Sejak kecil saya meredam pertanyaan di lubuk hati, Kenapa di keluarga saya tidak pernah saya alami dan rasakan tradisi atau suasana ritual puasa sebagaimana saya jumpai di keluarga yang lain? Memang pada setiap Ramadan terdapat suasana khusus, semacam kegembiraan dan kekhusyukan yang tidak terjadi pada bulan-bulan lain. Tetapi, sejumlah “perilaku” atau “upacara” yang terjadi di mana-mana, tak ada di keluarga kami.
Yang menonjol dari Ramadan pada masa kanak-kanak saya adalah bunyi “tédur” atau bedug yang ditabuh oleh dua orang di dua sisi dengan aransemen yang khas. Bunyi “tédur” sore hari menjelang magrib—sedang bakda isya nanti kami mengawal Shalat Tarawih, juga pada hari terakhir puasa yang besoknya Idulfitri—sangat menawan. Membuat kami anak-anak kecil tersenyum lebar tak habis-habis, tanpa pernah mampu merumuskan perasaan apa yang sedang kami alami.
Tatkala menjelang remaja, bedug dan tédur lenyap, ditelan oleh pertengkaran tentang bidah; ketelingsut dan terkubur oleh konflik berkepanjangan para ulama, kiai, dan ustaz tentang mazhab, aliran, tafsir, dan berjenis-jenis kuasa dan kesombongan ilmu. Kayu, kulit kerbau, dan potongan batang pohon petai penabuh bedug tidak lagi dilibatkan dalam pernyataan Allah “sabbaha lillahi ma fis-samawati wa ma fil-ardli”, bertasbih kepada-Ku semua yang ada di langit dan bumi. Alam dihardik oleh keangkuhan ilmu manusia. Pepohonan dan hewan disingkirkan oleh supremasi syariat hubungan manusia dengan Tuhan. Kekayaan alam diperbudak, ditindas, dijajah, dikuras, dan dihabiskan oleh kehebatan peradaban manusia untuk membangun materialisme, teknologisme, industrialisme, dan hedonisme.
Di keluarga saya hampir tidak pernah ada kemewahan materi, pertunjukan spiritual, dramatisasi ibadah, buka puasa yang lebay dan over-romantis. Kalau sahur, ya sahur saja sebagaimana makan-makan biasanya. Kalau berbuka, ya berbuka saja, tanpa prosedur administrasi takjil-ringan dilanjutkan buka-berat, sebab adanya makanan-minuman ya hanya itu. Kalau tarawih, ya tarawih saja. Tadarus, ya tadarus saja. Tarhiman, ya tarhiman saja. Puasa seharian, ya puasa saja. Semua tanpa kehebatan, tanpa kegagahan. Tanpa men-teater-kannya. Tanpa merayakannya. Tanpa menyadar-nyadarinya. Tanpa dibungkus-bungkus dengan kealiman, kesalehan, atau kesurga-nerakaan. Seingat saya, sejak kecil di keluarga saya juga tidak ada atmosfer “nafsu” terhadap pahala seratus kali lipat atau ganjaran seribu kali lipat. Kami melakukan semua itu karena memang sewajarnya kami melakukannya.
Kalau Idulfitri tiba, sehabis shalat bersama di lapangan desa, kami kembali ke rumah, tidak ada proyek panjang bersalaman, berpelukan, sungkem kepada yang lebih tua di antara 15 bersaudara. Hanya bersalaman malu-malu dan kalau ada yang mengucapkan sesuatu, paling jauh, “Nol-nol ya” atau “Sepure sing dowo, rek”. Sepur itu kereta api, dowo itu panjang. Sepur-nya yang panjang, maksudnya itu pengalihan simbolis dari “Mohon maaf sepanjang-panjangnya”.
Bahkan, kepada Ibu dan Ayah. Karena saya lama di Yogya, saya pernah membungkuk, hampir bersimpuh, mencium lutut Ibu dan Ayah. Tetapi, Ibu tertawa terpingkal-pingkal dan Ayah tersenyum-senyum. Padahal, sudah saya hafalkan narasi adiluhung, “Kawulo caos sembah pangabekti, mugi katur ing ngarsanipun Ibu lan Bapak, mbok bilih wonten klenta-klentunipun atur kulo saklimah, tuwin lampah kulo satindak, mugi Ibu soho Bapak kerso maringi gunging samodra pangaksami, kawulo suwun kaleburono ing dinten riyadi puniko ….”