KHAJANA

Anisa Saraayu
Chapter #22

20. Tenggelam Dalam Hangat

HIRA


Eh? 

Apa-apaan ini...

Hira terpatung. 

Hira tidak tahu harus bagaimana. 

Bibir Kazuki hangat, lembut menyapu bibirnya. 

Bagaimana ini? 

Harusnya Hira marah. 

Harusnya Hira buru-buru mendorong pria ini mundur dan memukulnya. 

Namun justru tangannya ingin menarik pria itu mendekat. Ada rasa yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Tubuhnya terasa aneh, seperti berdesir. 

Apa ini?

Kepalanya terasa dipenuhi kabut panas. Ia tidak bisa berpikir. 

Kazuki berhenti dan pelan-pelan menarik diri sebelum menempelkan dahinya ke dahi Hira. 

“Maafkan saya.” Gumam pria itu pelan.

Kenapa nafasnya jadi berat begini?

Kenapa jantungnya berdebar-debar seperti ini? 

Kazuki berdiri, pelan-pelan tangannya menjauh dari wajah Hira. Meninggalkan hangat yang membuatnya rindu. 

Kenapa hatinya sakit begini? 

Kazuki berjalan melewatinya. 

Tidak tahu. Hira tidak tahu. Yang Hira tahu, dia tidak ingin ini berakhir. 

Tangan Hira menemukan ujung celana Kazuki, menghentikan langkah pria itu. 

Hira menolehkan kepalanya, menengadah, mencari wajah Kazuki. 

Pria itu terlihat kaget, wajahnya ragu. 

Namun pemandangan itu tidak bertahan lama. Dalam sekejap, pria itu sudah ada dihadapannya. Lalu bibirnya sudah kembali menemukan bibir Hira, menghujaninya dengan hasrat yang menggebu-gebu. 

Kali ini Hira tidak diam saja. Tangannya meraih Kazuki, melingkar di belakang leher pria itu dan menariknya mendekat. 

Perasaan Hira rasanya seperti meluap-luap. Ada hasrat dan rasa rindu yang tiba-tiba menyeruak. Hira tidak sadar dia memiliki perasaan seperti ini. 

Saat jari-jarinya menyisir lembut rambut Kazuki, rasanya ia ingin memiliki pria ini seutuhnya. Rasanya ia ingin merengkuh pria ini selamanya. Rasanya ia ingin menyayangi dan mencintai pria ini selamanya.

Apa boleh begini? 

Tenggelam seperti ini...

Sekali ini saja, biarkan aku tenggelam sebentar dalam kehangatan ini. 

Hangat sentuhan-sentuhan Kazuki. 

Hangat bibirnya. 

Hangat nafasnya. 

Hangat saat ia membisikkan namanya. 

Hira membiarkan tubuhnya jatuh ke pelukan Kazuki, duduk dipangkuannya. 

Hira membiarkan dirinya tenggelam lebih jauh. Dunia seperti terbakar api yang tidak kasat mata. Ia tidak bisa merasakan apa-apa lagi kecuali Kazuki. 

Rasanya seperti ada dalam sebuah kotak kecil yang pengap. 

Namun anehnya Hira merasa dirinya bisa bernafas jauh lebih panjang. Jauh lebih lega. 

Rasanya jauh lebih lepas. 

Ia ingin terus tenggelam. Agar hilang. Agar lupa. Agar hanya bisa merasakan rasa yang tidak familiar ini.

Hingga Kazuki tiba-tiba berhenti. 

Hira membuka matanya, menatap sepasang mata hitam yang penuh dengan rasa khawatir. 

“Ada apa?” Tanya Hira pelan, terengah. Rasanya seperti dipaksa bangun dari tidur panjang setelah terlalu lelah bekerja.

Kazuki membelai pelan wajah Hira. “Demam mu tampaknya makin tinggi.” Gumamnya. 

Hira tersenyum. Dia pikir kenapa. “Tidak apa-apa.” Ujar Hira.

Tapi nampaknya Kazuki tidak percaya. Tiba-tiba tangannya sudah menyelinap ke bawah kaki Hira. Dengan mudah pria itu berdiri sambil menggendong Hira. 

Sebelum pelan-pelan menurunkannya, berdiri di hadapannya. 

Hira baru sadar sedari tadi ia menahan nafas. Ini bukan pertama kalinya Hira digendong seorang pria. Bara sering melakukannya, entah karena bercanda atau membantu Hira. 

Tapi kali ini rasanya berbeda sekali. 

Apa karena Kazuki yang melakukannya?

“Tunggu sebentar di sini ya.” Ujar Kazuki sambil mengecup lembut dahi Hira. Pria itu lalu pergi keluar dari ruangan kecil itu, meninggalkan Hira.

Meninggalkan Hira yang mematung seperti orang bodoh. 

Ruangan yang tiba-tiba sunyi. Ruangan yang tiba-tiba tanpa Kazuki. Kesadaran Hira datang dan pergi bak ombak. 

Ia bisa merasakan jantungnya berdebar-debar. Tubuhnya berat. Rasanya tidak karuan. 

Lemas? 

Demam? 

Panik?

Tidak tahu. 

Hira berjalan gontai ke arah kursi di dekat perapian. Berat, tubuhnya ambruk begitu saja ke kursi. Dengan tangan gemetar, Hira merapatkan jubah Kazuki di tubuhnya. Upaya sia-sia menghentikan gemetar tubuhnya. 

Apa yang baru saja terjadi? 

Semuanya terasa samar-samar.

Matanya berat dan tubuhnya seperti digantungin berkarung-karung beras. Tapi jantungnya berdebar terlalu keras Hira khawatir dadanya akan tiba-tiba pecah. 

Hira memejamkan matanya dan menyandarkan kepalanya ke meja. 

Ia mengernyit, merasakan linu di tulangnya. Merasakan sakit bekas pukulan paman semalam. 

Mengingat kembali hidupnya sebelum ciuman itu. 

Ah. 

Seperti itu kah rasanya? 

Begitu banyak buku yang ia baca. Para penulis menceritakan indahnya ciuman pertama. 

Bohong. 

Rasanya berat. Kuat. Seolah udara dan dunia mengecil hingga hanya tinggal mereka berdua. 

Rasanya menderu dan penuh dengan desakan. 

Rasanya seperti ada kekang yang enggan lepas, padahal ada hasrat yang meminta lebih. 

Ciuman pertamanya. 

Seperti bara yang termakan api. 

Seperti sepasang jiwa yang menyanyikan lagu yang sama, penuh dengan rasa putus asa.

Beratnya mampu membuatnya lupa tentang kejadian semalam. Tentang tugas yang membebaninya dari pagi. 

Namun sekarang yang tersisa hanya rasa resah. 

Apa pantas begini? 

Kenapa jadi begini? 

Sejak kapan perasaan ini ada? 

Dengan semua kesibukannya, dengan semua masalah dan kerusuhan di kota ini, kenapa bisa? Kenapa sempat-sempatnya perasaan ini tumbuh? 

Apa dia selemah itu hingga tanpa sadar jatuh dalam pesona Kazuki? 

Egois sekali…

Hira tersentak ketika merasakan ada tangan yang lembut menyentuh bahunya. 

“Maaf, kaget ya?” Tanya Kazuki sambil tersenyum lembut. 

Hira membuang wajahnya. Mendapati dirinya tidak sanggup memandang wajah pria itu. 

Kazuki meletakkan segelas air dan sebuah botol hitam di meja. 

“Obat demam.” Ujarnya sembari menyampirkan selimut tebal di bahu Hira. 

Kenapa dia bisa bersikap biasa saja seperti itu?

Kalau bisa, Hira justru rasanya ingin kabur. Atau menggali lubang dan bersembunyi. 

Berada dalam satu ruangan lagi dengan pria ini rasanya menyesakkan. 

Tangannya seperti punya keinginan sendiri untuk meraih pria yang sedang berdiri di sampingnya itu. 

Tapi hatinya rasanya seperti sudah meraung-raung minta ampun, tidak kuat kalau harus mencerna semua perasaan asing yang sedang membanjirinya. 

Susah payah Hira berusaha menahan tangannya agar berhenti bergetar saat berusaha meraih botol obat yang dibawakan Kazuki.

Namun usahanya tampaknya sia-sia. 

Karena Kazuki memutuskan untuk mendahului Hira meraih botol tersebut, mengeluarkan beberapa butir pil dan meletakkannya di tangan Hira. 

Hira buru-buru memasukkan obat tersebut ke mulutnya dan menelannya. Ia bisa merasakan Kazuki menatapnya khawatir.

“Minum?” Tanyanya ragu. 

Hira buru-buru menggelengkan kepalanya. 

Tangannya terlalu lemas dan ruat untuk mengambil gelas. Dan Hira tidak mau kalau Kazuki jadi beride untuk membantunya minum. 

Sudah cukup. 

Bahkan sentuhan ringannya saat meletakkan obat di telapak tangan Hira sudah cukup untuk membuat otaknya mandek. 

Kazuki mengangguk kecil dan melangkah mundur. 

Dan Hira harus mengerahkan semua tenaganya untuk menahan tangannya agar tidak bodoh berusaha meraih Kazuki.  

Atau menahan mulutnya agar tidak meminta Kazuki agar tidak meninggalkannya sendirian di ruangan ini. 

Seolah-olah bisa membaca pikiran Hira, Kazuki berjalan ke arah perapian sebelum duduk di lantai dan menyandarkan punggungnya di lemari. 

Dari sudut matanya, Hira bisa melihat pria itu menyilangkan kakinya dan menundukkan wajahnya. 

Lalu ia terdiam. 

Dan ruangan menjadi hening. 

Kendati matanya semakin berat dan tubuhnya sudah meraung ingin tidur, perasaan tidak tenang yang bercokol di perutnya membuat Hira terjaga. 

Lihat selengkapnya