Kiai Hologram

Bentang Pustaka
Chapter #1

1. Hulu Cinta - Tinggal Satu Gerbang (Tangis Bayi Ketika Lahir)

Sepanjang dititipi tulisan, aku memberikannya kepada siapa saja yang mau. Tidak ada tujuan untuk “dimuat di media” sebagaimana dulu. Juga tidak dalam rangka “menjalani profesi sebagai penulis”. Hidupku nir-profesi.

Allah menganugerahkan kepadaku kehidupan yang sangat merdeka. Sehingga kewajiban utama hidupku adalah berupaya untuk selalu memerdekakan. Dunia, dengan semua kejadian di dalamnya, adalah arena utama pandanganku, tetapi bukan tujuan hidupku. Jadi, aku memerdekakan dunia dan penghuninya untuk melakukan apa saja. Juga Indonesia.

Aku coba memahami bahwa ketidakmampuanku untuk berbuat apa-apa untuk Indonesia justru merupakan kemerdekaanku. Siapa pun tidak berhak membebani atau menagih apa pun kepada orang yang tidak mampu. Kalau aku tak sanggup memanggul sekuintal beras, aku tak bisa disalahkan kalau tak memanggulnya.

Apalagi cintaku kepada Indonesia tidak tumbuh menjadi apa-apa. Kulakukan nasihat Al-Quran “tawashou bil-haq watawashou bis-shobr”, menyedekahi kebenaran dan kesabaran. Produknya adalah “shummun bukmun ‘umyun” atau tuli, buta, dan bisu. Tawaran perbaikan, solusi, perubahan, dan apa pun, terbentur pada “fi qulubihim maradlun fazadahumulLahu maradla”, bersarang penyakit dalam hatinya dan Allah menambahkan penyakit itu. Awalnya itu menyedihkanku dalam memikirkannya, tapi akhirnya memerdekakanku darinya.

Tak ada pilihan lain kecuali kutempuh jalanku sendiri. Kutempuh “sabil”, “syari’”, “thariq”, dan “shirath” sendiri, termasuk dengan kemerdekaan untuk tak perlu menjelaskan sistem-empat itu kepadanya. Kepada yang tak bertelinga, aku merdeka untuk tak berkata-kata. Kepada domba, cambuk pun tak kan kubawa. Revolusi, reformasi, restorasi, perubahan dengan metode apa pun yang pernah dirumuskan oleh peradaban manusia telah ratusan kali kuhisab dan kusimulasi kadar manfaat dan mudaratnya. Dan, kuputuskan untuk kusimpan di laci.

Tinggal satu saja gerbangnya, tetapi aku merdeka untuk membiarkannya ditabiri rahasia. Tetapi, sejarah adalah hujan amat deras sehingga kemerdekaanku adalah berjuang menemukan sela-sela kosong di antara titik-titik air hujan. Sudah pasti tak bisa kuhindari untuk “basah kuyup” oleh hujan deras silang sengkarut Indonesia. Maka, jalannya adalah “topo ngramé”: kutelusuri lorong sepi hidupku sendiri.

Lihat selengkapnya