KIDAL

Ade Agustia Putri
Chapter #8

Part. 7 (Orang-orang Mulai Bosan)

Orang-orang mulai bosan berfoto-foto di tepi sungai. Mereka mulai memfokuskan bidikan ke rumah Jamila yang sedang diberitakan besar-besaran di media. Wartawan kelewat kepo bahkan mampu menunggu Jamila berhari-hari di depan pagar rumahnya. Mereka mungkin sudah mencoba menghubungi Jamila, tapi Jamila yakin smartphone-nya sudah kehabisan batrai sekarang, dan beralih fungsi menjadi tempat pijakan tikus di bawah meja.

“Mereka kayak kesurupan berjamaah, waktu Om buka pagar kamu,” ujar pria itu sambil duduk di dekat tv. “Liat nih, ada yang nyakar juga, nggak sengaja kayaknya sih, soalnya mereka dorong-dorong, kayak pembagian sembako aja.”

Jamila duduk di seberang Om Anwar, tak tertarik dengan informasi itu. Dari tatapannya yang lain saja, Jamila paham tujuannya ke sini.

“Kamu nggak lihat berita?”

Jamila menggeleng. Kepalanya masih pening, padahal ia sudah berusaha makan sereal tadi pagi. Segala sesuatu terasa buruk sekali hari ini. Bahkan memasang celana pun begitu sulit tadi pagi.

“Dimulut mayatnya ada kertas,” ujar Om Anwar dengan suara sedikit bergetar.

“Disumbat kertas atau...” sontak Jamila duduk tegak, melawan tubuhnya yang lemah. Teringat dengan novel ‘7 Days’-nya, tokoh psikopat bernama Max tidak tahu korbannya memakan kertas yang berisi namanya, yang menjadi salah satu petunjuk penyelesaian kasus di karya ketiga itu. “Dia makan kertasnya?”

“Masalahnya bukan itu, itu cover buku ‘7 Days’. Kalau berita di tv bilang, itu petunjuk...” Om Anwar tak melanjutkan kata-katanya.

Jamila tak sanggup lagi. Ia akan menemui dr. Ratna. Ia harus membuat dirinya membaik, tertidur nyenyak, dan melihat sendiri kebenaran yang terjadi di malam itu.

“Hari kangen kamu katanya. Kalau kamu udah tenang, datang ke rumah ya,” tambah Om Anwar.

*****

Kabar panas itu tak tertanggungkan lagi di jiwa Jamila. Ia segera menghubungi dr. Ratna dan bertemu di kliniknya.

“Saya lihat beritanya...” ujar dr. Ratna prihatin. Seakan tanpa kata-kata jabaran dari Jamila, ia sudah tahu bagaimana hancur leburnya jiwa Jamila saat ini.

Dan tentu saja, Jamila menangis lagi. Menangis adalah langganannya di kala depresi. Apalagi jika ia harus menceritakan, bagaimana orang-orang meremehkan karyanya, menuduh dirinya terlibat pembunuhan, ditambah seseorang yang menandatangi rumahnya di malam hari. Memang tak semua hal ia ceritakan, tapi ceritanya sudah cukup kompleks untuk menjadi masalah yang harus ditanggung oleh seorang manusia.

“Sebaiknya kamu tinggal dengan tante kamu. Atau ajak seseorang tinggal di rumah...” saran dr. Ratna, yang keduanya dianggukkan oleh Jamila dengan ragu. Tak terbayangkan oleh Jamila mengajak orang lain tinggal di rumah. Melihat segala sisi hidupnya sekarang yang bahkan jarang diperlihatkan ke Tante Desi. Tinggal dengan Tante pun terdengar tak mengenakkan.

Hatinya hanya sedikit lapang, setelah berkeluh kesah. Dokter itu meyakinkan Jamila, bahwa ia tak bisa memikirkan begitu banyak hal dalam satu waktu. Tak ada orang yang mampu melakukannya. Jamila juga tak bisa menyalahkan dirinya atas tragedi yang berkaitan dengan novelnya itu. Dan hal-hal lain yang memang seharusnya dokter itu katakan pada pasien setengah ‘sinting’-nya.

Ia kembali diresepkan obat antidepresan dan anticemas. Yang langsung ia tenggak sehabis memaksakan diri mendorong sebundaran roti yang rasanya seperti karpet.

Di rumah, Jamila tertidur meski jam baru menunjukkan pukul lima sore. Ia juga melewatkan sholat magrib dan isya, yang ia sesali paginya.

Lihat selengkapnya