BARA
Katanya pulang. Tapi Cakra malah membawanya ke sebuah penginapan kecil tua di pinggir utara kota. Bara ingin sekali protes, tapi matanya berat karena kelelahan. Jadi dia diam saja mengikuti Cakra ke lantai dua penginapan, ke sebuah kamar di ujung lorong.
Bara membuka pintu, mendapati ruang kecil yang diterangi temaram cahaya perapian di ujung ruangan. Di pojok ruangan, ada seonggok barang yang tertutup kain hitam. Di sampingnya, sebuah bangku kayu dengan setumpuk baju bersih.
Tapi ada satu sosok yang membuat Bara kesal di ruangan itu. Sosok Bharata yang dengan tenangnya berdiri di samping tempat tidur sembari memberi hormat kecil ke arah Bara.
“Yang kirim Cakra kamu juga?” Tanya Bara sambil menutup pintu di belakangnya. Pantas saja tadi Cakra menolak ikut masuk. Rupanya karena sudah ada Bharata yang menunggunya.
Bharata hanya memberikan senyuman sebagai jawaban. Tapi itu sudah cukup untuk Bara.
Bara mendengus kesal dan berjalan ke arah tumpukan baju di bangku.
“Kok bisa tahu aku di sana?” Tanya Bara.
“Setelah tuan pergi, saya kembali ke rumah duka. Penjaga di sana memberitahu saya tentang kertas yang tuan buang.”
Bara mengangguk dan mulai menanggalkan pakaiannya. Kadang-kadang kejelian Bharata membuat Bara takut.
“Terus kenapa aku di bawa kemari, bukan ke rumah?”
“Para tentara Azumachi baru selesai melakukan penggeledahan di rumah tetua kota. Saya khawatir masih ada beberapa prajurit yang berjaga di sekitar kediaman. Lebih baik tuan di sini dulu untuk sementara.”
Bara hanya bergumam kecil sebagai jawaban. Tidak tahu juga harus berkata apa. Di kepalanya, pemandangan penuh darah di dekat danau masih terus saja berputar, seperti enggan membiarkannya beristirahat.
Kesempatan balas dendamnya terlewat.
Dia seharusnya marah.
Tapi sekarang Bara malah tidak bisa merasakan apa-apa kecuali rasa kantuk yang sudah bergelayut di pelupuk matanya.
“Tuan Bara.” Panggil Bharata.
“Apa lagi? Kalau nggak ada apa-apa aku mau tidur.” Gerutu Bara sambil berusaha mengenakan pakaiannya.
“Luka Anda, sebaiknya diurus dengan benar terlebih dahulu.”
Bara melirik ke arah luka-luka di tubuhnya. Beberapa sudah ditutup seadanya dengan perban tapi sekarang perban-perban itu sudah penuh darah lagi.
“Biar saya bantu.”
Bara mengangguk dan duduk di tempat tidur, membiarkan Bharata membersihkan dan menjahit luka-lukanya.
“Penyergapan jalur Jagar akan segera dimulai.” Ujar Bharata tiba-tiba saat sedang menjahit luka di bahu Bara.
Bara berhenti, tidak jadi menenggak obat yang diberikan Bharata tadi.
“Pasukan rahasia Ranggawuni bisa mulai bergerak besok siang. Hanya tinggal menunggu perintah dari tuan.” Bharata melanjutkan.
“Ya, terserah.” Gumam Bara sebelum menghabiskan obat dari Bharata dalam sekali tenggak.
Penyergapan jalur Jagar.
Penyergapan ini akan menjadi penanda akhir dari perjuangan mereka. Antara mati, atau akhirnya terbebas dari para tikus Azumachi.
Tapi kenapa rasanya tidak semangat begini? Padahal ini kan akhir yang Bara nanti-nantikan sejak kecil. Kesempatan untuk menebas para tikus itu tanpa harus merasa bersalah. Pertempuran yang adil atas nama perang. Melindungi tanah air.
Melindungi tanah air apanya…
Kalau boleh jujur, saat ini Bara justru rasanya sudah tidak peduli lagi. Setelah pergulatan bersimbah darah beberapa jam yang lalu, Bara sudah tidak peduli lagi. Saat tangannya dengan sendirinya menolak menghabisi si kolonel mesum.
Saat senjatanya tanpa sengaja menikam si pembunuh itu.
Si pembunuh itu. Mati atau tidak Bara juga sudah tidak peduli. Pertarungan itu membuat Bara sadar bahwa mau sampai si pembunuh itu tercincang pun, amarah Bara tidak akan reda.
Dan Bara tidak rela hidupnya dimonopoli amarah tak berujung.
“Anda tidak apa-apa, tuan Bara?” Tanya Bharata, memecah lamunan Bara.
“Badanku sakit semua, nggak apa-apa gimana.” Gerutu Bara.
Bharata tersenyum dan menyelesaikan perban terakhir di tubuh Bara. “Minum obat penghilang rasa sakit kalau nanti rasa sakitnya mulai tidak tertahankan.”
“Ya.”
“Mohon maaf tapi saya harus segera pergi.”
“Hmmm.” Gumam Bara sembari bergeser dan merebahkan dirinya di tempat tidur. Badannya terasa seperti dililit kawat berduri.
“Saya akan kembali lagi besok.”
“Hmmm.”
Samar-samar Bara bisa mendengar Bharata membuang nafas pelan. “Tolong jaga diri tuan baik-baik.” Ujarnya pelan sebelum berjalan keluar ruangan dan meninggalkannya sendirian.
Bara mendengus dan menarik selimut hingga menutupi kepalanya.
Sudah tidak mau mendendam. Sudah tidak mau menjamu amarah yang bercokol. Lalu hidupnya mau buat apa?
Bara memejamkan matanya, membiarkan kantuk membawanya pergi.
“Mas Arah! Lihat sini dong!” Rengek Bara kesal. Dia sudah mengayunkan tombaknya berkali-kali, berharap Arah menoleh sebentar saja. Tapi Arah dari tadi malah sibuk mengajar anak-anak lain.
Tapi, mendengar rengekan Bara, Arah tertawa dan berjalan menghampiri Bara.
Lalu mengacak-acak rambutnya sambil mengambil tombak dari tangan Bara.
“Kamu itu seharusnya belajar, bukannya malah berlatih tombak.” Ujar Arah, berusaha menjauhkan tombak dari jangkauan Bara.
“Aku nggak ngerti buku-buku yang dikasih!” Protes Bara.
“Makanya belajar.” Arah mencubit hidung Bara, membuat anak itu merengut kesal.
Arah kembali tertawa lalu berjongkok di samping Bara, menyamai tinggi mereka. “Permainan tombakmu sudah jauh lebih bagus daripada anak-anak seumuranmu.”
“Benarkah?” Tanya Bara, wajahnya tiba-tiba cerah.
Arah mengangguk.
“Jadi aku udah boleh ikut ayah dan kakak?”
Walau masih tersenyum, namun wajah Arah mendadak suram. “Nanti ya, setelah kamu berulang tahun yang ke 10.”