HIRA
Bara kemana? Batin Hira seraya berjalan menyusuri jalanan Khajana yang sudah ramai walau matahari baru juga muncul. Sudah hampir dua hari Hira tidak mendengar kabar dari Bara. padahal dia sudah menyiapkan hadiah untuk ulang tahun Bara.
Menghilangnya Bara bukan hanya membuat Hira kesal. Harsha pun murung karena merasa dibohongi oleh Bara. Hira berapa kali mendapati Harsha sedang bermain tongkat sendirian dengan mata merah karena kebanyakan menangis.
Hira sudah berusaha bertanya kepada Kama mengenai keberadaan Bara.
“Nanti juga muncul sendiri.” Jawab pria itu datar.
Yang sama sekali tidak menjawab pertanyaan Hira.
Hira mendesah panjang. Tidak tahu harus khawatir atau kesal. Belum lagi dengan beredarnya berita tentang penyergapan di jalur Barat yang menewaskan seorang ichi-gun. Hira semakin resah. Hira sudah memberikan jadwal patroli tentara ichi-gun di jalur barat. Namun kenapa masih bisa terjadi hal seperti itu? Bukankah harusnya dengan mengetahui pergerakan para tentara, paman bisa menyesuaikan waktu penyerangan?
Khajana semakin terasa berantakan.
Ah, tapi Hira punya hal lain yang harus dipikirkan.
Dengan memanasnya keadaan kota, paman semakin gencar meminta informasi. Semakin sering melemparkan ancaman dengan membawa-bawa masa depan Harsha.
Hira tahu dia harus mencari informasi sebanyak-banyaknya.
Tapi Hira tidak tahu harus mencari kemana.
Karena insiden jalur Barat dan Bungahaken beberapa hari lalu, Kazuki menghentikan sementara pengiriman makanan ke perehatan. Sehingga hilang sudah salah satu sumber informasinya untuk beberapa hari ini. Hira benar-benar harus mengandalkan obrolan para ichi-gun yang berkunjung ke Bungahaken untuk mengumpulkan informasi.
Dan itu tidak cukup untuk paman.
Tiap malam, makian dan celaan ia dapatkan. Bahkan sesekali paman mulai main tangan, memukuli kaki Hira. Dan semua itu selalu diakhiri dengan ancaman terhadap Harsha. Kalau hukumannya hanya untuk dirinya, Hira yakin dirinya masih mampu. Tapi kalau Harsha...
Seolah itu semua tidak cukup, Hira harus keteteran karena dengan absennya kak Uma, Bungahaken seperti kehilangan tiga pekerja sekaligus.
Hari ini pun tidak jauh berbeda. Tiba di Bungahaken, Hira langsung diburu-buru untuk bersiap-siap dan membantu di dapur.
Lalu membantu melayani.
Lalu membantu di dapur.
Lalu melayani.
Harsha dan Usha datang, merengek minta ditemani makan kudapan sore.
Beruntung mas Tama membolehkan.
“Tapi jangan lama-lama.” Gotama mengingatkan.
Hira berusaha menjelaskan kepada Harsha dan Usha bahwa hari ini dia tidak bisa membantu mengerjakan pekerjaan sekolah. Usha dengan mudah mengiyakan. Namun, Harsha yang sudah pundung karena ditelantarkan Bara, tidak mau terima.
“Harsha kan bisa mengerjakannya sendiri.” Ujar Hira lelah. “Atau nanti malam, tunggu kakak pulang.”
“Nggak!” Bentak Harsha. “Kenapa sih kakak kerja terus?! Kapan merhatiin Harsha!”
Deg!
Hati Hira rasanya seperti di iris-iris. Lidah Hira kelu, tidak tahu harus berucap apa. Ada amarah yang meluap-luap di perut Hira, siap tumpah kapan saja. Tapi ada pula luka menganga di hati Hira, siap menitikkan air mata darah kapan saja.
BRAK!
Tanpa sadar, tangan Hira melayang memukul kursi kayu di sampingnya.
Harsya tertegun.
Usha menangis ketakutan.
“Ada apa, Hira?” Tanya Mina, salah satu pelayan.
Hira tidak menjawab. Ia menunduk, menutupi wajahnya dengan satu tangan.
Rasanya lelah sekali.
Rasanya mau mati saja.
Hira menarik nafas dalam-dalam, berusaha mematikan semua rasa yang mengoyaknya seperti binatang buas.
Diam. Batin Hira.
Saat Hira mengangkat kepalanya, dunia terasa hitam putih.
“Maaf, Mina. Aku hanya sedikit emosi.” Ujar Hira sembari meraih Usha dan Harsha, menarik mereka ke pelukannya.
Pelukan yang dingin dan seadanya.
“Maafkan kakak ya.” Gumam Hira. “Tapi kakak benar-benar sibuk hari ini.”
Hira melepaskan pelukannya. Dia mengambil tangan Harsha dan menautkan tangan Usha. Hira menoleh ke arah Harsha yang terlihat bingung karena harus tiba-tiba menggandeng Usha.
“Harsha, kakak boleh minta tolong?”
Harsha mengangguk pelan, ragu.
“Tolong hari ini jadi kakak yang baik untuk Usha ya.” Ujar Hira. “Kakak belum bisa jadi kakak yang baik untuk Harsha. Tapi Harsha bisa kan jadi kakak yang baik untuk Usha?”
Harsha mengangguk cepat, wajahnya jelas berusaha menahan tangis.
Hira tersenyum dan mengusap pelan kepala Harsha. “Terima kasih ya, Harsha.”
Sejak Harsha dan Usha pulang, Hira merasa seperti ada orang lain yang mengambil alih tubuhnya. Ada orang lain yang menarik bibirnya membentuk senyum. Ada orang lain yang mengeluarkan kata-kata sopan dari mulutnya. Ada orang lain yang mencatat semua kepingan informasi yang tertangkap dari obrolan para ichi-gun.
Tanpa sadar, waktu bekerja Hira telah habis.
Hira ingat dia menuturkan ucapan terima kasih dan pamit kepada Gotama sebelum beranjak keluar.
Dan menemukan Kazuki yang sedang menatapnya dengan senyum tersungging di bibirnya. Senyum yang biasanya cerah bak matahari, namun malam ini terlihat lelah dan redup. Ada kantung mata yang jelas-jelas tampak. Kulit dan bibirnya terlihat pucat.
Bahkan si tuan matahari pun lelah hari ini.
Hira balas tersenyum dan berjalan menghampiri.
“Selamat malam, kolonel Izumi.” Sapanya. Suaranya sendiri terdengar asing di telinganya. “Patroli malam lagi?”
Senyum Kazuki melebar. Walau jejak-jejak kelelahan masih jelas tampak. “Saya ada urusan di pos Barat.”
Hira mengangguk.
Dan tanpa berkata apa-apa lagi, Kazuki dan Hira berjalan bersama.
Ini pertama kalinya Hira berjumpa Kazuki lagi sejak malam di rumah sakit. Sejak dia terbangun di pundak Kazuki. Sejak ia berjalan memegangi lengan Kazuki sepanjang jalan hingga sampai di rumah.
Padahal baru beberapa hari, tapi rasanya seperti sudah lama sekali.
Untuk pertama kalinya sejak malam di rumah sakit, Hira merasa seperti ikatan di dadanya mengendur sedikit. Sedikit. Tapi cukup untuk bisa menarik nafas sejenak. Untuk bisa bernafas sedikit.
Karena entah kenapa, berjalan berdua seperti ini rasanya nyaman sekali. Walaupun saat ini mereka hanya saling berdiam. Tapi rasanya nyaman.
“Bagaimana kabar nyonya Uma?” Tanya Kazuki setelah mereka berjalan dalam diam beberapa saat.
Tidak seperti malam-malam sebelumnya, Kazuki agak diam malam ini. Dan tidak seperti malam-malam sebelumnya, ada senjata yang tergantung di sabuknya.
“Masih harus beristirahat beberapa hari lagi.” Jawab Hira.
Kazuki mengangguk. “Kalau nona? Bagaimana kabarnya?”
Hira mendongak, mendapati Kazuki sedang menatapnya. Tidak ada senyum yang biasa menghiasi wajah itu. Namun ada sepasang mata hitam yang menata Hira penuh rasa khawatir. Pria ini mengkhawatirkannya?
“Baik.” Jawab Hira.
Kazuki mengangguk. Untuk pertama kalinya, pria itu terlihat seperti tidak tahu harus bicara apa.
“Tuan tolong jangan memaksakan diri.” Kata-kata itu keluar begitu saja dari bibir Hira.
Kazuki pun tampak tidak kalah kagetnya. Ada sedikit cahaya yang terpancar dari wajahnya.
Hangat.
“Tuan jelas-jelas kurang tidur.” Lanjut Hira, berusaha agar terdengar setidak acuh mungkin.
“Malam ini tampaknya saya akan bisa tidur nyenyak sampai besok siang.” Sahut Kazuki. Ada sedikit semangat di suara nya.