BARA
“Hesa! Jangan kebanyakan mikir!” Tegur Bara sembari mengayunkan tongkatnya ke sisi tubuh Mahesa yang hampir saja terlambat bereaksi.
Bara menarik tongkatnya dan berhenti. Memandangi Mahesa dengan alis berkerut.
“Kamu mikirin apa sih?” Tanya Bara.
Mahesa menggelengkan kepalanya. Matanya masih enggan menatap Bara.
Sudah dua hari ini latihan kembali dimulai. Dan sudah dua hari ini pula Mahesa enggan menatap Bara.
Bara membuang nafas. “Ya udah sana latihan lagi sama yang lain.” Ujar Bara sembari menepuk bahu Mahesa.
Namun tiba-tiba anak itu meringis, seperti sedang menahan sakit.
“Bahu kamu sakit?” Tanya Bara khawatir.
Mahesa mengangguk ragu. “Jatuh di panti.” Gumamnya.
Bara mengerutkan dahinya. Seingat Bara, Mahesa bukan anak yang ceroboh. Saat latihan di hutan pun dia hampir tidak pernah jatuh. Apalagi di panti yang tergolong aman.
“Saya permisi latihan dengan yang lain dulu, raka Bara.” Ujar Mahesa sambil buru-buru berlari kecil ke arah teman-teman lainnya yang sedang berlatih bersama Kama.
Bara memperhatikan Mahesa yang sudah bergabung dengan teman-temannya. Kama terlihat sibuk meneriakkan instruksi sana sini.
Kenapa belakangan ini rasanya seperti ada jarak di antara mereka? Anak-anak terkesan agak menjauh, terlalu hati-hati ketika berbicara dengan Bara.
Apa mungkin karena Bara terlalu banyak menghabiskan waktu menemani Manu?
Atau belakangan ini muka Bara jadi makin seram karena kelelahan?
Kama tiba-tiba menoleh ke arah Bara. wajahnya terlihat...bersalah?
Bara rasanya ingin kabur karena takut. Apa lagi melihat Kama mulai berjalan ke arahnya setelah membubarkan anak-anak.
Kenapa orang itu tiba-tiba melihatnya seperti itu? Bara sudah terlalu terbiasa melihat Kama menatapnya seperti kucing melihat tikus. Seperti orang melihat kecoa. Jadi rasanya malah seram melihat Kama tiba-tiba berwajah mengiba seperti itu.
Lebih baik Bara kabur.
Bara sudah mau berlari kembali ke kamar Manu. Tapi Bara bisa mendengar Kama memanggilnya.
Bara pura-pura tidak dengar, melanjutkan berjalan.
“Bara!” Bentak Kama.
Nah, kalau sudah main bentak begitu berarti harusnya Kama sudah kembali normal.
“Ya?” Sahut Bara.
“Mau kemana?” Tanya Kama, nada kasar di suaranya tiba-tiba hilang.
“Ketemu Manu.” Jawab Bara ragu.
“Bagaimana keadaannya?”
Bara mengernyitkan dahinya melihat Kama yang seperti orang asing. Seumur-umur, baru ini Bara melihat Kama terlihat bingung dan khawatir.
“Lukanya udah banyak yang membaik. Tapi nafasnya masih susah.” Jawab Bara.
Kama mengangguk, makin terlihat bingung.
Bara membuang nafas kesal. “Kenapa nggak tengok sendiri aja sih?” Tanyanya kesal.
“Bukan--”
“--lama ah!” Tanpa pikir panjang, Bara meraih tangan Kama dan menyeretnya.
“Bara!” Bentak Kama, berusaha melepaskan tangan Bara.
“Khawatir kan sama Manu? Ya udah sini ikut!”
“Tapi--”
“--apa? Malu? Takut? Cupu.”
“Aku bisa jalan sendiri!” Geram Kama, menyentak tangannya.
Bara mencibir, membiarkan Manu berjalan mendahului nya.
Saat tiba di kamar Manu, ada Damar yang sedang membantu Manu mengganti perbannya. Manu terlihat menahan sakit dan kesulitan tetap duduk. Damar jelas-jelas berusaha menyelesaikan pekerjaannya secepatnya karena takut menyulitkan Manu.
“Damar, sini biar aku aja.” Ujar Bara buru-buru mengambil alih. Bara duduk di samping Manu dan meletakkan satu tangannya di punggung atas Manu, membantu Manu agar bisa duduk tanpa harus mengeluarkan banyak tenaga. Tangan Bara yang lainnya memegang perban, pelan-pelan melilitnya di tubuh Manu.
“Kamu beresin kamar saja, Damar.” Ujar Bara.
“Baik tuan.” Ujar Damar sembari mulai mengumpulkan bekas-bekas perban di lantai.
“Mas Kama...apa kabar?” Tanya Manu, terengah-engah.
Bara melirik ke arah Kama yang wajahnya terlihat seperti orang yang baru kena tampar.
“Baik.” Jawab Kama pelan. “Lukamu belum sembuh?”
“Nggak liat itu masih banyak darah?” Sahut Bara.
“Aku nggak nanya kamu.” Bentak Kama.
“Nah, gitu dong galak.” Ledek Bara.
Kama terlihat sudah siap untuk melayangkan tinjunya ke arah Bara. Tapi ujung-ujungnya dia hanya menggeram kesal ke arah Bara.
“Tuan-tuan, saya permisi dulu.” Ujar Daram.
“Terima...kasih banyak...ya Damar.” Ujar Manu.
Damar mengangguk sebelum keluar dari kamar Manu.
“Mau duduk atau rebahan?” Tanya Bara.
“Mas Kama...kenapa?”
Bara melirik ke arah Kama sembari membantu Manu merebahkan dirinya. Kama terlihat seperti sedang menimbang-nimbang sesuatu. Seperti seorang anak yang mau memberi kabar buruk ke orang tuanya.
“Ditanya tuh.” Gumam Bara.
Kama terlihat ragu.
“Bikin salah apa sih sama Manu? Susah amat mau ngomong.” Protes Bara, tidak sabar.
“Siapa yang bilang aku mau ngomong sama Manu sih?” Kama balas protes.
“Ya abis sama siapa lagi? Ayam? Nggak ada ayam di sini.”
“Kamu tuh kalau diajak bicara kenapa ada saja jawabannya sih?”
“Lah, kamu juga jawab mulu.”
“Mas Kama…” Suara tersengal-sengal Manu menghentikan debat kusir Kama dan Bara. “Mas Kama...mau bilang..apa ke..Bara?”
“Hah?” Bara menoleh ke arah Manu, lalu kembali ke arah Kama.
Kama yang wajahnya mengeras. Kedua tangannya terkepal kencang di sisi tubuhnya.
“Tidak ada.” Jawab Manu singkat. “Semoga lekas sembuh.”
Sebelum Manu dan Bara bisa berkata apa-apa. Kama sudah berjalan keluar dari kamar, menutup pintu rapat-rapat.
Nggak jelas.
“Bagaimana...latihan?” Tanya Manu.
“Ya gitu-gitu aja.” Jawab Bara sambil merebahkan tubuhnya di lantai.
“Kamu...nggak mau...pulang?”
“Ngapain? Di rumah juga nggak ada orang.” Bara meregangkan tangannya. “Kamu mau istirahat?”
“Nanti…”
“Eh, kemarin aku baca, katanya--”
Ada suara tawa pelan, terengah-engah, namun bahagia. “Kamu...baca...apa?”
“Kok jahat sih?” Gumam Bara kesal.
“Maaf...aku cuman...senang.”
Bara mendengus. “Pokoknya aku baca, katanya ada kursi kayu yang bisa dikasih roda gitu.”
“Untuk?”
“Buat kamu. Biar nanti kalau kita naik kapal di Segaten, kamu bisa keliling kapal sendiri.” Bara melirik ke arah Manu. Walau tidak terlalu terlihat dari tempatnya tiduran, Bara bisa melihat senyum kecil di ujung bibirnya.
“Tolong buat...yang bagus...ya” Ujar Manu pelan.
Bara menyeringai lebar.
Untuk sesaat, Manu dan Bara berbaring dalam diam. Manu nampaknya tidur. Sedangkan Bara sedang sibuk membayangkan kursi kayu beroda. Enaknya cari kayu apa ya? Bara tidak pandai membuat benda-benda. Mungkin dia bisa minta tolong seseorang untuk mengajarkan cara memotong dan merangkai kursi?
Pasti menyenangkan bisa mendorong Manu kemana-mana. Kursi beroda itu pasti bisa mempermudah Manu pergi ke peternakan, atau sekedar mencari udara segar di pekarangan.
Tanpa sadar, Bara ikut tertidur.
Bara terbangun saat merasakan ada sesuatu yang menimpa wajahnya.
Sebuah bantal.
Bara menguap dan meletakkan bantal tersebut di bawah kepalanya.
“Pulang...nanti sakit…” Ujar Manu.
“Entar.” Gumam Bara, berusaha kembali tidur.
Tapi sebuah bantal kembali mendarat di wajahnya.
Bara duduk, kesal.
“Iya, iya!” Gerutu Bara sembari berdiri dan memungut kedua bantal yang di lempar Manu.
“Pulang…” Manu kembali mengingatkan, melihat Bara malah berjalan ke arah tempat tidurnya.
“Iyaa, bawel amat.” Bara meletakkan kedua bantal tersebut di tempat tidur, mengaturnya agar bisa menopang tubuh Manu dengan nyaman.
Sambil menguap lebar, Bara menutup pintu di belakangnya. Bara masih enggan pulang. Dia bisa saja tidur di ruang sebelah seperti biasa.