HIRA
Kota ini terlihat sedih dan penuh peluh.
Biasanya, Hira yang merasa lelah. Lelah dengan hidup. Dengan masa depan yang rasanya tidak jelas ada di mana.
Tapi belakangan ini, malu rasanya untuk mengeluh ketika kota ini terlihat jauh lebih lelah. Terlihat lebih kuyu. Seperti ada yang menumpahkan abu. Sudahlah tanah penuh dengan salju yang mengeruh, tak ada sedikitpun warna yang nyata terlihat. Secerah apapun, seterang apapun, belakang ini selalu terlihat kusam dan pudar.
Untuk itu Hira harus lebih kuat lagi.
Paman Asim dan bibi Bestari baru saja kehilangan Manu.
Begitu juga Bara.
Harsha dan Usha sedang ketakutan, mimpi buruk karena melihat kereta berdarah Manu.
Kak Uma dan mas Gotama pun tak luput dari hawa sendu kota. Mereka sama-sama ikut merasa cemas karena wajah kota yang tiba-tiba terlihat beringas.
Siang itu, berjalan menuju perehatan, Hira mendapati dirinya melempar senyum ramah ke arah tiap orang yang ia lewati.
Melihat wajah-wajah asing itu tersenyum kembali, walau kadang hanya seadanya, membuat Hira merasa dirinya bisa lebih kuat.
Mungkin itu kenapa Kazuki sering tersenyum?
“Siang, nona Hira!”
Hira tersenyum. “Siang, kopral Honda.”
Beberapa prajurit lain ikut menyapa nya, bahkan menawarkan makanan. Hira hanya bisa berusaha membalas sapaan mereka satu-satu sembari berusaha mencari jalan menuju ruang kerja Kazuki.
Orang-orang ini. Mereka sungguh berbeda dengan ichi-gun yang Hira tahu. Mereka ramah, jauh lebih ramah daripada pria-pria Khajana. Walau Hira masih belum bisa mempercayai mereka. Namun Hira tidak bisa bohong, saat ini dirinya merasa aman. Saking amannya, Hira terkadang lupa bahwa dia di sini untuk mencari informasi. Bukan untuk enak-enakan kerja, menikmati hangatnya perehatan.
Tapi tidak hari ini. Hari ini, begitu melihat pemandangan perehatan yang sepi namun terasa hangat ini. Hira langsung terbayang-bayang tugas dari paman semalam.
Paman Chanda memintanya mencari tahu informasi yang kira-kira bisa menahan Kazuki. Yang kira-kira bisa membuat Kazuki rela memecah pasukannya.
Mustahil. Pikir Hira.
Informasi seperti itu tidak bisa didapatkan hanya dari mencuri dengar atau melirik kertas-kertas yang tercecer. Seperti yang selama ini Hira lakukan.
Tidak.
Informasi semacam itu hanya bisa didapatkan dengan benar-benar memperhatikan Kazuki. Dengan berbincang dengan Kazuki.
Hira membuang nafasnya pelan.
Seharusnya dia tidak perlu sepanik ini. Hira hanya perlu membuat Kazuki menawarkan diri untuk mengantarnya kembali ke rumah. Hal yang sudah beberapa hari belakang ini tidak lagi dilakukan oleh Kazuki.
Aneh.
Hira bergegas ke lantai dua, menuju ruangan Kazuki. Dia agak terlambat hari ini karena harus mengantar makanan ke rumah Bara. Walaupun ujung-ujungnya Hira harus menitipkan makanannya kepada bibi Dalimah karena pria itu justru tidak ada di rumah.
Sulit sekali bertemu Bara akhir-akhir ini. Berpapasan di pekarangan rumah paman pun, Bara tidak terlihat seperti dirinya sendiri. Diam. Tatapannya kosong.
Hati Hira sakit melihatnya.
Besok Hira harus menemui Bara.
“Permisi, kolonel Izumi.” Hira mengetuk pelan pintu kantor Kazuki.
Tidak ada jawaban.
Pelan-pelan Hira membuka pintu di depannya. Dinginnya ruangan di balik pintu tersebut membuat bulu kuduk Hira berdiri.
Perapian kecil di kiri ruangan rupanya sudah kehabisan kayu untuk dilahap. Jendela di ujung ruangan terbuka, mengizinkan dinginnya angin masuk ke ruangan. Di sofa kecil di sebelah kanan ruangan, Kazuki sedang berbaring. Nampaknya tertidur.
Apa nanti dia tidak sakit?
Hira buru-buru masuk, menambahkan kayu bakar ke perapian agar api yang sudah sekarat itu bisa tetap hidup. Lalu, Hira bergegas menutup jendela di belakang meja Kazuki. Sudah cukup udara segar yang masuk. Yang ada nanti ruangan ini ikutan bersalju saking dinginnya.
Hira tidak menemukan selimut. Namun ada jubah tak bertuan yang tersampir di kursi Kazuki. Walau mungkin tidak terlalu tebal, tapi harusnya cukup untuk sekedar menghalau dingin.
Hira mengambil jubah tersebut dan berjalan ke arah Kazuki. Satu lengannya terkulai ke lantai. Wajahnya merengut, seperti sedang mengkhawatirkan sesuatu.
Pasti dia lelah.
Hira berlutut di samping sofa. Pelan-pelan Hira mengangkat tangan Kazuki, meletakkannya di sisi tubuhnya. Agar paling tidak bisa tertutup jubah nantinya.
Namun tiba-tiba pria itu memutar tubuhnya sambil menarik tangan Hira, meletakkannya di bawah pipinya.
“Ibu?” Gumam Kazuki.
Hira ragu untuk segera menarik tangannya. Jantungnya berdesir. Wajah yang terlelap di depannya terlihat begitu pusing, begitu sakit. Namun juga begitu polos.
Hira membiarkan tangannya menyentuh pipi Kazuki. Merasakan kulit pipinya yang kering dan kasar karena penuh dengan bakal janggut.
Nafas Kazuki hangat menyentuh kulit tangan Hira.
Hira memutuskan untuk membiarkan tangannya sementara. Walaupun jantungnya sudah berdebar-debar tak karuan.
Dengan tangannya yang bebas, Hira berusaha menyampirkan jubah yang ia bawa. Hira berusaha melakukannya sepelan mungkin, takut Kazuki terbangun. Hira juga tidak tahu kenapa dirinya tiba-tiba jadi sepeduli itu. Mungkin karena wajah Kazuki yang sedang tidur sambil merengut seperti itu mengingatkannya kepada Harsha. Dia rasanya ingin mengurut lembut kerut di dahi pria ini, seperti yang Hira biasa lakukan kepada Harsha. Tapi Hira tahu ini bukan tempatnya.
Hira tersenyum, merapikan bagian bawah jubah agar menutupi kaki Kazuki sebanyak mungkin.
Hira merasakan genggaman Kazuki semakin erat.
Ia menoleh.
Mendapati pria itu sedang menatapnya.
Untuk sesaat, rasanya Hira seperti tidak mampu bergerak. Terjerat oleh sepasang mata yang baru pertama kali ia lihat sedekat ini. Sepasang mata yang penuh dengan keinginan yang sulit diungkapkan. Hilang sudah kerutan di dahi pria tersebut. Tak ada lagi jejak-jejak lelah dan takut.
Sedikit demi sedikit, jarang di antara mereka menipis.
Hira bisa merasakan hangat nafas Kazuki yang menyapu pipinya, membuat tubuhnya gemetar.
Hira menahan nafasnya.
TOK TOK!
Hira buru-buru menarik tangannya, berdiri dan kabur ke arah perapian. Menambahkan kayu ke api yang sedang membara.
“Ya?” Panggil Kazuki serak.
Pintu terayun terbuka, menampakkan Kichiro. Sudah sering berjumpa pun Hira masih belum terbiasa menerima lirikan tajam pria itu. Walau hanya sekilas, namun cukup untuk membuat Hira gelisah. Seolah-olah Kichiro bisa membaca semua pikiran dan rencananya hanya dengan sekali lirik.
Hira cepat-cepat mengalihkan pandangannya dan menemukan dirinya justru melirik ke arah Kazuki. Pria itu sudah duduk di kursi, menopang tubuhnya dengan kedua lengan yang tersandar di lututnya. Tangan kanannya sibuk mengurut batang hidungnya.
“Nona Hira.” Panggil Kazuki. “Yuto ada di ruang sebelah dengan pekerjaan Anda.”
Hira mengangguk dan bergegas ke ruangan sebelah. Tembok antar ruangan di gedung ini tidak terlalu tebal. Jadi seharusnya Hira bisa mencuri dengar sedikit-sedikit asalkan tidak terlalu banyak keributan. Bahkan mungkin Hira bisa mendengarkan semuanya kalau dia mau nekat menempelkan telinganya di daun pintu.
Namun, nampaknya ide tersebut harus dipertimbangkan kembali. Hira mendapati Yuto sedang bekerja di ruang sebelah.
Melihat Hira, anak itu tersenyum lebar.
“Siang, nona Hira.” Sapanya dengan bahasa Swarga yang terbata-bata.
Hira tersenyum, memberikan anggukan kecil sebagai jawaban.
“Pekerjaan hari ini.” Ujar Yuto sambil menunjuk ke meja kecil di sampingnya, dengan beberapa buah buku hitam tertumpuk rapih.
“Terima kasih, Kopral Sano.” Samar-samar, Hira bisa mendengar gumaman suara dari ruang sebelah.
Untuk orang lain, mungkin gumaman itu tidak akan memberikan informasi apa-apa. Tapi untuk Hira, gumaman itu sudah cukup.
Hira duduk sembari berusaha mencuri dengar pembicaraan di ruang sebelah. Beruntung Kopral Sano tidak terlalu pandai bahasa Swarga. Hira jadi tidak perlu khawatir tiba-tiba diajak berbincang. Agak sulit menghitung sambil menguping. Namun dari raut wajah Kichiro dan Kazuki, nampaknya perbincangan mereka akan penting.
“Saya tidak mengerti. Pasti informasi wanita itu salah.” Protes Kichiro.
“Cuman kau dan aku yang tahu tentang asal dua jenazah itu, Kichiro.” Ujar Kazuki. Suaranya terdengar parau.
“Bisa saja dia menyelidiki kedua jenazah itu sendiri kan?”
“Kichiro, biasanya kamu yang mengingatkan saya untuk tidak terbawa perasaan.”
Hening.
Hira mendapati dirinya menahan nafas, menunggu informasi selanjutnya.
“Tapi bukan berarti dia yang membunuh tuan Manu, kan?” Tanya Kichiro.
“Aku pun masih mau berharap begitu. Tapi kedua kejadian itu terlalu berkaitan.”
“Tetap saja--”
“--KICHIRO!”
Hira dan Yuto sama-sama hampir loncat dari kursi mereka.
Dan Hira mendapati dirinya gemetar karena takut.
Kazuki terdengar begitu marah.
Pria yang biasanya terlihat seperti orang yang menganggap bahwa semua hal di dunia ini adalah bahan bercandaan.
“Ini perintah.” Suara Kazuki terdengar lemas.
Tidak ada jawaban dari Kichiro.
“Tolong amankan saja dulu Shigure.” Lanjut Kazuki. “Anggap saja itu cara kita agar dia tidak gegabah pergi ke jalur barat sendirian.”
Hira mendengar Kichiro bergumam. Namun suaranya begitu pelan. “---menyerang Manu?”
Siapa? Mereka masih membicarakan Shigure?
“Yang pasti mencari tahu kenapa dia sampai memilih Manu untuk diserang.” Jawab Kazuki. “Kalau memang benar pembunuhan kedua prajurit dari Khutamas itu ulahnya, berarti itu semua sudah direncanakan. Berarti Manu bukan sembarang target.”
“Berarti Manu ada hubungannya dengan kematian Touya?”
“Bisa jadi.”