Jamila Wulandari, atau yang biasa tercetak di buku karangannya Jamila W. adalah seorang gadis berumur dua puluh lima tahun, yang tidak serupa dengan gadis biasa yang ada di kotanya. Predikat penulis terpopuler di Indonesia, tentu adalah standar tinggi yang membatasi setiap orang untuk dapat menyaingi. Kebiasaan menutup diri mungkin adalah salah satu hal yang bisa membuat dirinya mulai terlihat sama dengan beberapa orang lain. Atau mungkin juga gejala psikosomatik yang secara rahasia ia miliki.
Setidaknya, ada tujuh orang gadis muda yang pernah Jamila jumpai di ruang tunggu dr. Ratna Sp.Kj, selama masa-masa ia rutin berobat beberapa tahun lalu. Tujuh orang gadis yang mungkin pada awalnya juga bertanya-tanya seperti Jamila; mengapa ia ke tempat orang gila? Padahal seorang manusia gila tentunya tak dapat mengurus administrasi riweh yang harus dilewati sebelum bisa memasuki ruang konsultasi.
Dokternya tak benar-benar menyiratkan gila pada Jamila waktu itu –entah memang begitu, atau sekedar standar etika dokter kejiwaan, yang tidak boleh menggunakan kata itu dihadapan orang gila sesungguhnya− dia hanya bilang, ada zat kimia di otaknya yang tak seimbang. Wow. Heran, apa hubungan semua sakit ini dengan otaknya? Bagaimana bisa sakit di tangan disebabkan oleh isi kepalanya? Jika bukan karena rujukan dokter penyakit dalam, mungkin Jamila tak akan pernah menginjakkan kaki di sana.
“Kamu punya usaha untuk menjadi lebih baik... Ada keinginan untuk sembuh.” dr. Ratna menyemangati Jamila untuk terus rutin melakukan kontrol dengannya “Obat memang akan menyembuhkan fisik, bagian tertentu tubuh kamu, tapi masalah sebenarnya berada di pikiran kamu sendiri.”
Sebenarnya, pada pertemuan pertama Jamila tak siap. Walau tak bisa dipungkiri, ia begitu butuh seseorang untuk tahu jika ia sedang tak baik-baik saja. Ketika dr. Ratna mulai menatap matanya dengan sorot yang kelewat peduli dan ramah, Jamila seperti menyerakkan seember air panas yang berisi kecemasan dan rasa sakitnya. Untung saja dokternya tidak sesak napas menghadapi ceritanya. Dokter baik itu meresepkan obat anticemas dan antidepresan, yang Jamila tebus di apotek di bagian depan polikliniknya yang ramai. Sempat gugup dan berdebar-debar kembali di tengah keramaian antrian obat, namun malamnya Jamila begitu mensyukuri petualangannya itu. Ia akhirnya bisa tertidur setelah berminggu-minggu. Benar-benar berminggu-minggu. Saat-saat yang melalahkan dan membuat frustasi, apalagi tangannya yang sering kram menambah sempurna penderitaannya.
“Aku nggak tahu, tangan yang kiri ini sering tiba-tiba kram. Udah aku coba senam yoga, gerakan apa aja, tetap nggak mempan,” jelasku pada dokter waktu itu.
Empat minggu setelah mengonsumsi obat-obat psikotropika tersebut, Jamila merasa hidupnya mulai berubah drastis. Ia menjadi pribadi yang optimis dan bersemangat. Banyak perubahan positif di dalam dirinya, di samping sisi negatif juga ikut menghantui. Jamila kesulitan lepas dari obat yang diberikan dokter. Bahkan tak bisa tidur tanpa menenggak alprazolam. Sebagian dirinya takut ketergantungannya akan membawa masalah lain di tubuhnya. Sebagian lain, benar-benar tak ingin berpisah dari butiran-butiran penyelamatnya itu. Hingga akhirnya atas saran tante Desi, Jamila memutuskan untuk pindah dari apartemennya ke sebuah rumah di tepi sungai yang jauh dari pusat kota. Disanalah ia berhasil lepas dari jerat obat-obatan. Berkebun menjadi terapi alaminya, dan ia tidak pernah memeriksakan dirinya lagi hingga kini.
“Kamu benar-benar udah sehat. Tenang aja, tante akan tetap jaga Hari. Kamu bisa tenang menulis di sini,” ujar Tante Desi seraya mengusap lengan Jamila. Jamila sangat berterima kasih atas bantuan Tante Desi yang sudah mau merawat Hari selama ia mengalami depresi berat. Sejak ia berhasil dalam pekerjaannya sebagai penulis, Jamila langsung membawa Hari tinggal bersamanya di apartemen yang ia beli. Tak sampai dua tahun, karena Jamila sibuk dengan seminar dan kegiatan yang berhubungan dengan pekerjaannya. Hari yang didiagnosa mengidap DID (Dissociative Identity Disorder) tak bisa ditinggalkan sendiri, sehingga ia selalu titipkan pada keluarga Tante Desi. Saat Jamila memasuki masa-masa depresi itulah ia benar-benar membayar Tante Desi untuk merawat adiknya.
Novelnya yang kelima dan enam selesai hanya dalam waktu satu tahun, setelah ia sembuh dari psikosomatik-nya di umur dua puluh empat tahun. Di rampungkan begitu cepat dengan disaksikan rumah baru kecil bertingkat dua ini. Tawaran wawancara eksklusif banyak berdatangan ke rumahnya saat itu, setelah kabar kedua novel misterinya menjadi novel terlaris di Indonesia, ditambah dengan adanya kesepakatan dengan penerbit asing yang akan memasarkannya di beberapa negara asia, dan eropa.
Dan tak bisa dihindari, kabar dirinya yang mengalami depresi pasca putus dari Deri juga ikut tersikut saat pertanyaan demi pertanyaan dilontarkan. Membuat Jamila ingin dirinya tersedot ke dalam lubang penyedot debu, yang tergeletak tak aesthetic di dekat buffet kecil seharga lima belas juta, karena ia lupa mengembalikannya ke gudang.