KHAJANA

Anisa Saraayu
Chapter #33

31. Akhir

HIRA


Walau pasukan para tuan besar belum kembali, namun kabar kemenangan mereka di jalur Jagar, Thoba, dan Banyu sudah sampai ke telinga warga Khajana. Sebagian warga berpesta pora, merayakan harapan untuk segera lepas dari pendudukan Azumachi. Namun, tidak sedikit warga yang bingung harus bersikap seperti apa. Apalagi mereka yang dengan jelas melihat dan merasakan perbedaan yang dibawa oleh kolonel Izumi. 

Sedangkan untuk Hira, yang ia rasakan hanya kosong.

Di kamar kecil suram di sebuah penginapan pinggir kota, Hira hanya bisa menerima kabar demi kabar dari Bharata. 

Tuan Arah akan segera kembali, katanya.

Tuan Bara akan segera kembali, katanya. 

Tuan Ruhur dan pasukannya habis dibantai, katanya.

Tuan Chanda sudah meninggal, katanya. 

Semua itu harusnya kabar baik, kan? 

Tapi kenapa Hira justru merasa seperti dunianya semakin kelam? Kenapa setiap ia melihat ke arah Harsha yang sedang tertidur, ia tidak bisa merasakan apa-apa lagi selain rasa putus asa? 

Paman satu-satunya yang ia miliki sekarang sudah tiada. 

Hira harus kemana? 

Apa yang akan terjadi kepada bibi Lakshmi dan Usha? 

Lalu Bara...Bara kembali dengan selamat kan? Lantas apa yang terjadi dengan Kazuki? 

“Nona Hira.” Panggil Bharata. 

Hira menoleh, mendapati pria itu sedang berdiri di ambang pintu. Sejak kapan? 

“Untuk sementara waktu, Anda dan tuan Harsha bisa tinggal di kediaman Ranggawuni dulu.” Ujarnya. 

Hira mengerutkan keningnya, bingung. 

“Tidak bisa begitu.” Ujar Hira tanpa pikir panjang. “Tidak pantas wanita tak bertuan seperti saya tinggal di rumah pria yang bukan keluarga.” 

Bharata mengangguk mengerti. “Saya tahu nona pasti akan berkata seperti itu.” Ujarnya seraya mendekat ke arah Hira. Ada sepucuk surat di tangannya. “Ini adalah tawaran dari tuan Arah.”

Bingung, Hira meraih surat di tangan Bharata dan mulai membacanya. Isinya adalah tawaran untuk menjadikan Harsha sebagai anak didik pasukan khusus keluarga Ranggawuni. 

“Dengan begitu, nona dan tuan bisa tinggal di kediaman Ranggawuni sampai tuan Harsha cukup umur.” Bharata menjelaskan. 

Begitu saja? Begitu saja solusi jatuh ke pangkuan Hira? 

Hira tidak percaya. 

Ini terasa tidak benar. 

“Aku mau.” 

Hira tersentak, menoleh ke arah Harsha yang ternyata sudah bangun entah sejak kapan. Wajahnya masih merah dan penuh peluh karena demam. 

“Harsha--”

“--apapun itu, Harsha mau.” Ujar Harsha yakin dengan suara serak. 

“Kamu bahkan belum baca isi suratnya.” Ujar Hira khawatir. 

Harsha menggelengkan kepalanya. “Harsha nggak peduli. Selama kakak bisa punya tempat tinggal, Harsha mau.”

Hira tercekat. 

Sejak kapan Harsha jadi seperti ini? 

Harusnya kata-kata itu keluar dari mulut Hira, bukan mulut Harsha. Harusnya Hira yang bilang bahwa dia akan rela melakukan apa saja untuk Harsha. 

Tapi saat ini justru Hira yang gentar. 

Kenapa? 

Hira lelah. 

Dia sadar dirinya lelah dan saat ini yang ia inginkan hanya tidur selama-lamanya. 

Tapi kata-kata Harsha seperti tamparan telak di wajahnya. 

“Harsha boleh menjadi anak didik pasukan Ranggawuni hanya kalau saya juga diizinkan bekerja di rumah keluarga Ranggawuni.” Ujar Hira tegas. 

Hira sendiri tidak tahu ide itu datang dari mana. Tapi yang pasti, dirinya menolak pasrah begitu saja menerima bantuan Bharata. 

Bharata terlihat tidak yakin. “Maaf nona, tapi nona kan sahabat dekat tuan Arah dan tuan Bara. Tidak mungkin--”

“--Anda juga sahabat dekat mereka. Bahkan tumbuh bersama dari kecil.” Potong Hira. 

Bharata terdiam. 

“Saya tidak akan menumpang di rumah keluarga Ranggawuni tanpa melakukan apa-apa sementara adik saya menjadi anak didik.” 

Ada senyum tipis terbentuk di wajah Bharata. 

“Baik, akan saya bicarakan dengan tuan Arah.” 

Hira memaksakan senyum sambil memberikan anggukan kecil terima kasih kepada Bharata. 

Dan hanya dengan itu, Hira rasanya seperti baru dibangunkan dari tidur panjang. 

Dunia rasanya masih sama suramnya. Namun, paling tidak Hira tidak lagi merasa seperti sedang berenang di air keruh. Ada secercah cahaya yang membuatnya bisa melihat sedikit lebih baik. Bahwa walau terasa hilang, Hira masih punya tujuan. 

Begitu pula Harsha. 

Dalam perjalan ke rumah keluarga Ranggawuni, Hira bisa melihat warna baru di wajah Harsha. Seolah-olah hanya dalam semalam anak itu tumbuh dewasa. Ia tidak bertambah besar. Harsha masih tetap terasa kecil duduk di depannya selama mereka berkuda. Namun Hira tahu ada yang tumbuh di dalam diri Harsha. 

Dan itu membuat Hira terenyuh. 

Senyum kecil namun hangat tersungging di bibir Hira. Lembut, ia membelai kepala Harsha. Membuat anak itu menoleh bingung. 

“Kenapa kak?” Tanyanya. 

“Terima kasih banyak ya, Harsha.” Ujar Hira. 

Wajah Harsha memerah. Cepat-cepat ia menundukkan kepalanya. “Kenapa sih kak?’ Gerutunya. 

“Kapan mas Arah akan tiba di Khajana?” Tanya Hira kepada Bharata yang menunggang kuda di sampingnya. 

“Mungkin dua atau tiga hari lagi.” Jawab Bharata.

Lihat selengkapnya