya biar aku aja yang urus.”
“Baik, tuan Bara. Nona Hira saya permisi.” Ningsih membungkuk kecil sebelum berjalan pergi meninggalkan Bara dan Hira.
Bara menganggukkan kepalanya ke arah ruang sebelah.
Hira mengangguk, mengikuti Bara.
Ruang di sebelah kamar Manu kecil dan gelap. Setelah Bara menyalakan lilin kecil di meja, Hira bisa melihat tempat tidur gulung di lantai dan beberapa tumpuk baju yang berantakan di sampingnya. Selain itu, ruangan tersebut kosong.
“Ini ada titipan obat dan dokumen.” Ujar Hira sambil menyodorkan titipan yang ia bawa.
Bara mengambil dokumen dan kantong obat dari tangan Hira, meletakkannya di meja.
“Kamu udah makan?” Tanya Bara sembari membereskan tumpukan baju di dekat tempat tidurnya.
“Belum lapar.” Jawab Hira. “Kamu belum tidur ya?”
“Udah tadi bentar.” Bara duduk di tempat tidurnya dan meregangkan tubuhnya sambil menguap lebar.
Hira tersenyum. “Ya sudah aku langsung permisi saja ya. Biar kamu bisa istirahat.”
“Dih, nggak kangen sama aku?” Canda Bara. Ia sedang berusaha mengikat rambutnya. Tapi mungkin karena terlalu mengantuk, ikatannya bolak balik terlepas.
“Nggak tuh.” Balas Hira bercanda sambil berjalan ke arah Bara. “Balik badan, biar aku saja.”
“Terima kasih banyak, nyonya.” Ledek Bara.
Hira terkekeh dan membantu Bara mengikat rambutnya. Bara menopangkan dagunya di tangan sembari menunggu. Jari-jari Hira menyisir rambut panjang Bara, mengurai kusut-kusut di rambutnya. Rambut Bara halus, namun kering. Dan sudah jelas terabaikan beberapa hari ini. Hira berusaha mengurai kusut rambut Bara sepelan mungkin agar tidak sakit.
“Sudah.” Ujar Hira setelah mengikat rambut Bara dengan tali kecil.
Tidak ada jawaban.
Hira menjulurkan kepalanya, berusaha melihat wajah Bara.
Wajah yang sedang tertidur pulas.
Hira tersenyum, pelan-pelan menyentuh bahu Bara.
“Bara.” Panggil Hira pelan.
“Hmmm?” Gumam Bara setengah sadar.
“Istirahat ya.”
Pelan-pelan Hira memiringkan tubuh Bara hingga ia bisa merebahkan diri di kasur. Mata pria itu tidak terbuka sama sekali. Wajahnya terlihat tenang, seperti akhirnya bisa bernafas lagi dengan lega.
Hira pun merasakan hal yang sama.
Hira membetulkan bantal Bara lalu menyelimutinya sebelum mematikan lilin di meja. Ia sempat menambahkan beberapa potong kayu ke perapian agar ruangan tetap hangat.
Setelah menutup pintu kamar Bara, Hira memutuskan untuk menengok Manu terlebih dahulu. Saat dia intip kamar nya, Manu terlihat sedang tidur pulas. Tapi kamarnya berantakan, penuh dengan perban-perban kotor berserakan. Nampaknya tadi Bara tidak sempat berbenah setelah mengganti perban Manu.
Hati-hati, Hira membuka pintu kamar Manu dan membereskan perban-perban di lantai. Hira berjingkat, berusaha tidak membuat suara sedikitpun. Manu terlihat masih lelap, tertutup selimut tebal hingga ke dagunya. Rambut panjangnya tersisir rapih. Bekas-bekas luka di wajahnya terlihat mulai mengering. Sekilas, ia hanya terlihat seperti anak yang baru pulang berkelahi dengan luka-luka ringan dan lebam di wajahnya.
Tapi Hira tahu, dibalik selimut itu, ada luka-luka dalam yang menganga. Ada tulang punggung yang patah. Ada masa depan yang pupus. Dari tempatnya pun Hira bisa melihat dada Manu yang naik turun tidak beraturan. Nafasnya terdengar berat dan sulit.
Samar-samar Hira melihat mata Manu bergerak. Lalu perlahan terbuka.
“Hira…” Serak, Manu memanggil.