HIRA
Semalaman Hira tidak bisa tidur. Air matanya tidak bisa berhenti mengalir. Tiap melihat wajah Harsha yang tertidur pulas di sampingnya, dada Hira sakit. Rasanya ia tidak ingin matahari terbit. Ia tidak ingin hari berganti.
Nyawa Harsha atau Kazuki. Itu bukan pilihan. Hira sudah pasti akan memilih Harsha tanpa harus berpikir.
Tapi Hira juga tahu, ketika waktunya tiba nanti, tangan dan hatinya kemungkinan besar akan mengkhianatinya.
Hira masih bisa merasakan sentuhan Kazuki. Bibirnya. Nafasnya. Suaranya.
Walaupun hati dan tekadnya bulat sampai detik ini. Tapi apa dia bisa membunuh pria itu nantinya?
Hira memperhatikan Harsha, tubuh kecilnya yang meringkuk dibalik selimut.
Hira harus membawa Harsha pergi.
Iya.
Berada disini terlalu berbahaya.
Hira meletakkan tangannya di bahu Harsha, pelan-pelan membangunkannya.
“Harsha.” Panggil Hira pelan.
BRAK!
Pintu kamar tiba-tiba terbuka. Dua orang penjaga masuk ke dalam kamar dan langsung menarik Harsha.
“Harsha!” Panggil Hira, panik.
Apa in?
Ada apa ini?
“Kakak!” Pekik Harsha.
Tanpa pikir panjang, Hira berdiri dan berusaha meraih Harsha. Berusaha mendapatkan adiknya kembali. Namun seorang penjaga menghalanginya.
“Harsha mau dibawa kemana?!” Pekik Hira. Lututnya lemas melihat penjaga yang membawa Harsha pergi.
Harsha sudah tidak tampak lagi.
“Maaf, nona. Perintah tuan Chanda.” Ujar penjaga itu sebelum pergi meninggalkan Hira.
Lalu sunyi.
Begitu saja.
Begitu saja Harsha dibawa pergi.
Tangan Hira bergetar. marah. Takut. Ia mendorong tubuhnya, berdiri. Setengah berlari, terkadang tersandung-sandung, Hira memaksa dirinya menyusuri lorong rumah. Mulutnya tak henti-hentinya memanggil lirih nama Harsha.
Di kejauhan ia bisa melihat sosok-sosok para penjaga yang membawa Harsha.
Jelas, Hira bisa mendengar teriakan Harsha yang memanggil-manggil namanya.
Tangan Hira terantang, berusaha meraih Hasha yang sekarang terasa begitu jauh.
“Harsha…” Bisik Hira lirih.
Hira tiba-tiba tersentak. Ada yang menarik bahunya.
Lalu sebelum Hira bisa melakukan apa-apa, ada yang mendorongnya hingga ia berlutut di lantai.
Hira menengadah, mendapati seorang penjaga memegangi bahunya. Sakit.
Di belakang penjaga itu, berdiri paman Chanda. Wajahnya dingin. Tatapannya tajam.
“Harsha tidak akan aku kembalikan sampai kau berhasil membunuh kolonel itu.” Ujar Chanda tenang.
Mulut Hira terbuka, tapi lidahnya kelu.
Tubuhnya pun rasanya berat.
Akhirnya ia hanya bisa duduk mematung.
Harus menyelamatkan Harsha…
Harus menyelamatkan Harsha…
Hira tidak tahu kemana kakinya membawanya. Masih dengan pakaian tidurnya, Hira bisa merasakan dinginnya udara fajar menggigit tubuhnya. Hanya dengan beralaskan sandal, Hira berjalan gontai keluar dari kediaman Gardapati.
Menyusuri jalan kecil.
Hingga ke jembatan Klawu.
Ia rasanya ingin langsung melemparkan dirinya kepada pelukan dingin sungai Ulam.
Harus menyelamatkan Harsha…
Mantra itu menghentikannya. Mendorong kakinya terus melangkah, meninggalkan jejak-jejak kecil di jalan yang diselimuti salju. Jalan yang hanya diterangi remang-remang lampu minyak.
Tolong…
Tolong…
Samar-samar Hira bisa mendengar protes orang-orang yang ia tubruk. Memanggilnya wanita gila karena berjalan tanpa melihat-lihat.
Tapi Hira tidak tahu harus melihat apa lagi selain tanah yang tertutup salju di depannya.
Kakinya membawanya hingga ke pasar. Pasar yang masih sekedar bisik-bisik di pagi hari.
“Nona Hira?”
Hira mendongak.
Mendapati Kazuki menatapnya bingung dari ujung pasar.
Tidak…
Tidak…
Hira memutar tubuhnya. Dia harus pergi, dia harus kabur sebelum Kazuki bisa meraihnya.
Hira tidak sanggup.
Dia tidak siap.
Tanah di depannya rasanya semakin dekat.
Tangannya dingin ketika menumpu tubuhnya.
Lalu dunia menghitam.
Dia tertidur.
Hira buru-buru mendorong tubuhnya, duduk di tempat tidur yang terasa asing.