Setiap apa yang digariskan oleh-Nya bukan tanpa sebab. Akan ada hikmah yang menyertai, seberat apapun garis takdir.
🍁🍁🍁
"Khanza ... makan dulu Nduk."
"Nggak sempat, Ma. Khanza udah telat," Aku segera menghampiri Mama, menyalami dan mencium punggung tangannya seperti biasa.
"Khanza berangkat dulu, Ma. Oh ya, hari ini pengumuman beasiswa Ma. Doakan Khanza dapat beasiswanya ya Ma."
"Amin ... Insya Allah ya Nduk. Kalau rejeki nggak akan kemana." Senyumku mengembang mendengar ucapan mama. Tentu saja, sesederhana itu, dan mama dengan mudahnya memberiku semangat.
Setelah berpamitan, sku segera melesat meninggalkan rumah dengan si hitam. Bukan kendaraan kesayanganku memang, tapi dia banyak membantuku di kala sulit. Dan kini pun aku menyayanginya seperti menyayangi si putih, dulu.
Dari rumah menuju kampus terbilang singkat, hanya 15 menit waktu tempuh dengan menggunakan motor.
"Za!" Suara cempreng penuh semangat menyapaku begitu aku memasuki gedung kampusku. Siapa lagi kalau bukan Nafisa, sahabatku sejak memasuki bangku perkuliahan. Kami selalu bersama. Bahkan banyak yang menjuluki kami anak kembar, saking seringnya kami berdua. Aku biasa memanggilnya Fisa.
"Aku udah lihat pengumuman beasiswa. Nama kamu ada dalam daftar!" Aku reflek berteriak histeris mendengar informasi dari Fisa.
"Seriusan?" Fisa mengangguk mantap.
"Alhamdulillah," desahku penuh kelegaan. Beasiswa itu setidaknya bisa meringankan biaya uang semesterku.
"Congratz, Sist!" Selanjutnya tubuhku nyaris terhuyung karena pelukan Fisa yang terlalu bersemangat.
"Thanks ya, Fis. Kamu selalu berhasil menyemangatiku."
"You're welcome, Za. Udah ah, ayo masuk kelas! Nggak mau diusir sama Pak Darma kan." Ya ampun! Kenapa bisa lupa. Sedari tadi aku terburu-buru karena takut diusir oleh Pak Darma. Lewat satu detik dari kedatangannya, semua mahasiswa tidak diperbolehkan masuk ke kelasnya. Dan aku sudah terusir dua kali dalam semester ini. Jangan sampai terulang lagi.
Kami sudah berada dalam kelas. Seluruh bangku pun nyaris sudah terisi penuh. Sudah hampir setengah jam berlalu, tetapi Pak Darma belum juga menampakkan diri. Bolehkah kami para mahasiswa mengusirnya karena datang terlambat? Dia bahkan tidak pernah memberi toleransi pada kami, tapi kini dia tidak memberi kabar atas keterlambatannya. Huh!
"Jadi ngelamar di cafe kapan hari, Za?" Aku segera menolehkan kepala ke arah Fisa mendengar pertanyaannya.
"Jadi dong. Aku butuh dana tambahan buat uang saku dan buku kuliah, Fis."
"Harus banget ya kerja jadi pelayan kafe?"
"Ada gitu kerjaan yang lebih baik dari ini buat part-timer macam aku?" Fisa menghela napas kasar. Entah kenapa dia yang paling menentang keputusanku ini, "kamu malu punya temen kerja jadi pelayan kafe? Ya wajar sih, tapi mau gimana lagi."