Kehidupan mewah mungkin, sebentar lagi akan segera terhempas pergi terbawa gelombang lautan samudra luas yang tidak bertepian.
Andai siapapun telah menyadari, bila kehidupan itu sungguh tidak pernah menemukan jawaban yang pasti abadi. Bila kehidupan penuh gemerlap gelimangan harta kekayaan, bisa saja bila yang sang pemilik segalanya akan merenggutnya setiap saat, maka akan sirna segalanya.
Semua kekayaan pasti datangnya dengan tidak mudah begitu saja, andai kekayaan itu sudah waktunya datang, maka kekayaan itu akan datang dengan sendirinya tanpa kita kejar.
Sungguh sulit penuh kesukaran hidup bagaimana kekayaan itu didapati almarhum ayahnya Anggrek. Betapa penuh perjuangan air mata dan tidak mustahil bulir-bulir peluh makin merayap sembabi sekujur tubuhnya, hanya demi mencapai cita-cita bergelimangan harta kekayaan.
Lelah, capek dan rasa marah tidak terima akan ketidak adilan langit, karena asa kekayaan itu tetap tidak mudah untuk diraihnya.
Hinggah akhirnya Husein jatuh pada ketidak percayaan lagi pada sang pemilik segalanya, ia makin menjauhi deguban suara jantung panggilan Adzan untuk melulantahkan segala untaian lantunan kata-kata pujian pada sang pemilik segalanya bumi ini.
Semua itu Husein hiraukan, seakan ia tidak peduli lagi mendengar seruan panggilan lima waktu, karena semakin tidak percayanya ia pada sang pemilik segalanya, yang telah membeda-bedakan kasih sayang padanya.
Sampai saat waktunya tiba, Husein menerima bisikan ghaib, bila dirinya harus segera mendatangi seseorang yang akan bisa mewujudkan asa setiap impiannya menjadi nyata.
Sejak dari situlah Husein menjadi kaya raya, tapi sesungguhnya kekayaan itu telah mengorbankan segalanya meminta nyawa istri tercintanya.
Walau Husein hidup dengan gemerlap harta kekayaan, tapi hatinya selalu kesepian dan tergoncang jiwanya dengan bisikan-bisikan ghaib selalu mengekang dirinya, agar selalu semaki menjauh pada sang pemilik segalanya sudah memberikan ia segalanya.
Walau dirinya tidak sadar, bila kekayaan yang dimilikinya dan raga masih menyatu dengan rohnya, adalah kepunyaan sang pemilik segalanya.
Sampai Husein tiada, gemerlap harta kekayaan masih memberikan asa pada anak dan cucunya, tapi semua itu menjadi bom waktu untuk seorang anak yang saat ini sudah menikah dengan lelaki pilihannya.
Anggrek, nama anak sulungnya Husein, walau hidupnya penuh gemerlap harta kekayaan, tapi relung sanubarinya selalu tercekam ketakutan, kesepian dan kesedihan.
***
Terbaring tidur, pelukan hangatnya memeluk kedua anaknya lelap sekali tidurnya disampingnya. Hampir setiap hari, wajahnya tidak pernah tersenyum hanya berselimut kesedihan selalu melipir menyelimuti wajah cantiknya Anggrek.
Hanya kedua anaknya, bisa menebar menggoda dengan senyuman dan menyingkirkan kesedihan pada setiap guratan wajah Anggrek.
Adija, baru saja menginjak umur sembilan tahun, parasnya sangat cantik berambut panjang, sungguh anak itu sayang sekali pada ibunya, walau sedikit bawel.
Sedangkan Bulan, bayi kecil masih menyususi dan saat ibunya lelap tidur ditengah malam selalu membangunkan, hanya sekedar meminta tetesan putih penyambung kehidupan dari payudara ibunya.
Hening sunyi dan sepi, setiap malam hanya dilalui mereka bertiga saja, entah dimana suaminya berada. Segitu teganya suaminya telah pergi, meninggalkan ketiganya tanpa ada rasa peduli dan sepanjang hari hanya meninggalkan jejak tanpa bayangan kasih sayang selamanya.
Kamar yang sangat besar dan megah sekali dengan dipenuhi furniture mewah, kesemua itu adalah milik peninggalan ayahnya, yang malam itu, adalah malam ketujuh hari ayahnya wafat.
Rumah sebesar itu hanya ditinggali mereka bertiga, rumah konsep berdesain klasik mengusung tema rumah zaman kuno, dengan dominan warnanya semua berselimut putih tapi terkesan angker dan mencekam.