Jamila menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut, walau matanya tak mengantuk sedikit pun setelah tidur dua jam. Ingatannya berhenti di wajah Deri. Tiba-tiba ia mengingat permintaan pria itu untuk kembali bersamanya, menyesakkan dan juga menjengkelkan. Tak hanya sekali hal itu terjadi, dan andai saja ia bisa mengatakan sebaliknya. Suatu hal yang tak mungkin Jamila terima, setelah apa yang ibu pria itu katakan tentangnya.
Bayangan sosok pria berjaket dan topi hitam yang mungkin berada di gazebonya, telah menempel di kepalanya. Jamila yakin, pria itu sudah lama berada di luar rumahnya, bahkan sebelum pelemparan kerikil itu. Tanpa Jamila sadari sama sekali, orang itu mengendap-endap di malam yang sunyi, saat Jamila bergumul dengan depresinya. Apa dia mengintip? Jamila menurunkan selimut, melirik tepian tirai jendela kamarnya yang diselotip ke dinding. Ia tak mau ada celah sedikit pun dari luar, yang dapat membuat mata-mata tak dikenali mengawasi.
Kenapa aku tak pernah menyadarinya?
Ia seperti berada di scene novel thriller. Dimana saat ini ia seharusnya menelaah posisi masing-masing orang satu persatu.
Dan jika ia harus memulainya dari Deri, keraguan ini akan langsung terjawab, andai saja ia bisa kembali ke malam itu. Jamila bisa memastikan apakah pria yang membungkus wajahnya dengan kain itu, menelpon seseorang saat sedang berada di dekat rumahnya atau tidak. Jika tidak, dia pastilah bukan Deri. Lagi pula, walaupun Deri memang terkadang dapat meledak-ledak, akan tetapi tak sampai menyakiti. Dan setega-teganya pikiran liar Jamila, ia hanya bisa memikirkan pria itu tak sengaja membunuh seseorang (Jamila bangkit dari kasurnya).
Tapi... tetap saja, seseorang mungkin ingin membuat mata tertuju kepada Jamila. Wajah mayat yang menghilang itu hampir sesuai dengan novel keempatnya, ‘7 Days’. Seseorang menirukannya. Masyarakat yang setia membaca karya Jamila pasti tahu itu.
Atau... ini pikiran terburuk, Jamila yang melakukannya dan ia lupa. Anak pembunuh, mengikuti jejak ayahnya. Kurang lebih seperti itu kesimpulan yang Jamila dapat dari kabar yang disampaikan Marissa padanya. Seharusnya Jamila bisa menuntut mereka atas pencemaran nama baik, namun ia tak sanggup membayangkan dirinya mondar-mandir di pengadilan dengan pandangan seluruh Indonesia tertuju padanya.
Pria bertopeng itu, dan tangan penuh lebam di sungai, berhasil menjadi hantu dalam kepala Jamila. Membuat bulu kuduk berdiri, setiap kali ingatan itu begitu kuat menyapu seluruh isi pikiran Jamila yang lain. Baru kali ini ia berusaha begitu keras untuk tidur... sayang keinginannya tak terjadi dengan lancar. Seekor nyamuk berdengung di dekat telinganya, membuat Jamila mendorong selimut begitu kuat, hingga jatuh ke lantai. Terduduk dalam suasana hati yang tak membaik, Jamila sedikit kesal saat menatap botol obat-obatan yang tak sengaja ia temukan di laci dapur. Kosong, karena memang seharusnya begitu. Dia tidak bersemangat untuk menemui dokter di saat ia dalam keadaan menyedihkan seperti ini. Jamila memukul botol-botol itu, hingga terpelanting ke lantai.
*****
Marissa, editor dari salah satu penerbit yang menerbitkan buku Jamila menghubunginya, padahal ia sudah meminta agar tak dihubungi sampai akhir bulan, dengan alasan istirahat penuh. Marissa menanyakan kabarnya yang dijawab Jamila dengan jujur ‘ia masih tak bersemangat’ menulis. Kemudian Marissa menceritakan bahwa akun fanbase karya Jamila, mem-posting sesuatu yang membuat heboh media mainstream.
Tak mengagetkan Jamila seharusnya, namun ia tetap merasakan sisa-sisa kekuatan terakhirnya menguap hampir habis, saat mendengarnya benar-benar terjadi.
Karya Jamila dituduh berkaitan dengan pembunuhan yang terjadi di tepi sungai di dekat rumahnya, dengan bahasa yang lebih kentara disebut di akun berita media sosial yang frontal; ‘HUBUNGAN ANTARA JAMILA DENGAN MAYAT PRIA DI DEKAT SUNGAI RUMAHNYA’, ‘MAYAT BEKAS HASIL EKSPERIMEN PENULIS MISTERI?’. Marissa menjelaskan ciri-ciri mayat yang ditemukan persis seperti korban Max (tokoh fiksi psikopat) di novel ‘7 Days’. Ia disiksa dengan menusuk-nusuk sekujur tubuhnya dengan besi panjang berdimater kecil, hingga akhirnya korbannya mati karena cedera di batang leher. Wajahnya juga disayat-sayat hingga tak berbentuk. Kemudian mayatnya diletakkan di bawah jembatan. Di dalam novel Jamila juga menceritakan, jika mayat diambil matanya sebagai kenang-kenangan si psikopat yang matanya buta sebelah
Jamila bertanya perlahan. “Mata mayatnya juga hilang?”
“Untungnya enggak Mil,” jawab Marissa dengan nada aneh. “Ya ampun, kamu nggak apa-apa kan Mil? Tenangin diri kamu. Ini nggak ada hubungan dengan kamu. Sekali pun pembunuhnya terinpirasi dari novel kamu, itu tetap bukan salah kamu. Kami akan bantu kamu. Pokoknya, kamu jangan pikir yang aneh-aneh. Oke?”
Jamila membalas ‘Oke’, meski setelahnya dia tak yakin dengan apa yang diucapkannya.