KAZUKI
Kertas kecil di sakunya terasa berat. Kertas berisi pesan yang ditinggalkan oleh Shigure di rumah duka untuk si setan jalur barat.
Untuk Bara.
Aku yang membunuh Manu. Dan aku tahu kamu yang membunuh Touya. Ku tunggu di dekat danau hutan utara malam ini.
Kazuki memacu kudanya, memaksa hewan itu berlari secepat yang ia mampu di atas tebalnya salju yang menutupi jalan Khajana.
Berbagai macam pertanyaan, doa, dan spekulasi berkecamuk di benaknya.
Jangan sampai terlambat…
Harusnya masih sempat…
Tidak mungkin kan Bara dan Shigure bertemu di tengah hujan badai seperti tadi?
Tapi tetap saja, bagaimana kalau ia terlambat?
Sudah pasti dia terlambat.
Mau bagaimanapun, posisinya jauh jika dibandingkan dengan Shigure dan Bara. Shigure pasti sudah menunggu di dekat hutan utara. Bara pun kalau langsung pergi begitu menerima pesan pasti tidak jauh dari hutan utara.
Sedangkan Kazuki ada di ujung lain kota.
Kazuki berharap paling tidak dia masih sempat datang untuk menghentikan keduanya saling bunuh.
Mati-matian Kazuki memaksakan dirinya untuk tidak terbawa emosi.
Bara memang membunuh Touya dan membantai prajuritnya. Tapi Kazuki tidak mau jika harus main hakim sendiri. Kazuki harus dengar sendiri dari mulut Bara alasan pria itu melakukan itu semua.
Dan Kazuki juga tidak ingin Shigure terjerumus lebih jauh dalam kebutaannya membalaskan dendam Touya.
BARA
Nggak ngerti!
Suara Bharata sudah seperti lebah, berdengung di kuping Bara. Kertas-kertas yang bertumpuk di hadapannya terlihat seperti ditulis dengan bahasa asing. Walaupun semalam sudah bertekad untuk pelan-pelan belajar urusan keluarga Ranggawuni, tapi tetap saja tidak sanggup rasanya kalau harus menyerap ini semua.
Atau dia saja yang terlalu bodoh untuk mengerti semua ucapan Bharata.
Sial.
Memang dari dulu Bara tidak akan cocok jadi kepala keluarga.
“Dah ah! Aku nggak ngerti!” Ujar Bara kesal sambil berdiri.
“Kita belajar belum ada satu jam, tuan.” Bharata mengingatkan.
“Biarin!” Bara semakin kesal melihat wajah Bharata yang tidak berhenti tersenyum. Lebih baik cepat-cepat keluar dari sini daripada makin lama terjebak dengan penyihir satu ini.
“Ah, jadi tuan Bara sudah menyerah?” Canda Bharata.
“Nggak!” Tukas Bara buru-buru. “Capek aja!”
“Capek melamun?”
Hiiih! Orang ini benar-benar! Gara-gara sudah lama tidak bertemu, Bara sampai lupa kenapa dulu dia mati-matian kabur dari Bharata.
Bara mendengus sambil melipat tangannya dan kembali duduk dengan kesal. “Aku nggak ngelamun! Itu namanya lagi mikir.”
“Ah, begitu. Jadi usaha percetakan keluarga Ranggawuni ada di mana saja?”
“Dimana-mana.” Jawab Bara sekenanya.
Bara sudah siap-siap mendengar ceramah panjang atau balasan nyinyir Bharata. Tapi pria itu justru tertawa.
“Kita berkeliling kota saja kalau begitu hari ini.”
“Hah?”
Tidak salah nih? Bharata yang biasanya seperti ular berkelit terus agar Bara mau belajar, tiba-tiba malah mengajaknya keliling kota.
“Biar tuan lihat sendiri tempat percetakan keluarga Ranggawuni.”
Bara belum pernah melakukan ini. Dari kecil, cuman dua hal yang dia tahu. Belajar dan latihan.
Kalau soal belajar, semua juga sudah menyerah. Banyak guru dan orang pintar dipanggil, tidak ada yang berhasil membantu Bara. Ujung-ujungnya hidupnya hanya latihan. Arah yang lebih banyak ikut ayah berkeliling kota, melihat-lihat bisnis, tempat usaha dan bertemu relasi.
Sedangkan Bara harus tinggal di rumah, berlatih.
Walaupun senang karena bisa puas bermain tombak, tapi kadang Bara juga iri. Ia juga ingin bisa menghabiskan waktu seharian di luar bersama ayah. Ia juga mau tahu apa yang selama ini keluarga Ranggawuni urus.
Dan ketika akhirnya hari itu tiba, walau tanpa ayah, Bara tidak bisa tidak merasa senang.
Menunggang kuda berkeliling kota bersama Bharata, Bara rasanya seperti melihat kota Khajana dari kacamata yang berbeda. Rasanya seperti kota yang berbeda.
Biasanya Bara hanya memperhatikan tujuannya, atau orang-orang yang berjalan di sekitarnya. Bara tidak pernah benar-benar peduli tentang pekerjaan mereka, hubungan mereka, dan bagaimana kehidupan mereka menggerakkan kota ini.
Dengan sabar, Bharata menunjukkan satu-satu rumah percetakan keluarga Ranggawuni. Sesekali mereka bertemu beberapa relasi keluarga, beberapa penulis rahasia keluarga.
Begitu banyak hal yang Bharata jelaskan, begitu cepat waktu berlalu. Bara tidak yakin dia paham semuanya. Tapi yakin ada sedikit informasi baru yang ia dapatkan.
Paling tidak, sedikit lebih banyak daripada membaca buku.
“Kita cari rumah makan untuk makan siang dulu baru pulang, bagaimana?” Usul Bharata.
“Boleh.”
Sudah lama juga Bara tidak makan di luar. Aneh juga rasanya hidup normal begini. Tadi Bara sempat khawatir. Tidak yakin apa boleh merasakan hidup normal begini? Tapi setelah Bharata menunjukkan keadaan panti yang aman terjaga tentara Azumachi. Bara jadi lebih tenang.
Bharata mengusulkan makan di Bungahaken, sekalian bertemu Hira. Bara juga setuju. Walaupun jadinya agak memutar untuk pulang, tapi Bara khawatir soal Hira. Pulang larut, tidak mungkin si tua Chanda itu tidak marah.
Tanpa membuang waktu, Bharata dan Bara berkuda menuju Bungahaken.
Namun, di perjalanan mata Bara menangkap siluet bangunan rumah duka.
Kudanya berhenti.
Sejak hari itu. Sejak hari kematian Manu. Bara belum mengunjungi tempat penghormatan Manu sama sekali. Membayangkan tubuh Manu sedang membeku di suatu tempat, menunggu untuk dimakamkan, membuat Bara mual.
Tapi setelah sekian lama, apa pantas Bara datang ke sana?
“Tuan mau mampir ke rumah duka dulu?” Tanya Bharata.
Bara tidak menjawab.
“Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali.”
Tuh kan, orang ini pasti penyihir. Bagaimana dia bisa tahu kekhawatiran Bara lalu memberi jawaban seperti itu?
Sambil menggerutu pelan, Bara mengarahkan kudanya ke rumah duka. Rumah kayu dua lantai yang terletak di belakang rumah sakit.
Biasanya, rumah itu digunakan untuk menggelar acara duka dan memberikan penghormatan terakhir. Namun, di musim dingin begini, sembari menunggu tanah tidak terlalu beku untuk digali, ada ruang khusus yang menyimpan kotak-kotak kayu tanpa tutup untuk jadi tempat sementara memberikan penghormatan kepada mereka yang sudah meninggal. Jenazahnya sendiri disimpan di ruang bawah tanah tersembunyi di rumah sakit.
“Saya tunggu di luar.” Ujar Bharata begitu mereka tiba di pekarangan rumah duka.
Bara hanya mengangguk sebagai jawaban. Di dalam, Bara langsung menghampiri penjaga rumah duka yang lalu mengarahkannya ke tempat kotak kayu Manu disimpan. Penjaga rumah duka sempat memberitahu Bara bahwa ini pertama kalinya ada yang menanyakan kotak Manu.
Dan Bara tidak kaget.
Semua orang yang mengenal Manu pasti sudah memberikan penghormatan mereka di rumah keluarga Ananda. Semua juga tahu, hanya Bara yang belum muncul sama sekali sejak hari itu.
Ruang tempat penghormatan berada di ujung lorong sisi timur gedung. Rak-rak kayu berjejer memenuhi tiap sisi tembok.
Bara terkejut mendapati tempat itu terlihat cukup lowong.
Bara ingat betul musim dingin tahun lalu, rak-rak ini penuh terisi kotak-kotak penghormatan. Bahkan beberapa terpaksa diletakkan di lantai karena sudah tidak ada tempat.
Dengan wajah keras, Bara berjalan menghampiri kotak milik Manu.
Milik Manu…
Melihat kotak itu, rasanya masih tidak percaya. Hanya sebuah kotak kayu kecil. Entah kenapa sampai detik ini Bara merasa kalau dia kembali ke rumah keluarga Anand, Manu akan ada di bawah pohon seperti biasa menunggunya.
Iya kan?
Bara meraih kotak milik Manu dan menilik isi kotak itu, mendapat buku favorit Manu dan juga beberapa benda kecil milik Manu.
Bara tidak membawa apa-apa untuk diletakkan di kotak tersebut.
Mungkin lain kali.
Lain kali…
Tidak ada Manu lagi…
Bara menunduk sambil mendekap kotak kecil itu.
Lalu air matanya tumpah begitu saja.