KIAI UJANG DI NEGERI KANGURU

Noura Publishing
Chapter #2

Mungkinkah Santri Bisa Bersekolah Gratis di Australia?

Ujang memberikan paspor dan e-tiket ke counter check in Garuda. Di saat petugas mengecek dokumen yang Ujang berikan, perlahan ingatan Ujang melayang sesaat ke belakang—pada sejumlah peristiwa yang membawa dia sekarang berdiri di bandara dan sebentar lagi akan terbang ke Australia, Negeri Kanguru, dengan rute Jakarta–Denpasar–Brisbane selama 14 jam (termasuk waktu transit di Denpasar, Bali).

Terlahir dengan nama Erwin Ardiansyah, 25 tahun silam, teman sepermainannya di Tasikmalaya sejak kecil memanggilnya Ujang. Dan, panggilan masa kecil itu terus dipakainya sebagai panggilan sehari-hari. Terasa nyaman dan akrab panggilan itu di telinganya.

Ujang belajar di Pesantren Buntet, sebuah pesantren tua dan terkenal di daerah Cirebon. Ayahnya adalah santri Kiai Abbas Buntet, seorang kiai yang dianggap oleh Hadratus Syaikh Hasyim Asy‘ari sebagai “penjaga langit Surabaya” dalam peristiwa melawan agresi militer Belanda di Surabaya, 10 November 1945—yang kelak peristiwa tersebut dijadikan sebagai Hari Pahlawan.

Sebagai santri Buntet, Ujang belajar disiplin keilmuan Islam tradisional. Dia belajar bahasa Arab, fiqih, akidah, akhlak, dan tentu saja tafsir Al-Quran serta hadis. Bekal itulah yang kemudian membawa Ujang melamar ke Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Ujang mengambil spesialisasi perbandingan mazhab. Di samping belajar formal di bangku kuliah, Ujang juga belajar ilmu tasawuf pada Haji Yunus, yang rumahnya sekitar 200 meter dari tempat indekos Ujang di Kampung Utan.

Bagaimana ceritanya, kok, santri dan lulusan UIN bisa berangkat ke Australia untuk studi pascasarjana gratis?

Ini semua bermula dari kegigihan Ujang mencari tambahan uang saku saat kuliah. Setiap pagi habis shubuh dia tekun belajar bahasa Inggris secara autodidak. Semua buku grammar, dari yang sederhana sampai latihan TOEFL, digarap setiap pagi selama dua jam.

Kawan-kawan indekosnya sering meledek Ujang, “Jang, ngapain belajar bahasa Inggris? Nanti di dalam kubur enggak ditanya pakai bahasa Inggris, lho ....”

Kawan-kawannya merujuk pada pertanyaan malaikat nanti: “man rabbuka” (“Siapa Tuhanmu?” yang disampaikan dalam bahasa Arab). Ujang tersenyum. Dia percaya itu hanya gurauan. Toh, malaikat, dengan izin Allah, menguasai berbagai bahasa.

Ketika semester 6, Ujang sudah berani menerjemahkan buku-buku bahasa Inggris, kemudian naskah terjemahannya dikirimkan ke penerbit. Untuk melatih listening dan speaking, Ujang rajin mengunjungi British Council Library di daerah Kuningan, Jakarta. Di sana Ujang menonton berbagai video percakapan berbahasa Inggris.

Ujang terus menyemangati dirinya sendiri: “Kalau bahasa Arab yang susahnya luar biasa itu bisa dipelajari dengan tekun di Buntet dulu, seharusnya sekarang lebih mudah belajar bahasa Inggris, yang tingkat kesulitannya masih di bawah bahasa Arab.”

Begitulah usaha dan kerja keras Ujang. Selepas tamat kuliah strata satu (S1), Ujang diminta dosennya, Profesor Huzaemah, menjadi asisten. Profesor Huzaemah adalah perempuan Indonesia pertama yang tamat dari Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir. Dia pakar fiqih perbandingan mazhab.

Dan dua orang yang mewarnai perjalanan intelektual dan spiritual Ujang adalah Profesor Huzaemah dan Haji Yunus.

Ketika datang tawaran beasiswa dari Australian De­velopment Scholarship (ADS), Ujang memberanikan diri melamar. Masih terngiang petuah Profesor Huzaemah, “Ujang, dalam Al-Quran (QS Al-Ra‘d [13]: 11) disebutkan bahwa Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri mau mengubah nasibnya. Kalau Allah saja tidak bisa mengubah nasib kamu, bagaimana kamu berharap saya akan membantu kamu untuk mengubah nasib kamu, kalau kamu sendiri tidak berusaha mengubah­nya?”

Lihat selengkapnya