HIRA
Hira berusaha membantu sebisanya. Tamu demi tamu datang dan pergi, keluar dan masuk kediaman keluarga Anand. Namun tetap, kediaman itu terasa sepi. Sunyi. Hanya ada bisik-bisik rendah dari tamu yang datang mengutarakan rasa bela sungkawanya di malam yang dingin itu.
Tidak nyaman.
Entah sudah berapa kali dilakukan.
Rasanya tetap tidak nyaman.
Sunyi yang membebani. Menyesakkan. Meresahkan.
Tapi hatinya lebih resah lagi karena sampai sekarang, Bara masih belum nampak.
Hira sudah dengar dari Kama. Bagaimana Bara yang awalnya terlihat seperti orang kesetanan lalu tiba-tiba diam begitu saja tanpa suara. Seperti boneka.
Lalu hilang begitu saja setelah ikut menemani mengantar jenazah Manu ke rumah sakit.
Hira tidak bisa membayangkan perasaan keluarga Anand dan Bara. Kehilangan orang terkasih saja sudah begitu berat. Apa lagi di saat begini, di saat musim dingin sedang di puncaknya. Rasanya pasti berkali-kali lipat lebih berat. Harus menunggu hingga tanah tidak terlalu beku agar bisa digali. Membayangkan tubuh tak bernyawa orang terkasih harus menunggu, dingin, gelap.
Hira menghela nafas. Berusaha meredakan rasa sakit di dadanya.
Manu.
Laki-laki lembut dan penyayang itu.
Laki-laki penuh senyum itu.
Yang selalu menenangkan.
Yang selalu memaafkan.
Yang tawanya selalu membuat orang yang mendengarnya ingin tersenyum.
Hira buru-buru menyeka air mata yang turun di ujung matanya.
Nanti saja. Kalau mau menangis, nanti saja.
Saat ini, keluarga Anand perlu orang-orang yang bisa membantu mengurus apa yang tidak bisa mereka urus. Keluarga Anand perlu waktu untuk berkabung.
Hira harus membantu.
“BUAT APA ANDA KEMARI!”
Hira buru-buru menghampiri ruang duka, mendapati tuan Ruhur sedang mengacungkan pedangnya ke arah seorang prajurit Azumachi.
Kazuki?
Wajah Kazuki keras. Namun bukan amarah yang tampak. Melainkan rasa malu dan menyesal.
Kenapa...
“TUAN MANU MENINGGAL KARENA ULAH ANAK BUAH ANDA!!!” Raung Ruhur.
“Untuk itu saya datang--”
“PULANG ANDA!!”
Kazuki tiba-tiba berlutut.
Lalu bersujud ke arah Asim dan Bestari.
Sunyi.
Hening.
Tidak ada yang bergerak.
Seperti dunia membeku.
Bibi Bestari lah yang pertama bergerak. Berjalan lunglai ke arah Kazuki sebelum berlutut di depannya.
Pelan, ia sentuh bahu Kazuki.
Kazuki mengangkat kepala.
Dan menerima tamparan kencang di pipinya.
“Tolong tuan pergi.” Ujar Bestari pelan.
Kazuki mengangguk, berdiri dan berjalan pergi.
Mata mereka bertemu.
Hira bisa melihat rasa frustrasi di kedua mata tersebut. Kecewa.
Kenapa…
Kazuki mengangguk kecil ke arah Hira sebelum berjalan pergi.
Kenapa…
“Punya nyali juga dia.”
Hira terlonjak kaget. Paman Chanda tiba-tiba muncul di belakangnya.
“Kita pulang sekarang.”
“Baik, paman.”
KAMA
Setelah setengah hari menghilang, melewatkan pelepasan Manu dan hari duka keluarga Anand, malam ini anak itu tiba-tiba muncul?
Kama geram.
Geram melihat Bara seenaknya muncul tiba-tiba di rapat dewan.
Geram melihat Bara yang dari tadi diam saja dengan tatapan kosong seolah-olah nyawanya sedang entah dimana.
Anak itu kenapa sih?
Bukannya Manu teman baikmu?
“Kama.” Panggil Chanda.
“Ya, ayah.” Kama buru-buru menjawab. Kaget karena tiba-tiba dipanggil.
“Malam ini kau langsung ke jalur Barat. Ada pedagang penting yang akan lewat.” Perintah Chanda.
“Baik, ayah.”
Ini benar? Ayah benar-benar menunjuknya untuk memimpin pergerakan kali ini? Benar-benar menunjuknya, bukan sebagai pengganti Bara?
“Tolong buat kerusuhan sebesar mungkin. Ada pengantar surat dari Khutamas yang harus masuk malam ini.”
“Baik, ayah.”
“Bara.” Chanda melirik ke arah Bara yang sedari tadi duduk diam di sampingnya.
“Ya, paman.” Jawabnya datar.
“Kau juga ikut. Bantu Kama.”