KICHIRO
Kichiro benar-benar tidak suka dengan keputusan Kazuki meninggalkan Shigure dan beberapa prajurit lainnya di bawah pengawasan Bharata. Namun ia tidak bisa berkomentar banyak dengan adanya Aoyama. Kichiro tidak mau keadaan makin runyam jika Aoyama tahu bahwa Kichiro dan Kazuki tahu identitas sebenarnya si setan jalur barat yang sudah menyulitkan prajurit di kompi yang Aoyama pimpin.
Pria itu selalu berlaga santai dan ceria. Tapi Kichiro tahu betul kegilaan macam apa yang bisa timbul jika Aoyama sudah terbawa emosi.
Setelah panjang lebar berdiskusi dengan Kazuki mengenai rencana mereka begitu tiba di Khutamas nanti, Kichiro memutuskan untuk kembali ke perehatan sebelum fajar tiba. Sedangkan Aoyama memilih untuk tetap di rumah sakit untuk menemani Kazuki. Walau Kichiro tahu Aoyama pasti juga di sana untuk melihat Shigure.
Kalau boleh memilih, Kichiro masih ingin lebih lama tinggal di rumah sakit. Ia juga ingin bertemu Shigure sebelum berangkat ke Khutamas. Namun rombongannya harus segera berangkat. Dan dia tidak mau meninggalkan pasukannya terlalu lama dengan Kuroda.
Dan benar saja. Begitu masuk ke perehatan, Kichiro seolah-olah sedang masuk ke ruang sidang. Berat, dingin, dan penuh ketegangan. Menyelinap di antara lautan prajurit yang sedang serius, Kichiro menemuka Kuroda dan Okazaki sedang saling mengacungkan pedang di tengah ruang makan. Tak ada satupun yang bicara. Dua-duanya hanya saling pandang, menunggu siapa yang akan bergerak lebih dahulu.
Pemandangan itu adalah pemandangan yang biasa terjadi antara dirinya dan Kuroda. Kichiro tidak tahan dengan sifat Kuroda yang senang menjilat dan menebar omong kosong. Dan Kuroda, Kichiro tidak tahu pasti. Namun menurut Kazuki, Kuroda membenci Kichiro karena dia beberapa kali menolak promosi jabatan dan pemindahan tugas.
“Orang picik yang sombong dan tak tahu diri.” Begitulah Kazuki menjelaskan pandangan Kuroda terhadap Kichiro.
Tapi Okazaki?
Okazaki bukan tipe orang yang mudah termakan emosi dan konfrontasi.
Dan kenapa juga Fujimori dan Hidaka tidak menghentikan kejadian ini? Keduanya terlihat tak acuh bersedekap di seberang ruangan.
“Kapten Okazaki.” Panggil Kichiro seraya melangkah maju dari kerumunan.
Okazaki hanya melempar lirikan cepat sebelum kembali menumpahkan perhatiannya kepada Kuroda.
“Maafkan saya,” Ujar Okazaki tanpa melepas matanya dari Kuroda. “Tapi orang ini adalah ancaman bagi kesatuan batalyon kolonel Izumi.”
Kuroda tertawa. “Jangan membesar-besarkan masalah. Saya kan hanya berbincang-bincang dengan para prajurit agar tidak terlalu mengantuk.” Ujarnya ringan.
“Berbincang-bincang apanya? Anda secara tidak langsung menuduh kapten Maki mencampur racun ke minuman Anda tanpa bukti.”
“Saya kan hanya bertanya tentang teh yang dihidangkan untuk saya.” Ujar Kuroda tak acuh. “Bisa jadi tehnya kadaluarsa?”
Kichiro membuang nafas kesal. Dia sudah tahu bahwa pada akhirnya dia harus berurusan dengan kebodohan Aoyama.
Tapi dia tidak menyangka keadaanya akan jadi sekacau ini.
“Anda terlihat baik-baik saja untuk orang yang mengaku di racun.” Ujar Kichiro tenang. “Anda yakin Anda bukan hanya kelelahan karena perjalanan jauh dari Khutamas?”
Kuroda mendengus. “Anda pikir saya lemah?”
“Tidak. Kelelahan adalah hal yang manusiawi dan bukan tanda kelemahan.” Jawab Kichiro.
“Ah, terserah! Yang pasti saya tidak terima dicap sebagai pengacau persatuan batalyon milik kolonel Izumi.” Ujar Kuroda kesal.
Kichiro bisa merasakan mata-mata yang melirik ke arahnya. Ragu. Bertanya-tanya.
Jika Kazuki ada di posisi ini, tidak akan ada tatapan-tatapan seperti. Karisma bocah itu sudah cukup untuk membungkam kecurigaan dan rasa bimbang para prajuritnya.
Namun Kichiro tidak memiliki itu.
“Kenapa diam saja, kapten Maki? Anda setuju dengan perilaku kapten Okazaki yang kurang ajar? Kesempatan untuk menyingkirkan saya karena kolonel Izumi sedang absen?”
Tak perlu bertanya pun Kichiro bisa merasakan bagaimana kata-kata Kuroda mulai mempengaruhi orang-orang di sekitarnya. Terutama Fujimori dan Hidaka. Ditambah semua rumor yang ia sebarkan sejak ia tiba, Kichiro tidak kaget ketika merasakan keraguan para prajurit terhadap keputusan dan sikapnya.
“Jangan bicara yang tidak-tidak.” Geram Okazaki kesal. “Anda tamu, jangan kurang ajar kepada tuan rumah.”
Kuroda terkekeh menyindir. “Tuan rumah? Kapten Maki sekarang tuan rumah? Baru ditinggal sebentar pangkatnya sudah langsung naik ya?”
“Okazaki, cukup.” Ujar Kichiro dingin, yang disambut oleh lirikan kesal dari Okazaki. Namun tampaknya pria itu sadar bahwa Kichiro tidak akan menerima kata tidak.
Pelan dan enggan, Okazaki menurunkan pedangnya.
Kichiro memaksakan bungkukan kecil ke arah Kuroda. Ia harus cepat membungkam Kuroda. Okazaki benar, semakin lama orang itu berkoar-koar, semakin besar rasa ragu tumbuh di benak para prajuritnya.
Dan itu jelas akan mengancam keamanan perjalanan mereka ke Khutamas.
“Saya mohon maaf jika ada hal yang kurang berkenan selama Anda menetap di sini.” Ujar Kichiro tenang.
Permintaan maaf Kichiro nampaknya tidak di duga oleh Kuroda. Walau berusaha terlihat biasa saja, ada sekilas kekagetan dan kekesalan yang terlintas di wajahnya.
Kuroda berdecak kesal dan menyarungkan pedangnya. Walau kaget dan kesal, tampaknya dia cukup tahu diri untuk tidak memperpanjang keributan ini. Apalagi setelah Kichiro meminta maaf di depan umum seperti ini.
“Jika Anda masih merasa kurang sehat, kita bisa menunda keberangkatan--”
“--tidak.” Tukas Kuroda cepat, setengah marah. “Kita berangkat sesuai rencana.”
Mengumpulkan sisa-sisa ketenangannya, Kuroda berbalik dan pergi. Meninggalkan kerumunan yang pelan-pelan membubarkan diri dengan canggung. Fujimori dan Hidaka menghilang di tengah kerumunan, membuat Kichiro bertanya-tanya apa mereka sudah benar-benar termakan hasutan Kuroda atau hanya sekedar tidak peduli dengan semua kericuhan ini.
Namun lain dengan Okazaki terlihat kesal berjalan menghampiri Kichiro.
“Kau tidak perlu meminta maaf seperti itu.” Ujar Okazaki, antara kesal dan khawatir.
“Semakin lama dibiarkan, semakin banyak omong kosong yang akan ia ucapkan.” Jawab Kichiro tenang.