BARA
Berpura-pura.
Bukanlah keahlian Bara.
Seumur hidup, yang Bara tahu hanyalah mengikuti emosinya. Berpikir pun hanya kadang-kadang. Tapi sekarang, semua rencananya bergantung kepada kemampuannya berpura-pura dan mengulur waktu.
Rencana Bharata cukup sederhana. Bara hanya perlu mengulur waktu agar Hattala bisa mencari dan menyelamatkan Harsha.
Masalahnya, rencana Bharata termasuk berpura-pura minta maaf kepada Chanda. Itu satu-satunya cara agar Bara bisa meminta pengampunan lewat pertarungan.
“Apa urusanku minta maaf pada orang tua itu?!” Bisik Bara geram saat Bharata selesai menjelaskan rencananya.
“Anda sudah menghilang berapa hari? Anda tidak ikut pertemuan terakhir untuk membahas peran Anda dalam penyergapan jalur jagar sedangkan Anda adalah kepala keluarga Ranggawuni.” Bharata menjelaskan dengan sabar. “Kalau Anda ingin menampakan wajah Anda di depan tuan Chanda tanpa langsung di depak, Anda harus minta maaf.”
Bara mengerang kesal.
“Anda harus bisa mengulur waktu sebanyak mungkin.” Bharata mengingatkan.
“Bikin rusuh juga mengulur waktu.” Gerutu Bara.
“Lalu kalau Anda tertangkap, mau bagaimana?” Tanya Bharata, terdengar mulai lelah.
“Kabur.” Jawab Bara yakin.
Bharata membuang nafas panjang. “Tuan Bara, begitu tuan Chanda sadar Harsha menghilang, beliau akan langsung sadar itu ulah Anda kalau anda membuat kerusuhan. Kalau sudah seperti itu, keluarga Ranggawuni bisa terkena masalah dan nasib nona Hira bisa jadi jauh lebih parah lagi.”
Bara terdiam. Tidak tahu harus menjawab apa.
“Minta maaf, lalu ikuti saja dulu kemauan tuan Chanda. Jika dia menawarkan permintaan macam-macam, bilang saja Anda perlu berdiskusi dulu dengan saya.”
Bara mendengus. Walau tidak suka, tapi Bara tahu rencana Bharata pasti lebih baik daripada apapun rencana alternatif yang bermunculan di kepala Bara.
“Iya, iya.” Jawab Bara kesal.
Melihat gerbang utama kediaman Gardapati, Bara tergoda untuk mendobrak masuk dan langsung cari ribut dengan si tua Chanda. Mengepalkan tangannya, Bara menahan dirinya. Alih-alih menendang pintu utama hingga terbuka, Bara pelan-pelan mendorong pintu tersebut.
Dan alih-alih menerabas masuk dan berlari ke arah ruang belajar Chanda, Bara menghitung di dalam kepala agar ia bisa menjaga langkahnya tetap tenang dan pelan.
Hingga ia dihentikan penjaga rumah tepat sebelum ia hendak melepaskan sepatu dan naik ke selasar depan ruang belajar Chanda.
Lagi-lagi, suara Bharata terngiang-ngiang di kepalanya. Peringatan untuk tetap tenang, apapun yang terjadi. Oleh karena itu, Bara memilih diam. Karena ia tahu, begitu ia membuka mulutnya, tidak ada jaminan makian-makian yang sedang berenang-renang di kepalanya tidak akan keluar.
“Tuan Chanda sedang tidak bisa menerima tamu.” Ujar salah satu penjaga.
Bara bergeming. Satu-satunya cara agar Bara bisa menahan dirinya sendiri.
Dari ujung matanya, Bara bisa melihat sosok pelayan Chanda datang mendekat.
“Mohon maaf tuan Bara, tuan Chanda sedang tidak bisa menerima tamu.” Ujar pelayan tersebut sopan.
Bara tetap bergeming. Mulutnya terkunci demi kelancaran rencana Bharata.
Pelayan di depannya terlihat kikuk. Jelas ia tidak berani mengusir Bara. Tapi ia juga tampaknya takut mengusik Chanda.
“Tuan Bara, saya mohon maaf sekali.” Ujar pelayan tersebut, masih berusaha untuk mengusir Bara secara halus.
Tapi tentu Bara menyambut baik usaha pelayan itu dengan tidak menggubrisnya. Semakin banyak waktu yang ia ulur, semakin besar kesempatan Hattala untuk membawa Harsha keluar dari tempat ini.
Berlaga bak patung, Bara memperhatikan pelayan yang mulai terlihat panik dan para penjaga yang mulai terlihat ragu. Semakin banyak pelayan datang, semakin banyak penjaga yang datang untuk mengintimidasi.
Namun Bara tetap bergeming.
Keributan yang ditimbulkan para pelayan dan penjaga akhirnya membuat pintu ruang belajar paman Chanda bergeser terbuka.
Menampakkan sosok tua berwajah keras yang menatap Bara seolah-olah ia adalah seonggok daging yang hanya dibuat untuk mengecewakan.
Melihat wajah itu, hal pertama yang terlintas di benak Bara adalah untuk berteriak marah dan mengayunkan tinjunya. Sudah berani memperalatnya menggunakan anak-anak panti, sekarang si tua bangsat itu menggunakan Harsha untuk memperalat Hira.
Dasar manusia setan.
Tapi Hattala dan Harsha bergantung kepada kemampuan Bara mengulur waktu.
Oleh karena itu, sebelum Chanda bisa bicara apa-apa, Bara sudah lebih dulu membuat pak tua itu menatapnya bingung. Dengan berlutut dan menundukkan kepalanya.
“Paman, saya minta maaf.” Ujar Bara kaku, mengulang kata-kata yang sudah diajarkan Bharata.
“Apa-apaan ini?” Gumam Chanda bingung.
“Aku kemari untuk minta maaf, Paman. Dan meminta izin untuk bergabung dengan pasukan paman Ruhur.” Kata-kata itu keluar begitu saja dari bibir Bara, seperti ada orang lain yang mengambil alih dirinya.
Tawa Chanda pecah. “Apa yang membuat seorang Bara yang angkuh dan keras kepala ini mau berlutut dan meminta maaf di depanku?” Tanya Chanda setelah tawanya reda.
Bara mengatupkan rahangnya, berusaha menahan dirinya.
“Aku...harus balas dendam…” Jawab Bara pelan. Dulu, jawaban itu pasti bukan sebuah kebohongan. Tapi entah sejak kapan, pelan-pelan dendamnya menguap. Mungkin pada akhirnya Bara memang benar-benar sudah lelah hidup di setir dendam.
Tapi tampaknya kebohongan Bara belum cukup untuk meyakinkan Chanda. Sesuai dugaan Bharata. Bara sudah hendak membuka mulutnya, melontarkan kebohongan lain. Namun, kali ini Chanda mendahului nya.
“Sudah, simpan saja semua kebohonganmu.”
Bara terdiam.
“Kau pikir sudah berapa lama aku hidup?” Tanya Chanda dingin.