Terbangun dari mimpi yang gelap. Jamila membuka-tutup kelopak matanya. Terdengar lagi suara ketukan di pintu. Sedikit siluet di lantai, yang memantul di celah bawah pintu, bergerak-gerak. Jamila duduk, memperbaiki kerudungnya, merasakan perutnya yang sakit, dan badannya yang merintih lemah.
“Tunggu sebentaar!” Ia terbatuk.
Jamila berdiri susah payah. Membuka pintu dengan kunci yang bergemerincing saat ia memutar lubangnya. Mendapati dua orang pria menatap balik ke arahnya yang pasti terlihat sangat kacau. Celana training-nya sudah seminggu tidak diganti. Sweaternya robek di dekat perut, karena tersangkut di kursi tadi. Dan ia tak yakin kerudungnya berada pada posisi simetris di kepalanya.
Mereka mengaku adalah polisi.
“Kami ingin bertanya beberapa hal, boleh kami masuk?” tanya polisi itu sopan.
Membuat Jamila tiba-tiba saja malu. Karena ia suka menuliskan karakter polisi yang keras, kasar dan serampangan di novelnya. Apa mereka baca novelnya? pikirnya.
“Bo-boleh,” gagap Jamila, sambil menggaruk kepala yang tidak gatal. “Tapi ada apa ya pak?”
Mengarahkan dua tamunya untuk duduk di sofa, Jamila tepat di depan mereka, dipisahkan meja kaca. Sebuah lukisan di dinding di belakang kepala Jamila, yang menampilkan wajah buram yang warnanya tidak dipulas rata, menarik pandangan kedua polisi itu sejenak, sebelum ia kembali melihat wajah Jamila yang mungkin tak jauh berbeda. Jamila tidak yakin, apakah ia harus menawarkan secangkir minuman untuk kedua pria itu, sesaat kemudian ia surut melakukannya, karena ia tak suka memasak minuman panas. Lagi pula, dari raut wajah mereka, tak terlihat keinginan untuk mengobrol dengan santai dengannya.
Polisi itu mengutarakan niatnya. Mereka sedang mencari informasi terkait mayat yang ditemukan di dekat rumah Jamila. Karena, hanya rumah Jamila yang paling dekat dengan sungai. Andaikan mereka tahu, jika hal ini terjadi hanya karena mitos yang tak pernah terbukti mengenai keangkeran jembatan Melati. Seharusnya mayat Jamila yang lebih dulu ditemukan, jika memang kabar itu adalah suatu kenyataan.
Panjang lebar mereka menjelaskan situasi terkini, hingga mereka sampai pada CCTV di depan rumah Jamila!!
“Itu CCTV di luar?” tanya yang paling muda, yang memiliki tubuh lebih ideal dari rekannya.
“Jangkauannya sampai mana? Bisa kami lihat?” tanya pria lebih tua, yang memiliki tahi lalat hampir di tengah jidatnya. Jamila membayangkan karakter yang ia bisa kembangkan dari kedua polisi ini di novel terbarunya. Ah, andai saja ia mau menulis lagi.
“Ya.” Jamila mengangguk. Mengambil laptopnya di kamar. Ia memperlihatkan bentuk rekaman dari kamera CCTV pintu depannya. Tak sampai ke ujung jalan, hanya sedikit saja tampak dari balik jejeran pohon jambu pendek di dekat pagar, yang mengarah ke jembatan.
“Tadi malam, Jamila ada dimana? Ada orang tua di rumah?” tanya polisi yang lebih tua.
Jamila menggeleng. “Saya sendirian di sini. Saya bekerja... maksudnya, saya penulis.”
“Jamila W. yang penulis misteri itu kan?” ujar polisi muda.
Jamila mengangguk. Merasa aneh, seakan ia mengakui suatu hal yang buruk.
Jamila mengambil kartu memori CCTV-nya. Mencari apa yang kedua polisi itu inginkan, rekaman tadi malam. Mencoba menenangkan batin, karena kedua polisi itu seperti sedang mengintimidasi dengan duduk di kedua sisinya. Jamila merapatkan kedua lengannya, seakan hal itu ada gunanya.