HIRA
Pagi ini rasanya semrawut sekali. Ada Bara yang tiba-tiba muncul setelah berhari-hari tanpa kabar. Bara yang tiap kali ditanya tentang kabarnya malah mengelak dengan membuat kerusuhan. Namun demikian, Hira lega karena paling tidak Bara terlihat baik-baik saja.
Dan akhirnya ia bisa memberikan kado Bara.
Hira sempat khawatir saat melihat Bara yang termenung dengan wajah keras saat menerima kadonya.
Apa dia tidak suka?
Tapi itu warna kesukaan Bara. Hira membeli bahan itu dengan uang yang ia tabung dan menjahit pakaian itu sambil terkantuk-kantuk tiap malam.
Hira menunggu dengan was-was. Bara belum mengucapkan sepatah katapun sejak ia menerima hadiah dari Hira. Dalam diam, pria menyelipkan hadiah dari Hira di bajunya.
Lalu tiba-tiba memeluk Hira.
Hira mematung, kaget tiba-tiba dipeluk seperti itu. Dipeluk Bara bukan hal yang baru. Tapi entah kenapa pelukannya kali ini terasa berbeda.
Terasa sedikit putus asa.
Tapi Hira tidak jadi khawatir saat mendengar bisikan Bara. “Panik kan, didiemin?” Bisiknya jahil.
Hira buru-buru menginjak kaki Bara. Membuat pria itu memekik kesakitan sambil melompat-lompat mundur.
“Itu kaki ada tajinya apa gimana sih? sakit banget!” Protes Bara. “Kamu ayam ya?”
Lagi-lagi pagi Hira rusuh, mengomeli Bara yang masih tidak terima. Walau dalam hati ia juga cukup lega karena paling tidak Bara sudah kembali. Ini kerusuhan pagi hari yang Hira tidak akan sesali keberadaannya.
Yang ia sesali hanya satu. Kecerobohannya meladeni Bara yang membuat ia berakhir dengan kaki terkilir.
Sebagai pemanis, kerusuhan pagi itu. Bara ngotot mengantarnya ke Bungahaken. Tidak mampu menolak, Hira terpaksa berkuda berdua dengan Bara.
Keadaan di Bungahaken pun tidak kalah semrawut.
Akhil, yang seharusnya membantu Hira menyiapkan kotak makan para ichi-gun, tidak masuk hari ini. Dan lagi-lagi, Bara ngotot membantu.
Bukannya Hira tidak mau. Masalahnya, anak itu tidak dilahirkan untuk jadi manusia terampil. Ditambah rasa tidak sukanya kepada para ichi-gun. Hira meringis melihat Bara dengan serampangan memindahkan kotak-kotak makan dari dapur ke kereta.
“Bara, hati-hati dong. Nanti makanannya berantakan.” Tegur Hira.
“Biarin. Entar juga diperut semuanya kecampur.” Tukasnya sambil meletakkan tumpukkan kotak makan terakhir ke kereta.
Hira hanya dapat membuang nafas lelah, sudah biasa. Bara sering kasar dan ketus, sudah dari kecil. Namun Hira juga tahu bahwa dibalik semua keserampangan dan kelakuannya yang kasar, Bara adalah laki-laki yang hatinya paling lembut yang Hira pernah temui. Dia satu-satunya laki-laki yang memperlakukan Hira dengan baik. Satu-satunya laki-laki yang mau berusaha minta maaf walau berat.
“Terima kasih ya, Bara.” Ujar Hira.
“Apaan sih.” Gumam Bara. “Dah buruan naik!”
Hira terkekeh dan berjalan ke arah kereta. Dia hendak memanjat naik ketika Bara menghentikannya.
“Bentar." Kata Bara. Dia memanjat ke atas kereta terlebih dahulu sebelum menjulurkan tangannya ke arah Hira. “Yuk.”
Hira berusaha menahan senyumnya seraya meraih tangan Bara yang dengan mudahnya menariknya naik ke atas kereta.
Hira duduk di bangku kusir dan hendak mengambil tali kekang kuda. Tapi ternyata tali tersebut sudah ada di tangan Bara.
“Kamu ngapain?”
“Jadi pak kusir.” Jawab Bara santai.
“Tolong bawa yang benar ya pak.” Canda Hira.
“Siap!”
Walau semrawut, pagi itu Hira merasa gembira. Karena pagi itu bisa ia habiskan tertawa dan bercanda bersama sahabatnya. Walau kadang rasanya ia gemas ingin memukul Bara saking menyebalkannya.
Tapi Hira rasanya ingin kabur dan bersembunyi saat melihat kelakuan Bara di perehatan. Mulai dari perdebatan tidak pentingnya dengan Kazuki. Wajahnya yang seperti anjing galak saat membantu para ichi-gun memindahkan kotak makan. Sampai kerusuhan yang Bara lakukan saat menyeret Hira keluar dari kantor Kazuki.
Yah walau sebenarnya ada untungnya juga. Karena semua kerusuhan yang Bara buat, Hira jadi punya waktu untuk memperhatikan kegiatan di perehatan dengan lebih seksama. Hira bahkan berhasil melirik jadwal patroli para ichi-gun. Meski hanya sekilas, tapi beberapa detik yang berharga itu cukup bagi Hira.
“Kamu tuh jangan rusuh seperti anjing gila gitu bisa nggak sih?” Protes Hira saat mereka sudah naik kereta, hendak kembali ke Bungahaken.
“Nggak! Ngapain sopan-sopan sama penjahat.” Bentak Bara. “Lagian siapa sih ichi-gun genit tadi? Pake pegang-pegang segala.”
“Dia kan cuman bantu aku berdiri.” Kilah Hira. “Daripada kamu gendong-gendong.”
Sepanjang jalan pulang, mereka habiskan dengan berdebat. Sampai Bungahaken pun, Bara masih mencak-mencak dan ngotot biar Hira tidak perlu kembali ke perehatan untuk mengambil kotak makan.
“Pincang gitu masih sukur bisa kerja.” Kata Bara.
“Iya biar nanti sore saja di ambil sama Lingga.” Gotama menimpali.
Hira akhirnya menyerah. Daripada nanti sore Bara membuat keributan lagi di perehatan, lebih baik Hira menurut saja.
Tapi bukan berarti Bara pergi begitu saja.
Pria itu duduk di pojokan rumah makan dekat pintu dapur, memperhatikan para ichi-gun yang datang untuk makan siang.
Kalau tatapan bisa membunuh.
Mas Gotama pun tidak berani menegur Bara.
Untung saja para ichi-gun tampaknya tidak keberatan. Mereka hanya melirik-lirik bingung, tapi tampaknya tidak terlalu peduli dipelototi Bara.
“Kamu kenapa tidak pulang saja sih?” Desis Hira saat melewati Bara untuk yang kesekian kalinya.
“Ntar aja bareng kamu.” Gerutu Bara, tiba-tiba jadi lebih galak dari sebelumnya. Matanya tajam menatap ke arah pintu masuk.
Hira mengikuti pandangannya.
Ada Kazuki yang baru masuk.
Mata pria itu menangkap tatapan Hira. Lalu ia melempar senyum gembira ke arah Hira sambil melambai.
Hira membuang nafas pelan. Membalas senyum Kazuki setengah hati.
Kenapa rasanya seperti sedang di ambang bencana begini?
Hira buru-buru menoleh ke arah Bara, tepat waktu untuk mendorongnya kembali duduk.
“Dia tamu. Kamu jangan bikin rusuh.” Ancam Hira.
Bara menggerutu pelan, membuang muka.
“Janji?” Paksa Hira.
“Dah, kerja sana!”
Tidak ada waktu meladeni Bara. Hira buru-buru menghampiri Kazuki. Terpincang-pincang.
Senyum di wajah pria itu menghilang. Digantikan wajah penuh rasa khawatir.
“Nona kenapa tidak istirahat saja?” Tanya Kazuki sebelum Hira bisa bicara apa-apa.
“Saya harus bekerja.” Jawab Hira singkat. “Untuk berapa orang?”
“Satu saja.”
“Di meja kedai tidak apa-apa?”
Kazuki mengangguk. “Saya pesan nasi goreng. Tidak usah antar saya ke meja ya.”
Hira mengangguk dan kembali di dapur. Ia sempat melirik Bara. Pria itu masih lekat mengawasi Kazuki, tapi tidak ada tanda-tanda Bara akan melakukan hal bodoh.
Harusnya aman untuk sekarang.
Setelah memberikan pesanan Kazuki ke dapur, Hira kembali berkeliling ruang makan untuk mengangkat piring dan gelas kotor. Samar-samar, Hira bisa mendengar Kazuki sedang asik berbincang dengan mas Gotama di meja kedai. Mereka terlihat cukup akrab. Beberapa ichi-gun yang tersisa pamit kepada Kazuki dan Gotama sebelum meninggalkan rumah makan. Pasti sudah masuk jam kerja ya?
Tanpa sadar, Hira tersenyum sendiri.
Sampai Bara tiba-tiba muncul di depan wajahnya.
“Pulang yuk.” Katanya tiba-tiba.
“Bentar lagi. Setelah Lingga datang, aku baru bisa pulang.” Ujar Hira sembari berjalan melewati Bara untuk kembali ke dapur.
Tapi Bara mengekor.
“Memang nggak bisa pulang lebih cepat?” Gerutu Bara. “Mas Tama! Hira boleh pulang duluan kan?”
Gotama tertawa. “Sabar sebentar lah Bara. Paling sebentar lagi Lingga datang.”
Bara mendengus.
“Iya, sabar sedikit mas Bara. Kasian nona Hira, Anda rongrong begitu.”
Aduh...Itu suara Kazuki kan?
“Diam kau anak kecil!”
Hira menutup matanya. Buyar sudah dunia.
“Anak kecil?” Kazuki bertanya, kesal.
Hira membuka matanya sedikit, cukup untuk melihat Kazuki turun dari kursinya dan menghampiri Bara.
“Siapa yang Anda panggil anak kecil?” Tanya Kazuki sambil tersenyum. Tapi Hira tahu itu senyum mengejek.
“Ya kamu lah!” Bentak Bara, mendekatkan diri ke arah Kazuki hingga perbedaan tinggi mereka terlihat jelas. Kazuki bukan orang terpendek di ruangan. Tapi Bara orang tertinggi di ruangan ini, membuat Kazuki terlihat jauh lebih kecil.
Seringai Kazuki makin lebar. Pria itu melepaskan jaket dan jasnya, meyampirkannya di kursi.
Bara pun melakukan hal yang sama; melepas mantelnya.
Semua terdiam.
Tidak ada yang berani bergerak.
Orang-orang tidak perlu tahu siapa mereka. Hanya cukup melihat tatapan mereka saja semua sudah tahu untuk tidak ikut campur.
Tangan Hira sebenarnya sudah gatal ingin menjewer kuping Bara dan menyeretnya pergi. Tapi kalau dia melakukan itu, dia takut Kazuki tidak terima dan malah makin mengejar Bara.
Lebih baik diam saja.
Nanti kalau situasi makin ribut, baru dia seret Bara keluar.
Kazuki menggulung lengan bajunya dalam diam. Matanya lekat menatap Bara.
Sedangkan Bara sedang melompat-lompat kecil di tempat.
“Mau berantem dimana kita?” Tanya Bara nyinyir.
“Di sini saja.” Kazuki menarik sebuah kursi, duduk, dan meletakkan tangannya di meja. “Kita adu panco.”
Adu panco? Ini benar? Hira sudah takut kedua pria itu akan baku hantam di rumah makan.
Tawa Bara pecah. “Ngapain adu panco ama anak kecil?”
“Kenapa? Takut kalah sama anak kecil?” Ledek Kazuki.
“Nggak lah! Cuman nggak mau bikin anak kecil nangis aja.” Balas Bara.
Hira memaki dalam hati. Semoga adu panco ini tidak berubah jadi hal lain yang lebih buruk.
Bara duduk di seberang Kazuki, menerima tantangannya.
“Mas Gotama! Sini jadi wasit!” Teriak Bara.
Hira bisa mendengar Gotama menggerutu pelan sembari berjalan menghampiri Bara dan Kazuki. Tapi Hira tahu diam-diam pria itu sebenarnya senang karena ada tontonan.
“Kalian berdua habis ini harus bayar lebih ya. Bikin orang berhenti bekerja.” Gerutu Gotama.
“Siap!” Jawab keduanya berbarengan.
Hira mengedipkan matanya, bingung.
Kok mereka bisa kompak begitu?
“Mulai!” Teriak Gotama.
Lalu kembali hening.
Tidak ada yang bergerak.
Lengan Kazuki dan Bara tidak bergerak satu inci pun.
Apa mereka belum mulai?
Bukan.
Hira bisa melihat otot lengan dan leher mereka menegang. Walaupun keduanya sama-sama menyeringai, tapi peluh mulai muncul di wajah mereka.
Tidak ada yang mau menyerah.
Mereka imbang?
“Kok menjatuhkan anak kecil saja tidak bisa?” Celetuk Kazuki. Nafasnya berat.
Bara tertawa, terengah. “Dibilang, kasian nanti liat anak kecil nangis.”
Bisa-bisanya mereka...
BRAK!
“MANA KOLONEL IZUMI?!”