KAZUKI
Kazuki menatap nanar peti-peti yang tengah diarak keluar dari perehatan. Kazuki ingat betul wajah-wajah dan nama-nama yang sedang terbaring kaku di balik peti-peti itu.
Satu. Dua. Sepuluh peti. Belum lagi tiga orang yang masih kritis di rumah sakit.
Selama ini usahanya menangkap si setan jalur barat tidak pernah membuahkan hasil. Melihat batang hidungnya saja pun tidak pernah.
Namun, sekalinya orang-orangnya bertemu dengan setan itu. Mereka harus membayar dengan nyawa.
Tapi seharusnya tidak begini kan? Dari semua laporan yang ia terima, korban terparah hanya harus menerima begitu banyak jahitan. Cacat pun tidak. Prajurit-prajuritnya jauh lebih terlatih daripada penjaga bayaran yang dibawa para pedagang.
Tapi kenapa.
Kazuki tahu ada yang luput dari perhatiannya.
Tapi apa?
“Kolonel.”
Kazuki menoleh ke arah Kichiro yang muncul di belakangnya. Wajahnya sudah seperti langit mendung musim dingin Khajana. Pucat, gelap, dan siap melepas badai amarah kapan saja.
“Anda belum istirahat dari semalam.”
Kazuki tersenyum. “Biasanya kau ngomel karena aku malas bekerja.” Ujar Kazuki, berusaha bercanda.
Kichiro melirik ke arah Kazuki. “Kalau Anda tumbang, saya lebih repot lagi.” Ujarnya.
“Jangan galak-galak dong.” Ujar Kazuki sambil terkekeh, menepuk-nepuk pelan punggung Kichiro.
Kichiro membuang nafas pelan.
Kazuki tahu Kichiro pasti sama lelahnya.
Semuanya pasti lelah. Dan marah.
Justru memang saat-saat yang paling genting tadi malam adalah menghentikan para prajurit agar tidak pergi dan memporak-porandakan kota.
“Dia pasti orang sini!” Ujar salah satu prajurit tadi malam. “Kami sudah berminggu-minggu menyisir gunung Gayatri dan tidak menemukan tempat persembunyian satu pun!”
Ya, Kazuki juga tahu. Jika si setan jalur barat ini adalah orang yang sama yang membunuh Touya, maka sudah pasti dia adalah orang Khajana.
“Tapi lalu kau mau apa? Menyeret semua pria Khajana kemari?” Tanya Kazuki dingin.
Prajurit itu terdiam.
Bukannya tidak mau buru-buru mencari pelaku penyerangan. Tapi Kazuki masih ingin berpegangan pada harapan bahwa ia bisa menemukan orang itu tanpa membuat rusuh kota ini.
Tapi melihat baris demi baris peti mati pagi ini, harapannya terasa rapuh sekali.
“Kichiro, cari Aoyama. Temui saya di ruangan.” Ujar Kazuki.
“Baik, kolonel.”
“Bawa daftar anggota keluarga tuan besar dan pejabat kota.”
Setelah acara penghormatan dan pelepasan jenazah tadi pagi, Kazuki sudah memerintahkan anak buahnya untuk memperketat penjagaan jalur barat sekaligus melakukan penyisiran besar-besaran di dekat lokasi penyerangan. Dia juga sudah meminta kapten Hidaka untuk melakukan distribusi senjata tajam dan senjata api. Walau sebenarnya Kazuki enggan, tapi keselamatan anak buahnya jauh lebih penting ketimbang mempertahankan sentimen warga. Walikota dan pejabat kota sudah pasti di urus oleh kapten Okazaki, jadi Kazuki tidak perlu khawatir.
Kazuki membuang nafas panjang dan memejamkan matanya. Ia menopang kepalanya dengan tangannya, memandang kosong ke arah tumpukan kertas di mejanya.
Apa lagi? Apalagi yang terlewat?
Dengan pembantaian ini, apa Kazuki harus khawatir akan adanya penyerangan terbuka terhadap tentara Azumachi?
Kazuki berharap bisa mengurai masalah di kota ini sedikit demi sedikit, dengan cara yang lebih halus. Tapi kalau harus dibayar dengan nyawa anak buahnya...
“Kolonel Izumi.”
Kazuki mendongak, mendapati Kichiro dan Aoyama sudah berdiri di hadapannya.
“Ada kabar baru?” Tanya Kazuki.
Aoyama menggeleng sembari menduduki kursi yang ada di seberang meja Kazuki. “Saya sudah coba utus beberapa regu untuk menanyai warga sekitaran pintu barat.”
“Coba fokuskan regu itu untuk menanyai warga dekat kaki gunung Gayatri.” Ujar Kazuki menerima setumpuk kertas dari Kichiro.
“Tapi kan penyerangannya terjadi di dekat jalur barat?”
“Iya, tapi tidak mungkin penyerangnya masuk lewat pintu barat, kan? Pintu itu sudah dijaga begitu banyak orang sekarang. Kalau benar penyerangnya adalah orang Khajana, dia pasti tahu jalan keluar dari gunung Gayatri.” Jawab Kazuki.
Aoyama mengangguk. “Baik.”
“Kichiro, bagaimana dengan Shigure?” Sulit sekali rasanya melontarkan pertanyaan itu.
“Maaf kolonel, saya belum sempat melakukan interogasi.” Jawab Kichiro pelan.
“Tidak apa-apa. Nanti biar saya saja kalau begitu.”
“Ada perlu apa dengan kami berdua? Pasti bukan hanya untuk sekedar laporan singkat kan?” Tanya Kichiro.
“Saya ingin dilakukan pencarian ke rumah-rumah tuan besar dan para pejabat kota.”
Walau sempat terlihat kaget, Kichiro dan Aoyama juga terlihat lega.
Kazuki membolak-balik kertas di hadapannya. Daftar anggota keluarga tuan besar dan pejabat kota. Matanya dengan cepat menyisir nama-nama dan profil anggota keluarga, terutama mereka yang mirip dengan deskripsi para pedagang.
Matanya sesaat berhenti saat melihat nama pria itu.
Apa ini orang yang sama?
Kazuki mulai menandai beberapa keluarga dan anggotanya. Dia agar ragu menandai keluarga Ranggawuni mengingat kerjasama mereka. Tapi dia harus adil. Semua harus dicari.
“Aoyama, tolong pilih regu yang benar-benar bisa dipercaya. Saya tidak mau mereka mengobrak-abrik kediaman para tetua dan pejabat.” Lanjut Kazuki sembari menyerahkan dokumen yang sudah ditandai. “Tujuannya cuman mencari si setan jalur barat. Kalau ada yang dirasa sesuai dengan deskripsi atau ditemukan senjata yang mirip, bawa ke kantor walikota setenang mungkin. Nanti biar saya kabari Okazaki.”
“Baik.” Sahut Aoyama.
“Dan bawa beberapa orang dari kepolisian.”
Aoyama menangguk. Tapi wajahnya masih terlihat ragu. “Hmmm, saya sebenarnya sangat menunggu-nunggu perintah ini. Tapi kalau boleh jujur, saya khawatir.”
“Para tetua dan para pejabat pasti tidak akan senang.” Kichiro menimpali, menggenapkan kekhawatiran Aoyama.
Kazuki tahu, melakukan pencarian di rumah para tetua dan pejabat kota sama saja bermain api dengan hubungan kerjasama tentara Azumachi dan Khajana. Dan jelas, pencarian dadakan seperti ini pasti tidak akan disambut baik, bahkan jika membawa orang dari kepolisian Khajana,
Kazuki benar-benar tidak ingin memaksa mereka.
Tapi kalau sudah begini, Kazuki tidak punya pilihan lain.
“Yang tidak mau bekerja sama akan dianggap kaki tangan si setan jalur barat dan ditangkap.” Jawab Kazuki.
BRAK!
“Kolonel!!”
Terengah-engah, Yuto menyeruak masuk.
“Sersan Yasuda kabur!”
Kazuki memejamkan matanya, menundukkan kepalanya.
Mau apa kau, Shigure?
“saya akan--”
“--tetap fokus lakukan pencarian si setan jalur barat.” Kazuki memotong Aoyama. “Kalau kita bisa menemukan si setan jalur barat, kita akan menemukan Shigure.”
Kazuki mengangkat kepalanya, mendapati Kichiro dan Aoyama menatapnya bingung. “Shigure tidak menolak saat ditahan kemarin sore. Dia baru kabur sekarang setelah mendengar pembantaian semalam kan?”
“Tampaknya begitu, kolonel.” Sahut Yuto yang ternyata masih berdiri di pintu.
“Berarti dia tahu sesuatu tentang si setan jalur barat.” Lanjut Kazuki. “Kichiro, kau cari ke rumah para tetua. Aoyama, rumah para pejabat.”
“Baik, kolonel.” Sahut Kichiro dan Aoyama bersamaan.
“Yuto, kita ke rumah sakit. Sekarang.” Ujar Kazuki seraya berdiri dan mengenakan mantel serta topinya.
Kazuki tidak berharap banyak. Ketiga korban yang masih hidup sedang benar-benar bertahan antara hidup dan mati. Dia tidak yakin ada satupun yang mampu memberikan informasi tentang penyerangnya.
Tapi Kazuki tetap ingin mencoba. Seberapa kecil pun kemungkinannya.