KHAJANA

Anisa Saraayu
Chapter #28

26. Teman Atau Lawan

 KICHIRO


Kichiro tahu, begitu ia kembali ke perehatan, ia harus menghadapi pandangan penuh pertanyaan para prajurit dan rentetan pertanyaan para kapten. Aoyama memang terlihat cukup tidak acuh saat menerima perintahnya di rumah sakit. Tapi Kichiro tahu itu bukan berarti pria itu tidak menyimpan pertanyaan dan keraguannya sendiri. 

Seperti perkiraannya, gerbang utama perehatan tertutup rapat dan dijaga oleh cukup banyak prajurit. Kichiro bisa merasakan mata-mata penuh tanya menatapnya saat ia berkuda menyusuri jalan utama hingga ke gedung utama. 

“Kapten Maki.” Sapa Yuto kagok. Matanya merah, suaranya agak bergetar. Kichiro bisa mengerti kenapa Kazuki keras kepala membuat Yuto sebagai sekretarisnya. Jika dilempar langsung ke lapangan, anak seperti Yuto hanya akan menjadi korban. 

“Kapten Aoyama, Fujimori, Hidaka, dan Okazaki menunggu Anda di ruangan kolonel Izumi.” Ujar Yuto seraya mengambil kekang kuda dari tangan Kichiro. 

“Kapten Kuroda?” Tanya Kichiro. 

“Ah...saya tidak tahu…” Jawab Yuto ragu. 

Kichiro mengangguk dan meninggalkan Yuto untuk mengurus kudanya. 

Ia tidak suka menebak-nebak dimana Kuroda berada. Kalau bukan karena rekan-rekannya sudah menunggu, Kichiro pasti sudah menyisir gedung ini dan menyeret Kuroda agar tidak lepas dari pengawasannya. 

Kichiro membuka pintu ruangan Kazuki dan disambut oleh empat pasang mata yang menatapnya dengan berbagai macam rasa. Dingin, marah, bingung, tidak acuh.  

Aoyama terlihat duduk santai di sofa dengan kaki terlipat. Matanya hanya sejenak menatap Kichiro sebelum kembali melayang ke arah langit-langit. Dibalik sikapnya yang terlihat tidak peduli, Kichiro tahu ada pertanyaan yang bergumul dibenaknya. 

Okazaki duduk di samping Aoyama, terlihat seperti patung besar yang menatapnya bingung, meminta jawaban. 

Bersandar di lemari dekat perapian dengan tangan terlipat kaku, Fujimori menatap ke arah Kichiro tanpa berusaha menutupi rasa marahnya. Wajahnya pucat, jejak kelelahan terlihat jelas. 

Sedangkan Hidaka yang sedari tadi mondar mandir di dalam ruangan, berhenti begitu melihat Kichiro masuk. Dan Kichiro tahu, tinju pria itu pasti akan melayang lebih dulu sebelum ada satu katapun yang keluar dari mulutnya. 

“Shingo.” Panggil Aoyama malas, namun cukup untuk menghentikan tinju Hidaka. “Jangan kurang ajar sama orang tua.”

Mengabaikan keinginan untuk melempar tatapan dingin ke arah Aoyama, Kichiro menutup pintu di belakangnya dan bersandar di samping pintu. 

“Tidak sekalian duduk di kursi kolonel Izumi?” Sindir Fujimori dingin. 

“Kau buta atau bagaimana? Mempertanyakan Kichiro seperti itu.” Tanya Okazaki kesal. 

Kichiro membuang nafas lelah. Dia tahu akan jadi begini. Tapi menghadapinya langsung ternyata jauh lebih melelahkan daripada yang ia bayangkan. 

“Kalian semua tahu kan perintah dari jendral Amano?” Tanya Kichiro. 

Semua terdiam. 

“Pasukan kita harus berangkat besok pagi ke Khutamas untuk membantu memperkuat pasukan di ibukota. Apa jadinya kalau kita mengerahkan pasukan dan menyebabkan kerusuhan di kota?”

“Kalau kau langsung memberikan perintah pengejaran, aku yakin tidak akan sampai seperti itu.” Kilah Fujimori. 

“Kau pikir mudah mengejar orang yang bisa keluar dan masuk perehatan tanpa ketahuan?” Tanya Kichiro. 

Fujimori mendengus mencemooh. Jelas ia hendak melemparkan sanggahan. Tapi Kichiro tidak punya niat untuk memberinya kesempatan. 

“Dengan adanya perintah dari jenderal Amano, urusan di kota ini sudah bukan kewenangan kita lagi.” Ujar Kichiro. 

“Persetan! Kolonel kita hampir mati!” Bentak Hidaka. 

“Kan sudah kubilang, dia sengaja---”

Tawa Aoyama memotong ucapan Fujimori. 

“Bukan waktunya tertawa, Aoi.” Tegur Okazaki kesal. 

“Ya habis mereka berdua lucu sekali!” Ujar Aoyama sambil tertawa. 

“Apanya yang lucu!” Bentak Hidaka. 

“Tadi katanya kalian hanya mau penjelasan dari Kichiro. Sudah dijelaskan, malah menuduh yang tidak-tidak.” Jawab Aoyama. “Kalian dihasut apa oleh Kuroda, huh?” 

Kichiro memperhatikan bagaimana wajah Furimori mengeras dan memerah. Bagaimana Hidaka terlihat gelagapan dan semakin marah. 

Jadi selama ia pergi, si tukang hasut itu berkeliling gedung membisikan hal-hal buruk tentangnya? 

Tidak mengagetkan. 

Sungguh mudah ditebak. 

“Sudah, penyerangan terhadap kolonel Izumi bukan berarti pekerjaan kita berhenti.” Ujar Okazaki. 

Kichiro mengangguk. “Ku dengar evakuasi korban longsor sudah selesai?” 

“Sudah.” Jawab Aoyama, mewakili Fujimori yang tampaknya masih berusaha mengatur sikap.

“Persediaan juga sudah beres. Kita bisa langsung berangkat besok pagi.” Ujar Hidaka ketus, masih menolak bertemu mata dengan Kichiro. 

“Siapa yang akan tinggal dan berangkat dengan kolonel Izumi?” Tanya Okazaki. 

“Aoyama.” Jawab Kichiro singkat. 

Aoyama mengangkat alisnya, terlihat tidak yakin dengan jawaban Kichiro. 

“Fujimori, Okazaki, dan Hidaka diperlukan di Khutamas.” Kichiro menjelaskan. 

“Lalu aku tidak?” Tanya Aoyama setengah bercanda. 

“Kalau harus menghadap jenderal Amano, lebih baik Kichiro yang pergi ketimbang kau.” Jawab Okazaki. 

Aoyama melirik ke arah Fujimori dan Hidaki. Namun keduanya hanya mengangguk kaku mengiyakan Okazaki. 

Aoyama mendengus menahan tawa dan menyandarkan tubuhnya ke sofa. 

Pembicaraan berlanjut lebih lancar dari sebelumnya. Hidaki dan Fujimori walau masih terlihat enggan, sudah mulai bisa bersikap tenang membicarakan tugas masing-masing. Setelah setuju dengan jumlah prajurit yang akan tinggal bersama Aoyama, mereka memutuskan untuk membubarkan diri dan kembali ke kamar masing-masing. 

Kecuali Kichiro dan Aoyama. 

“Masih ada yang ingin kau bicarakan?” Tanya Kichiro saat Aoyama tidak juga beranjak dari tempat duduknya. 

“Kau tahu siapa yang menyerang Kazuki, kan?” Tanya Aoyama. Dan tidak seperti sebelumnya, nadanya jauh dari kejenakaan. 

Kichiro mengangguk. 

Lihat selengkapnya