Ia berhasil membuat dirinya berubah menjadi zombie lagi. Malas makan, sulit tidur, dan masih tidak produktif menulis. Pada hari biasa, sebelum masalah novel ketujuh muncul, biasanya Jamila bisa menulis minimal dua ribu kata perhari, dengan tema yang bermacam-macam. Tidak hanya novel, namun bisa hanya berupa pendeskripsian bertele-tele dari sebuah objek yang sering ia gunakan di novelnya.
Salah satu contohnya, tulisan terakhirnya mengenai ‘Petani’ –tiba-tiba saja ia ingin menulis tentang itu, saat melihat seorang pria yang memikul cangkul melintas di depan rumahnya−. Jamila menjelaskan kebiasaan petani di pagi hari, kapan saatnya ia mulai menumbuhkan benih, kapan ia menanamnya, apa nama pupuknya, kapan padi itu berubah warna, dan segala macam yang ia kumpulkan dari buku dan internet, kemudian disatukan dalam satu artikel karangannya. Jamila benar-benar mencintai pekerjaannya. Namun semua itu merapuh dalam serangan ketidak percayaan dirinya saat ini. Hidup Jamila seperti sedang di tahap koma.
Sirene ambulan membuat Jamila keluar dari kamar. Sudah sejak tadi ia merasa orang-orang lalu lalang di depan rumahnya.
Ia turun ke bawah, dan keluar. Dingin di siang hari adalah hal yang lumrah di tepi perbatasan kota ini. Angin berembus beku menerpa wajahnya. Jamila melipat tangan, dan mendekat ke pagar rumah agar dapat melihat arah yang dituju orang-orang, yakni jembatan Melati, alias si jembatan angker. Dua orang ibu-ibu berdaster, yang sepertinya kulitnya sudah kebal suhu rendah, menghampiri Jamila.
Jamila tak ingin terlibat percakapan, tapi mau tak mau ia penasaran juga untuk bertanya. Memberanikan diri, ia tersenyum kaku saat mereka semakin dekat.
“Kenapa sih bu? Kok ada mobil ambulan sama mobil polisi?” tanya Jamila pada bu Leni, wanita berumur awal lima puluhan, yang paling senang bercerita mengenai anaknya yang bersekolah di Jepang. Perekonomiannya cukup baik jika dibandingkan penduduk di desa ini, namun untuk menyekolahkan ke luar negeri, tentu itu hanya kemustahilan jika anaknya tak dapat beasiswa.
“Ada mayat di sungai, kamu nggak tahu? Udah dari tadi lho itu...” matanya membelalak, seakan kecewa dengan apa yang didapatnya.. Jamila yang merupakan rumah satu-satunya di tepi sungai, seharusnya adalah tambang informasi terbaik. Dan mungkin saja dia yang awalnya ingin bertanya pada Jamila.
“Deket juga rumahnya, masa nggak tahu?” timpal bu Midah, konco erat bu Leni. Biasanya menjadi pendengar yang baik karena tak secerewet temannya. Tipe teman setia yang mau mengerjakan apa saja.
“Si Andi yang lihat, waktu lagi cari rumput buat makan kelinci,” tambah bu Leni, tanpa diminta. “Katanya sih laki-laki, tadi anakku langsung ke sana. Ya Allah Milaa... merinding denger dia cerita, mukanya udah nggak ada, badannya luka-luka... (gerakan tangan bu Leni seperti orang kerasukan) kayak ditusuk-tusuk sama jarum. Orang gila kali yang ngelakuin begituan. Eh, kamu kan suka mecahin misteri di ceritamu, coba deh kamu lihat ke sana, mana tahu bisa.”
Jamila hanya melongo mendengarnya. Ia adalah pencerita, bukan detektif.