Khudr

Azri Zakkiyah
Chapter #1

Prolog

HAZEL.

Melbourne, 2018.

Tidak, aku tidak menghabiskan sepertiga usiaku untuk menerima kegagalan hari ini.

Ctakk..!

Sebiji hawthorn berry ranum mendarat di pelipis kananku. Aku terkesiap. Genjotan halus tempat duduk dan pergantian gelap-terang selama keluar masuk terowongan bawah tanah menyadarkan bahwa aku masih berada di dalam kereta. Tidak sampai setengah jam lalu kami bertolak dari Kensington. Beberapa perhentian lagi sampai Melbourne CBD1.

“Kau terlalu tegang, Haze.” Claire, temanku, si pelaku pelemparan beri, mengacung-acungkan tangan di depan wajahku yang mungkin sudah pucat pasi macam hilang ruh. “Enjoy the river, Mate! A sacred path to The Mother Nature!”

Kami sama-sama melirik ke luar jendela. Air tenang Sungai Yarra yang tak beriak menghanyutkan satu dua gerombol bunga Jacaranda yang digugurkan musim. Juga daun-daun kuning yang terseret jauh. Jauh. 

“Kita tidak boleh terlambat sama sekali,” kataku, tak melunak sedikit pun. 

“Are you absolutely certain to win this prize?” Claire melancarkan bakat bawaan lahirnya untuk menginterogasi.

“Claire, apa kau ingin kutampar?” Aku berkata tanpa menoleh padanya. Masih mematut-matutkan jemari agar tak kedinginan karena tegang. “Only The Grim Reaper2 can stop me.”

Ini akan menjadi hari yang paling kuingat. Setelah bertahun-tahun, akhirnya aku mendapat telepon langsung dari direktur National Gallery of Victoria untuk sesuatu yang ia namai ‘having coffee’. Padahal itu idiom singkat dari ‘wawancara tahap akhir rekruitmen staf yang akan dikirim ke Berlin tahun ini’. Sebagai staf berprestasi, peluangku hampir seratus persen. Jika lolos, akan kubawa suamiku ikut serta. 

Claire menghembuskan udara yang tak dihirupnya. “Bagaimana kau kenal dengan suamimu?” 

“Apa?!” Pertanyaan Claire benar-benar tidak tahu adab dan tidak tahu waktu.

“Mengalihkan pikiranmu. Hanya pemanasan agar kau tidak tegang, Dear.

“What the…”

Bak instruktur senam, Claire memberi isyarat agar aku mengambil napas panjang yang tanpa sadar kuikuti. Tarikan napas sedikit meredam debar jantungku yang tak terkondisikan. Entah kena hipnotis, atau karena betulan butuh oksigen. “Kami… bertemu dalam sebuah kebetulan.” 

Lihat selengkapnya