Pieter yang melihat Mark sudah pingsan di ruang Keluarga dengan tangan yang bersimbah darah dan beling yang masih tertancap di telapak tangan sebelah kiri, Pieter juga melihat bi Asih yang mengeluarkan darah segar dari bibirnya, sedang coba di sadarkan oleh Ningsih. Sementara itu Satpam dan para pembantu yang tadi pingsan sudah di sadarkan oleh pak sandri. Setelah para pembantu yang pingsang tadi sadar, mereka membawa Ivan ke dalam ruang tamu. Sementara pak sandri segera menelpon rumah sakit terdekat untuk mengirim tiga uni ambulance ke rumah Pieter.
Pieter hanya termenung melihat keadaan rumah mereka yang berantakan bagaikan medan perang yang baru saja di tinggalkan oleh kedua belah pasukan yang berperang. Dia bersyukur dirinya dan ningsih tidak menderita luka sedikitpun, tapi hatinya merasa sangat sakit ketika melihat orang-orang kepercayaannya tergeletak tak sadarkan diri dan berdarah.
“permisi tuan, apa sebaiknya kita menghubungi non Riri dan Rara saja untuk meminta mereka pulang lebih awal dan membawa Aris serta gunawan ke sini.” Ucap pak sandri yang memecahkan lamunan Pieter.
“jangan pak sandri, mereka sedang liburan. Saya tidak ingin merusak suasana liburan kedua anak ku dan calon menantu ku. Biarkan aku berfikir dan mencari solusi untuk permasalahan ini.” Jawab Pieter
“baik Tuan jika begitu saya mohon pamit, saya ingin membawa Mark ke sofa yang berada di ruang tamu” ucap pak sandri
“tidak usah kamu di sini saja, kang Bagas dan mas ojo tolong gotong Mark ke sofa panjang yang berada di ruang tamu” titah Pieter kepada kedua tukang kebun nya.
“baik tuan.” jawab keduanya dan langsung pergi ke ruang keluarga untuk menjalankan perintah Pieter.
“Pak Sandri, saya ingin bertanya kepada mu. Kenapa tiba-tiba kamu melantunkan Adzan dan mengapa kedua makhluk tersebut langsung pergi ketika diri mu melantunkan Adzan?” tanya Pieter kepada pak Sandri.