KAZUKI
Sudah beberapa minggu terakhir kota ini semakin ribut. Penyerangan di jalan meningkat. Usaha pencurian senjata dan amunisi pun meningkat. Jalur Timur mulai mendapatkan serangan lagi setelah sempat aman karena para bandit disana sudah berhasil ditangkap semua.
Para pemberontak tampaknya sudah mulai menunjukkan taring mereka.
Ditambah lagi keributan karena meninggalnya anak tuan besar keluarga Anand. Sentimen positif yang sudah susah-susah Kazuki bangun terancam runtuh. Kalau bukan karena bantuan Bharata, mungkin kota ini sudah ditelan kerusuhan warga yang marah kepada tentara Azumachi.
Sial, kasus penyerangan itu sekarang jadi kasus pembunuhan.
Dan berita yang dibawa Bharata sama sekali tidak membuat Kazuki tenang. Sebelum Manu meninggal secara tiba-tiba, Bharata sudah sempat berkunjung dan bertanya perihal penyerangnya. Walau tidak banyak yang Manu ingat, tapi anak itu ingat betul penyerangnya adalah seorang tentara Azumachi.
Ini hanya semakin memperkuat kecurigaannya terhadap satu orang.
Lalu entah ada hubungannya atau tidak.
Sejak kematian Manu, penyerangan di jalur Barat semakin ganas. Baru juga dua hari, laporan yang diterima sudah menumpuk. Penyerangan tiap harinya terjadi lebih dari tiga kali. Penyerangan terjadi bukan hanya di malam hari namun juga di siang bolong. Para pedagang protes, menuntut tentara Azumachi untuk meningkatkan pengamanan karena kerugian yang mereka alami jauh lebih besar daripada biasanya.
“Barang-barang kami hampir setengahnya hancur!”
“Penjaga bayaran saya hampir semuanya harus masuk rumah sakit! Saya rugi!”
“Sudah bela-bela berangkat tengah malam agar bisa sampai sini saat matahari masih tinggi, tetap saja saya kena serang!”
“Tugas kalian kan menjaga!”
Masalahnya, jalur barat itu panjang. Tidak mungkin semua inci jalan bisa mereka jaga, kan?
Setan jalur barat.
Begitu para pedagang menyebut penyerang yang akhir-akhir ini membabi-buta.
Matanya seperti binatang buas dari neraka.
Tubuh tinggi dengan wajah tertutup, seperti melihat malaikat pencabut nyawa.
Tombaknya hitam, seperti bayangan yang siap menembus baik daging maupun tulang.
Namun tetap, terlepas dari semua laporan mengerikan para pedagang, tidak ada korban jiwa.
Atau belum ada.
Belum ada lagi selain Touya.
Dan memang para tentara penjaga di jalur Barat tidak ada satupun yang bertemu dengan setan jalur barat dalam dua hari terakhir ini. Terlepas dari peningkatan jumlah penjaga, tidak ada satupun yang melihat penyerang tersebut. Setiap kali para tentara Azumachi berhasil mencapai para pedagang, setan jalur barat itu sudah menghilang. Seolah-olah mereka tahu keberadaan para tentara Azumachi.
Bahkan dengan informasi dari Wangchuk, para bandit ini masih belum tertangkap juga.
berbagai informasi terkait si setan jalur barat berputar di kepala Kazuki.
Pemain tombak.
Jika para saksi mata tidak membesar-besarkan kemampuan si setan jalur barat, maka berarti dia bukan orang biasa.
Kemungkinannya cuman dua. Si setan jalur barat ini adalah desertir Wang Dong atau salah seorang anggota keluarga terpandang di Khajana yang pernah punya hubungan dengan tentara Wang Dong.
Kazuki berharap orang itu benar-benar desertir Wang Dong. Karena kalau bukan, akan jauh lebih runyam lagi.
Satu-satunya kabar bagus yang ia terima pagi ini hanya dari tim penyelidik. Semakin banyak orang-orang Goro yang berhasil di tangkap.
Gila juga tikus-tikus itu. Sembunyi di mana? Kenapa banyak sekali?
Lalu kenapa juga ruangan ini wangi sekali? Lama-lama kepalanya jadi pusing.
Wanginya berbeda dari hari-hari biasa. Kazuki tidak suka.
Kazuki buru-buru menegakkan tubuhnya ketika mendengar pintu bergeser terbuka.
“Pagi, nona Astami.” Sapa Kazuki ceria.
Astami memutar bola matanya, menutup pintu di punggungnya. “Tidak usah sok manis begitu.” Gerutunya.
Kazuki mengangkat alisnya. “Siapa yang sok manis? Memang menyapa itu manis?” Tanya Kazuki bingung.
“Sudah, cepat. Saya mau bekerja.” Ujar Astami ketus sembari duduk di ujung sofa, jauh-jauh dari Kazuki.
“Kok ketus sekali sih? Saya kan juga tamu.”
“Anda itu tamu yang buang-buang energi saya saja.” Astami mendengus kesal, membuang muka. “Mau digoda pun tidak bisa karena bercanda terus. Percuma wajah tampan, hatinya tidak peka.”
“Begitu ya?” Guman Kazuki, tiba-tiba serius.
Bisa jadi juga.
Jangan-jangan Hira selama ini berlaku dingin karena Kazuki kurang peka?
Eh? Kenapa jadi tiba-tiba memikirkan Hira?
“Wah, baru sekali ini saya lihat muka tuan ruwet begitu.” Ledek Astami sembari menyandarkan pipinya yang bulat ke tangannya. “Masalah wanita ya?”
Kazuki tertawa. “Anda tidak mau ganti profesi jadi peramal saja?”
Astami tersenyum kecut.
“Jadi, ada kabar apa?” Tanya Kazuki, memperhatikan Astami yang sedang berusaha menyalakan rokok di tangannya.
“Walikota Amir berjanji akan mengesahkan izin hukuman mati secepatnya.” Jawab Astami tak acuh.
“Tepatnya?”
“Dalam minggu ini.”
Syukurlah. Syukurlah Kazuki tidak perlu mengirim para tikus itu kembali ke induknya. Kazuki tahu Goro akan marah besar. Tapi kalau aturan ini bisa cepat-cepat disahkan, Goro tidak akan bisa apa-apa. Orang-orangnya yang sudah kelewat batas akan habis di kota ini.
“Lalu, siapa yang tadi malam kau tiduri?”
Astami mengerling ke arah Kazuki, ada senyum nakal di bibirnya. “Cemburu?”
Kazuki hanya balas tersenyum.
“Ruhur Gandawasa.” Ujar Astami setelah menghembuskan asap tipis dari bibirnya. “Nampaknya dia sedang mendidik anak-anak panti untuk dijadikan prajurit.”
Gila juga para tetua kota ini.
“Ruhur juga tampaknya sedang sering bertukar surat dengan seseorang di Khutamas. Tidak, sebelum Anda tanya, saya tidak tahu. Saya hanya sempat melihat setumpuk surat yang berasal dari Khutamas.”
“Ada informasi tentang pasokan makanan?”
“Kenapa? Lapar?” Canda Astami.