KIAI UJANG DI NEGERI KANGURU

Noura Publishing
Chapter #3

Bagaimana Memilih Mazhab yang Cocok untuk Hidup di Australia?

Saat kuliah di Jurusan Perbandingan Mazhab, Ujang terpesona dengan keragaman opini para mujtahid masa silam. Kalau di Pesantren Buntet Ujang mengenal khazanah empat mazhab—Hanafi, Maliki, Syafi‘i, dan Hanbali—di bangku kuliah dia juga belajar pandangan para ulama di luar empat mazhab itu.

Ujang membaca kitab Al-Muhallâ karya Ibn Hazm yang bermazhab Zhahiri. Ujang juga membaca fiqih Imam Abu Tsaur dan para ulama dari kalangan mazhab Ja‘fari dan Zaidi. Semuanya itu memperkaya pemahaman Ujang ketika hendak memecahkan persoalan fiqih.

Tentu timbul kemusykilan di sini: bukankah keragaman mazhab itu membingungkan? Mana yang harus dipilih? Bukankah Allah itu satu, Nabi Muhammad itu satu, Jibril itu satu? Al-Quran juga cuma satu. Tapi, mengapa Islam memiliki banyak mazhab?

Mazhab sendiri makna dasarnya adalah pendapat. Jadi, mazhab itu bukan semacam organisasi. Mazhab itu sebenarnya hanyalah kumpulan pendapat para imam.

Ujang teringat bagaimana dalam literatur ushûl al-fiqh disampaikan bahwa Al-Quran dan Hadis memiliki dua macam petunjuk (dalalah): ada yang sifatnya qath‘i alias tegas dan jelas, tidak mengandung opsi dalam memahaminya; ada yang bersifat zhanni, atau mengandung beragam makna.

Contoh untuk yang pertama adalah kewajiban puasa. Al-Quran menggunakan redaksi “kutiba ‘alaikum al-shiyâm”. Makna yang dikandungnya sangat tegas dan jelas: “diwajibkan berpuasa”. Itu sebabnya semua umat Islam, apa pun mazhabnya, wajib menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan, kecuali ada uzur yang dibenarkan oleh syar‘i—seperti sakit atau bepergian.

Namun, bagaimana umat Islam memahami pesan Nabi Saw. untuk mengawali dan mengakhiri puasa Ramadhan dengan melihat bulan, telah menimbulkan perbedaan pendapat. Di Tanah Air, para ulama Muhammadiyah berpegang pada hisab (mengalkulasi ketinggian bulan) sebagai cara “melihat” bulan dengan bantuan perangkat ilmu dan teknologi. Sementara kalangan Nahdlatul Ulama menggunakan rukyat untuk “melihat” bulan dalam arti literal.

Nah, pada nas Al-Quran dan Hadis yang termasuk kategori zhanni inilah para ulama berbeda pandangan—yang pada gilirannya perbedaan pandangan itu mengerucut menjadi perbedaan mazhab. Konon, dalam sejarah hukum Islam pernah terdapat 500 mazhab. Sebagian besar tidak lagi memiliki pengikut sesuai perkembangan zaman. Dan hanya sebagian kecil, sekitar 7 sampai 8 mazhab yang masih memiliki pengikut di abad ke-21 ini.

Secara garis besar, mazhab-mazhab itu memiliki dua pendekatan yang bertolak-belakang: mereka yang memahami teks-teks suci dengan pendekatan tekstual—atau lebih condong untuk berpegang pada bunyi teks—dan mereka yang lebih cenderung memahami teks dengan mempertimbangkan konteks dari teks-teks suci tersebut. Akar sejarah kedua kelompok ini bisa dilacak jauh ke belakang hingga masa Nabi Muhammad Saw. masih hidup.

Sewaktu belajar mata kuliah Hadis Ahkam, Ujang menyimak penjelasan dosen tentang perbedaan pendapat di kalangan sahabat Nabi. Ada sebuah riwayat yang menceritakan peristiwa berikut: Ketika sekelompok sahabat tersesat dan tidak mengetahui arah kiblat, sebagian di antara mereka tetap shalat menghadap ke arah yang mereka duga sebagai kiblat—dengan risiko dugaan tersebut keliru. Sementara sebagian lagi menunggu sampai mereka kembali ke jalur perjalanan yang tepat, dengan risiko waktu shalat akan habis, baru kemudian shalat. Ketika mereka kembali ke Madinah dan menceritakan peristiwa tersebut, Nabi yang mulia konon membenarkan kedua “ijtihad” tersebut.

Ketika sekelompok sahabat menuju perkampungan Bani Quraizhah, Nabi Saw. berpesan agar para sahabat melaksanakan shalat ashar di perkampungan yang dituju tersebut. Rupa-rupanya perjalanan mereka berjalan lambat. Hingga menjelang waktu ashar habis, mereka belum tiba di tujuan.

Sebagian sahabat memahami perintah Nabi itu terlontar agar mereka bergegas dan bisa sampai tujuan sebelum maghrib. Tapi, sebagian lain tidak memahaminya demikian. Meski belum sampai di kampung, ada yang memutuskan untuk shalat ashar di perjalanan. Mereka merasa tidak melanggar perintah Nabi. Sebagian lagi memahami perintah Nabi secara harfiah, sehingga mereka tetap menjalankan shalat ashar di kampung tersebut meski ketika mereka tiba waktu ashar telah habis. Ketika mereka kembali ke Madinah dan melaporkan peristiwa tersebut, Nabi yang mulia membenarkan kedua kelompok tersebut.

Profesor Huzaemah pernah pula menjelaskan kepada Ujang mengenai Khalifah Umar bin Khaththab yang melarang haji tamattu’, melarang menganggap sekali sebut talak tiga sebagai jatuhnya talak tiga, tidak memotong tangan pencuri di saat paceklik, dan meng-had peminum khamr dua kali lebih banyak dari yang dilakukan Nabi. Menurut Profesor Huzaemah, dalam khazanah Târîkh Tasyrî‘, kita juga mengenal Imam Ali bin Abi Thalib yang terkenal sangat ‘‘kaku” dan ‘‘apa adanya” dalam memahami nas. Ada ulama yang melihat bahwa posisi Umar sebagai khalifah dan, saat itu, posisi Ali sebagai hakim membuat mereka “terpaksa” menjalankan ijtihad yang berbeda. Khalifah bergerak dalam fiqih siyâsah yang lentur dan fleksibel, sedangkan hakim bergerak dalam wilayatul qadha yang kaku dan rigid sebagai penjaga gawang keadilan.

Ijtihad Umar (dan Abdullah bin Mas‘ud) mendapat sambutan di wilayah Kufah (sekarang masuk wilayah Irak). Posisi Kufah yang jauh dari Madinah memaksa mereka untuk melakukan ijtihad secara lebih luas. Di samping itu, Kufah adalah kota metropolitan yang karakternya berbeda dengan Madinah. Di Kufah inilah lahir Imam Abu Hanifah. Beliau sangat terkenal dengan kecenderungannya menggunakan ra’yu atau akal pikiran, atau ijtihad. Imam Abu Hanifah memiliki murid-murid seperti Abu Yusuf dan Muhammad. Dalam kitab Târîkh Tasyrî‘, ulama Kufah sering disebut dengan ahlur-ra’yi.

Sementara itu, di Madinah kita mengenal Imam Malik yang melahirkan kitab Al-Muwatha. Problem yang dihadapi Imam Malik tidak jauh berbeda dengan problem yang dihadapi pada masa-masa sebelumnya. Di samping itu, para sahabat di Madinah juga meninggalkan “warisan” serta “khazanah” yang luar biasa untuk menjawab persoalan-persoalan itu. Hal ini “memaksa” Imam Malik untuk cenderung berpegang pada teks secara lebih ketat ketimbang para ulama di Kufah. Para penyusun kitab Târîkh Tasyrî‘ menggolongkan kelompok ini sebagai ahlul hadîts.

Ahlur-ra’yi tidak berarti sama sekali meninggalkan hadis, sebagaimana ahlul hadîts tidak berarti melupakan peranan akal. Tingkat atau rasio penggunaan antara teks dan ijtihad itulah yang membedakan mereka. Ahlur-ra’yi cenderung memahami teks dengan melihat substansi, semangat, ruh, jiwa, atau konteks sebuah teks suci. Mereka tidak segan mengambil makna tersirat dan meninggalkan makna tersurat, tanpa merasa telah meninggalkan ketentuan Allah dan Rasul-Nya. Mereka merasa problem Kufah berbeda dengan problem di Madinah. Andaikata Nabi masih hidup dan tinggal di Kufah, mereka yakin Nabi akan membenarkan mereka. Imam Abu Hanifah melahirkan konsep qiyas dan istihsan sebagai pilihan cara menjawab persoalan yang baru muncul.

Ahlul hadîts merasa makna tersurat sebuah nas sudah berhasil menjawab persoalan-persoalan yang mereka hadapi. Jadi, untuk apa meninggalkan bunyi nas dan repot-repot mencari makna di balik teks? Untuk persoalan tertentu yang telah berkembang sedemikian rupa, dan bunyi nas tidak lagi cukup memberikan jawaban, barulah mereka menggunakan konsep qiyas, fatwa sahabat Nabi, mashâlih mursalah, ‘urf (adat), dan lainnya.

Lihat selengkapnya