Hari-hari Bahlul tidak pernah sepi dari kegiatan. Dia selalu saja ada acara. Terkadang ada undangan untuk mengisi pengajian. Terkadang juga ada panggilan untuk memimpin doa bersama. Ada pula panggilan untuk melakukan pengobatan. Begitulah galibnya di desa, seorang ustaz atau kiai memang dituntut untuk serbabisa.
Dengan sepenuh hati Bahlul mengerjakan apa saja yang diminta oleh pihak pengundangnya. Demikian pula yang dilakukan malam ini. Sore tadi ada salah seorang santri dari Kiai Ahmad Qosim bertamu. Bahlul diminta datang ke rumah sang kiai untuk memijat. Sudah dua hari ini Kiai Ahmad Qosim tidak enak badan.
Kiai Ahmad Qosim bukan orang asing bagi Bahlul. Beberapa tahun lalu Bahlul pernah nyantri kepada beliau. Maka, dengan penuh hormat, Bahlul memenuhi panggilan gurunya itu. Kini Bahlul sudah ada di rumah Kiai Ahmad Qosim.
“Lul, kamu pijat saya, ya!” ucap Kiai Ahmad Qosim setelah berbasa-basi sejenak. “Saya lagi enggak enak badan,” lanjut Kiai.
“Baik, Kiai ...,” jawab Bahlul penuh sopan santun.
Tidak lama kemudian Kiai Ahmad Qosim sudah rebahan di ruang tengah. Bahlul pun mulai beraksi.
“Punggung dulu, ya, Lul,” pinta Kiai Ahmad Qosim. “Mungkin saya masuk angin.”
“Baik, Kiai ...,” sahut Bahlul.
Bahlul menuruti permintaan gurunya tanpa ada bantahan sama sekali. Tangannya lekas bergerak menyusur punggung Kiai Ahmad Qosim dari atas ke bawah dan berbalik arah. Berulang-ulang.
Tiba-tiba saja Kiai mengeluarkan kentut yang cukup keras suaranya dan cukup menyengat baunya. Dusss ...!