HIRA
Lagi-lagi Bara tidak ada di rumah.
Kemana anak itu?
Kenapa anak itu?
Hira berencana bertanya kepada mas Bharata, tapi pria itu juga sulit sekali ditemui.
Dalimah, salah satu pelayan di kediaman Ranggawuni, meminta Hira untuk menunggu di ruang makan sembari disuguhi makan malam.
Rumah ini sepi sekali.
“Mohon maaf ya, nona. Tidak banyak makanan disini.” Ujar Dalimah sungkan. Di atas meja, wanita paruh baya itu sudah menyuguhkan berbagai macam kudapan, nasi dan lauk.
Sudah lama Hira tidak melihat makanan sebanyak ini.
“Aduh, bibi Dalimah tidak usah repot-repot.” Ujar Hira. Tangannya gatal ingin membantu tapi dia tamu. Tidak sopan kalau justru memaksa membantu.
Dalimah tertawa serak. “Tidak apa-apa, nona. Sudah lama tidak ada tamu datang begini. Senang jadinya ada ramai-ramai sedikit. Biasanya sepi sekali.”
Iya, biasanya Hira hanya mampir sampai pekarang saja, tidak pernah menawarkan diri untuk menunggu Bara. Baru kali ini Hira merasa perlu. Pertama, karena rasanya informasi yang ia dapat dari perehatan itu penting untuk Bara. Kedua, karena Hira perlu alasan untuk tidak cepat-cepat pulang ke rumah. Hira masih sangsi memberitahu semua informasi yang ia dengar hari ini kepada paman Chanda.
“Bibi tinggal sebentar ya.”
Hira mengangguk, tersadar dari lamunannya.
Dan baru benar-benar merasakan suram dan heningnya tempat ini.
Dibandingkan kediaman keluarga Gardapati, kediaman keluarga Ranggawuni punya bangunan yang lebih kecil dan sedikit. Pekarangan mereka lebih luas, biasa digunakan untuk melatih pasukan-pasukan pribadi keluarga.
Namun, tanpa Aglis dan Arah Ranggawuni, rumah ini kosong. Tidak ada kegiatan. Lorong-lorong dan jendela-jendela terlihat gelap tanpa temaram remang lilin. Hanya bagian rumah ini saja yang terasa sedikit hidup. Dialuni suara samar-samar kesibukan di dapur, gumaman obrolan dan tawa para pengurus rumah, dan suara lembut gemeretak api yang pelan-pelan melahap kayu bakar di perapian.
Hira menyantap makanannya pelan-pelan, tidak nafsu makan. Matanya masih memandangi tiap sudut rumah, berusaha mengingat-ngingat ruangan-ruangan di balik pintu-pintu yang tertutup itu.
“Ini teh buah persik, kesukaan nona.”
Dalimah tiba-tiba muncul dengan nampan berisi teko dan cangkir. Karena tubuhnya yang kecil dan sudah bungkuk, dan gerakannya yang pelan, Hira benar-benar tidak mendengar kedatangannya.
“Wah, bibi masih ingat saja.” Ujar Hira, menunggu Dalimah menuangkan secangkir teh untuknya.
“Tentu saja. Dulu kan tuan Arah dan tuan Bara paling bawel soal teh ini.” Ujarnya sambil terkekeh. “Katanya nona Hira tidak mau mampir ke sini kalau tidak ada teh buah persik.”
Hira ikut tertawa. Teringat kenapa dulu Hira diingat sebagai anak yang cuman mau minum teh buah persik. Hira tahu teh buah persik sulit dicari dan sekalinya bisa didapat pun tidak banyak. Makanya selain enak, Hira juga menggunakannya sebagai alasan agar tidak perlu sering-sering mampir ke kediaman Ranggawuni karena Hira takut bertemu paman Aglis yang mukanya galak dan seram.
Hira tersenyum, menyesap teh hangat yang sudah disediakan Dalimah. Sudah lama sekali Hira tidak meminum teh buah persik. Rasanya sungguh familiar, membangunkan kenangan-kenangan masa kecilnya, ketika hidupnya kebanyakan diisi dengan bermain dan ribut bersama Bara.
Berbincang dengan Dalimah membuat Hira lupa tentang penatnya, tentang kekhawatirannya, tentang informasi-informasi memusingkan dari perehatan. Dalimah, dan suara seraknya, membawa Hira kembali ke masa kecilnya. Dalimah menceritakan kembali kisah-kisah yang bahkan Hira sudah tidak ingat.
Tak terasa, malam semakin larut. Api di perapian sudah berkedip-kedip, tersengal-sengal kehabisan bahan bakar. Dalimah menyarankan Hira pindah ke ruang tamu yang lebih kecil agar lebih hangat.
“Apa perlu bibi siapkan kamar?” Tanya Dalimah saat menyalakan perapian di ruang tamu.
“Tidak perlu, bi.” Jawab Hira buru-buru. Dulu Hira memang sering menginap di sini saat ibu masih ada. Tapi sekarang, kalau tidak pulang, Harsha bisa-bisa menangis mencarinya sampai pagi. Dan lagi, dia sudah dewasa. Bisa jadi omongan kalau sampai ada yang tahu.
Belum lagi paman Chanda yang pasti akan menghukumnya.
Dalimah tersenyum. “Nanti kalau tuan Bara pulang, biar saya minta langsung ke sini.” Ujar Dalimah sambil berjalan pergi.
Hira balas tersenyum.
Hening.
Hira mulai merasa mengantuk.
Mungkin memejamkan mata sebentar tidak apa-apa.
“Tuan Bara! Apa tidak sebaiknya ganti baju dulu?!”
Hira mengernyit, berusaha membuka matanya yang terasa berat.
Bara sudah pulang?
Hira mengusap wajahnya, berusaha menyingkirkan kantuk dari matanya.
BRAK!
Pintu ruang tamu terbuka.
Hira menoleh, mendapati Bara sedang berdiri di ambang pintu.
Tubuhnya penuh darah.
Jantung Hira rasanya seperti berhenti sejenak saat melihat pemandangan di depannya.
“Ngapain kamu disini?” Tanya Bara pelan.
Hira tidak menjawab. Dia berdiri dan buru-buru menghampiri Bara, berusaha mencari luka ditubuhnya.
Dimana?
Dimana lukanya?
Darahnya begitu banyak. Bagaimana dia bisa berjalan sampai kemari?
Namun tangannya dengan cepat ditangkap oleh Bara.
“Bukan darah aku.” Gumamnya.
Hira mendongak.
Lalu darah siapa?
Hira ingin bertanya. Tapi wajah yang menatapnya membuat lidahnya kelu.
Pria yang sedang berdiri di depannya ini terlihat setengah hidup.
“Kamu bersihkan diri dulu.” Ujar Hira pelan. “Aku tunggu.”
“Pulang.”
“Aku tunggu.” Ulang Hira tegas.
Bara terdiam, tidak menjawab. Namun setelah membuang nafas kecil, ia mengangguk pelan. Akhirnya mau mengikuti Dalimah ke ruang mandi.
Saat Bara sudah hilang dari jarak pandangnya, Hira membiarkan kakinya menyerah dan terduduk di lantai. Nafasnya memburu, rasanya seperti habis lari dari maut. Dia sudah takut terjadi sesuatu pada Bara.
Tapi lalu darah itu bukan darahnya.
Walau panik, Hira mendorong dirinya untuk berpikir secara jernih. Tapi Hira tidak bisa menemukan alasan yang bisa menjelaskan banyaknya darah di tubuh Bara.
Hira memejamkan matanya, menundukkan kepalanya.
Hira kecewa pada dirinya sendiri.
Dia pikir selama ini dirinya sudah cukup memperhatikan Bara. Namun saat ini, Hira dengan pahit harus mengakui bahwa dia bahkan tidak tahu apa yang sebenarnya Bara lakukan sejak bergabung dengan Nae Subah.
Hira kecewa karena terlalu tenggelam dalam masalahnya sendiri, dia sampai mengabaikan Bara.
Bara pasti kesepian. Dia pasti lelah berjuang sendiri apalagi setelah Manu pergi.
Egois sekali kau Hira. Batinnya.
Tapi sekarang bukan saatnya ikutan terpuruk. Meski kakinya masih gemetar, Hira memaksakan dirinya bangun. Hira punya Harsha yang biasanya menyambutnya pulang dengan penuh senyum dan kelakar. Saat ini, Bara tidak punya siapa-siapa.
Kecuali Hira.
Hira harus bergerak. Agar kejadian 5 tahun lalu tidak terulang lagi. Bara sudah berjanji, dan Hira harus kuat untuk bisa membuat Bara menepati janjinya.
Kaki Hira terasa seperti melayang saat Hira berjalan ke arah selasar, mencari Dalimah. Ia menemukan perempuan itu keluar dari ruang mandi membawa baju kotor Bara.
“Bibi nanti bisa minta tolong antarkan makanan ke kamar Bara?” Tanya Hira. “Biar saya saja nanti yang menyiapkan baju dan perapian di kamar.”