KICHIRO
Kichiro tidak bisa bilang apa-apa saat melihat Kazuki membopong Hira ke rumah kecil di belakang gedung utama perehatan. Dia hanya bisa membantu Kazuki dalam diam.
Belum pernah Kichiro melihat Kazuki sekalut itu. Saat sahabat-sahabatnya berguguran satu demi satu. Saat Shigure kritis di rumah sakit. Separah-parahnya, pagi ini saat harus pergi ke kediaman keluarga Anand untuk memberikan kabar palsu tentang kematian Shigure pun, Kazuki hanya terlihat seperti orang murung biasa.
Tapi sekarang.
Kichiro bisa melihat Kazuki masih berusaha. Berusaha mengabaikan rasa khawatirnya. Tapi semua itu terlihat sia-sia. Kazuki mondar mandir, mencari selimut, memasakan air untuk kompres hangat, mencari kaos kaki. Membuat sibuk pelayan rumah.
Dan berbagai keributan lainnya.
Hanya untuk seorang wanita.
Tapi memang keadaan wanita itu tidak baik. Saat diminta Kazuki memeriksa Hira, Kichiro tidak habis pikir bagaimana wanita ini bisa sampai luntang lantung di jalan dengan keadaan seperti ini. Dengan baju seadanya, hanya dengan sandal tipis, dan demam tinggi. Bisa sadar saja rasanya sudah keajaiban tersendiri.
“Apa perlu aku panggil dokter dari rumah sakit?” Tanya Kazuki tenang. Tapi Kichiro bisa melihat dengan jelas kekhawatiran yang menari-nari di matanya.
“Tidak perlu.” Jawab Kichiro sambil membenahi selimut Hira. “Harusnya cukup beristirahat saja. Nanti kalau dia bangun, pastikan dia banyak minum air dan meminum obat yang aku tinggalkan.”
Kazuki mengangguk.
“Kau mau tetap di sini?”
“Kalau khawatir soal kerjaan--”
“--bukan soal kerjaan.”
Kazuki mengangkat alisnya, terlihat terhibur. “Tumben, khawatir pada ku?”
Kichiro mendengus kesal. “Tidak jadi.”
Kazuki menyeringai jahil. Namun tetap seringai itu tidak dapat menyembunyikan jejak-jejak kelelahan di wajahnya.
Kichiro menemani Kazuki sejenak, duduk-duduk di ruang tamu kecil di rumah itu.
Rumah kecil itu hampir tidak pernah mereka kunjungi. Seharusnya menjadi tempat tinggal Kazuki. Tapi pria itu kalau tidak bercokol di kantor, ya keluyuran ke kota. Hasilnya, rumah itu terbengkalai. Kalau bukan karena pelayan yang rajin membersihkan, rumah ini sekarang pasti sudah diselimuti debu tebal.
“Kamu tidak bersiap-siap untuk keberangkatan besok?” Tanya Kazuki sembari merebahkan tubuhnya di sofa.
“Kamu yakin berangkat belakangan?” Kichiro balik bertanya.
“Kamu sudah lebih dari cukup untuk memenuhi permintaan jendral Amano.” Jawab Kazuki sambil meletakkan lengannya di atas matanya yang tertutup. “Komandan pasukan yang bisa dipercaya dan punya kemampuan komunikasi yang baik.”
“Yang sakit nona Hira, tapi kenapa kamu yang ngelantur?”
Kazuki terkekeh.
“Ya sudah, istirahat. Biar aku yang bantu memantau persiapan keberangkatan besok.” Ujar Kichiro seraya berdiri.
Kazuki mengangkat kepalan tangannya ke arah Kichiro. “Semangat.” Gumamnya.
“Jangan mati.” Gurau Kichiro dingin.
Gedung utama sudah ramai dari pagi. Pasukan dari kompi yang dipimpin oleh kapten Hidaka sudah mulai sibuk merapikan persediaan dan persenjataan yang harus dibawa kembali ke Khutamas. Sedangkan pasukan dari kompi milik Aoyama dan Fujimori masih sibuk mondar mandir membantu sisa-sisa evakuasi.
Urusan dengan kepolisian Khajana juga sudah diurus semalam. Sehingga tidak banyak yang bisa Kichiro lakukan hari ini.
Akhirnya Kichiro memutuskan untuk kembali ke kamar dan membereskan barang-barangnya. Paling tidak besok pagi dia jadi punya lebih banyak waktu untuk memastikan kesiapan regunya untuk berangkat ke Khutamas.
Kichiro berjalan ke sisi timur gedung, dimana bangsal prajurit berada. Setelah dipaksa Kazuki, ia akhirnya menyerah dan terpaksa pindah ke kamar pribadi. Alih-alih tidur di bangsal bersama.
“Tenang saja, kamu tetap satu kamar dengan Shigure biar tidak kesepian.” Gurau Kazuki hari itu.
Siapa sangka kamarnya tetap akan terasa kosong.
Kichiro membuka pintu kamarnya, mendapati dua tempat tidur yang masih rapih tak tersentuh entah sejak kapan. Meja di sisi tempat tidur Shigure kosong, hanya ada sekotak rokok dan korek api. Tas nya masih tertutup rapi di kaki tempat tidur.
Apa perlu dia bereskan juga?
Keadaan Shigure masih kritis. Dan kalaupun dia selamat, tidak mungkin Kazuki akan membiarkannya begitu saja. Mau bagaimanapun, yang Shigure lakukan terhadap Manu sudah kelewat batas.
Tapi barang-barang ini juga tidak mungkin ia tinggalkan begitu saja.
Kichiro membuang nafas berat dan mulai merapikan barang-barang Shigure yang tidak banyak. Di dalam lemarinya hanya ada beberapa lembar baju seragam dan baju ganti. Di laci mejanya hanya ada buku bacaan dan beberapa kotak rokok. Satu-satunya barang pribadinya hanya selembar foto yang diambil beberapa tahun lalu di Khutamas. Saat mereka semua untuk pertama kalinya resmi bekerja di bawah Kazuki. Foto Shigure, Touya, Aoyama, Kichiro, dan Kazuki.
Kichiro meletakkan semua barang milik Shigure di tasnya dan menyimpan tas tersebut di atas tempat tidurnya. Paling tidak nanti yang melakukan pemeriksaan kamar akan lihat ada satu tas yang belum terangkut.
Sekarang tinggal barang-barang miliknya.
Sama seperti Shigure, barangnya pun tidak banyak. Satu-satunya barang pribadinya pun hanya dua buah foto hitam putih yang terselip di lemarinya. Satu foto merupakan foto yang sama dengan yang Shigure miliki.
Satu lagi adalah foto pernikahannya dengan Mizuha.
Bibirnya membentuk senyum tipis saat meraih foto itu.
Mizuha.
Kichiro sudah berencana ingin menulis surat Mizuha setibanya di Khutamas nanti. Ia berharap keadaan di Khutamas tidak terlalu buruk jadi dia bisa cepat kembali ke Azumachi.
Melihat foto itu, Kichiro jadi sadar betapa ia merindukan wanita itu. Susah payah Kichiro menjaga sosoknya tetap tenang dan serius. Menjaga agar fokusnya tetap pada tugas dan pekerjaannya. Namun hanya dengan melihat foto itu sekilas, Kichiro rasanya ingin langsung berkuda ke Rencang dan naik kapal pertama kembali ke Azumachi.
Rindunya pada Mizuha bisa membuainya jadi pengkhianat negara.
Kichiro melepaskan tawa kecil dan menyelipkan foto itu ke dalam saku bajunya.
Kalau dia benar-benar sampai pulang dan jadi pengkhianat negara, Kichiro bisa membayang kepulangannya disambut dengan hujan pisau dari Mizuha.
“Kamu ini memang mental orang yang suka disiksa.” Itu komentar Aoyama saat tahu Kichiro menikah dengan Mizuha.
Berhubung barang bawaannya tidak banyak, Kichiro tidak perlu waktu lama untuk membereskan kamarnya. Ia hendak pergi ke kamar mandi ketika mendengar suara ledakan senjata.
Dari rumah Kazuki.
Tanpa pikir panjang, Kichiro berlari keluar dari kamarnya. Kakinya ringan membawanya keluar dari perehatan dan menerjang masuk ke rumah Kazuki.
Rumah itu sudah ramai dengan para pelayan. Kichiro bisa mendengar beberapa tentara berlari mengikutinya.
“Tolong minggir semua!” Teriak Kichiro kepada para pelayan seraya berlari ke kamar Kazuki.
Dan menemukan pria itu terkapar di tempat tidur yang menggelap karena darah.
“Kenapa...lama sekali?” Gurau Kazuki lemah saat Kichiro berlari ke arah sambil membuka mantelnya.
“Diam.” Perintah Kichiro kesal. Ia mengangkat tubuh Kazuki dan buru-buru menekan luka di punggung Kazuki dengan pakaiannya. Tidak perlu diperiksa Kichiro juga tahu bahwa luka itu bukan luka ringan.
“Ambil kuda!” Teriak Kichiro kepada salah satu prajuritnya yang mengikutinya.
“Kich--”
“--bisa diam tidak!” Bentak Kichiro kepada Kazuki yang lalu mendengus kesal. “Siapa yang menyerangmu?”
“Entahlah.” Jawab Kazuki lemas.
“Jangan tidur. Kita harus ke rumah sakit.” Tegur Kichiro, berusaha agar tidak terlalu terdengar panik. Padahal jantungnya rasanya sudah pindah ke kuping.
“Siap...pak dokter…” Sahut Kazuki sebelum mengerang kesakitan saat Kichiro membantunya bangkit dari tempat tidur.
“Tolong tahan sedikit. Perjalanan masih panjang.”
Mengabaikan erangan kesakitan Kazuki, Kichiro membawa pria itu keluar dari rumah. Di tengah semua keributan itu, Kichiro sempat menangkap sosok Aoyama yang dengan sigap meneriakkan perintah kesana kemari. Walau belum sempat bicara, tapi tampaknya Aoyama bisa dengan cepat menebak situasi.
Kalau begini, Kichiro bisa fokus membawa Kazuki ke rumah sakit.
Kichiro tahu dia tidak seharusnya menunggu di rumah sakit. Ia seharusnya kembali ke perehatan dan membantu Aoyama mencari penyerang Kazuki.
Seharusnya.
Tapi Kichiro punya kecurigaannya sendiri.
Kichiro mengangkat kepalanya ketika sudut matanya menangkap gerakan kecil di tangan Kazuki.
“Ku pikir kau sudah kembali ke perehatan.” Ujar Kazuki serak sebelum melontarkan candaan setengah sadarnya. “Khawatir ya?”
Kichiro tidak menjawab. Biar Kazuki sadar sendiri bahwa ini bukan saatnya bercanda. Terbaring di tempat tidur rumah sakit dengan pakaian seperti itu dan wajah pucat. Sosok Kazuki saat ini hanya sosok seorang anak muda yang hampir mati ditusuk kekasihnya.
Pria itu menyeringai lemah. “Dewa juga setuju aku tidak perlu berangkat ke Khutamas besok pagi.”
“Dewa sedang baik karena tidak sekalian mencabut nyawamu.” Ujar Kichiro kesal.
“Sudah, jangan marah-marah.” Ujar Kazuki. “Lebih baik kembali ke perehatan dan bantu Aoyama.”
“Bantu Aoyama untuk apa? Menangkap nona Hira?”
Kazuki menoleh. Wajahnya jelas kaget.
“Aoyama tidak tahu. Dia tadi kemari, dan aku sudah minta untuk tidak melakukan pencarian atau pengejaran.”