Membersihkan rumput di ladang kecilnya, yang awalnya seperti hutan belantara, sekarang sudah terlihat tanah segar di permukaannya. Seharian itu habis hanya untuk mencabutinya. Tangan Jamila sampai lecet dan berdarah, namun ia tak berhenti, tekadnya sudah kuat untuk dapat menjalani kehidupannya yang biasa lagi. Nafsu makan Jamila sedikit meningkat, ia menghabiskan semangkuk nasi goreng –yang ia buat dengan bahan ala kadarnya−, semangkuk potongan semangka dari hasil kebun, segelas besar jus jeruk, dan sebatang cokelat.
Ia masih belum bisa menulis. Sehingga, ia menghabiskan waktu dengan beristirahat di sofa di ruang tamu, membaca beberapa buku. Saat waktu tidur telah tiba, Jamila dengan bersemangat merebahkan tubuh yang lelah di atas kasurnya, yang sepreinya baru diganti setelah sekian lama bermotif bintang jatuh yang kusam. Langit-langit rumah terlihat kelabu dan berawan tipis, kelopak mata Jamila terasa berat... Ia mengingat saat ia menelpon Deri, malam itu. ‘Deri menelpon’...
Kelopak mata Jamila tertarik ke bawah, menutup pupilnya yang hitam. Jamila merasakan tarikan yang kuat di bahunya. Seperti sebuah jelly yang dipaksa keluar dari bungkusannya, tubuhnya memanjang di sebuah lubang keperakan yang penuh dengan awan gelap. Angin begitu kencang saat ia meluncur dengan cepat mengikuti alur dari arah lubang itu.
Pop. Jamila jatuh dengan ringan, dalam posisi tertelungkup di atas... (pipi Jamila merasakan karpet berbulu sintetis) lantai dua di ruang kerjanya. Ia mengangkat wajah lebih tinggi. Tiba-tiba tubuhnya tertarik ke samping, saat kaki Jamila dua minggu lalu hampir menendang kepalanya. Jamila bangkit dari posisinya, dengan perasaan aneh yang sudah biasa ia rasakan saat ke masa lalu: tubuhnya enteng seperti hantu.
“Aku tahu... tapi aku nggak sanggup. Aku malu.” Jamila dua minggu lalu menyeka wajahnya. “Aku rasanya pingin berhenti nulis...”
“Kamu itu hebat Jamila, ini hanya satu kegagalan, dan masih banyak kesempatan kamu memperbaikinya di masa depan.” Suara Deri terdengar samar dari ponsel nokia Jamila, karena ditimpali suara hujan dari luar. “Kamu percaya aku kan?”
Jamila dua minggu lalu, yang memakai celana training lusuh dan sweater yang esok akan robek, mengangguk pelan, yang tentu saja Deri tak akan lihat.
“Kamu tahu nggak, pada akhirnya jika memang berjodoh pasti akan bersatu...” ujar Deri.
Entah mengapa, Jamila bersyukur dirinya tak merespon waktu itu.
“.... Mungkin dia singgah pada yang lain dahulu, tapi pada akhirnya ia akan kembali pada yang terbaik. Aku harap... takdir memberikan yang terbaik untuk kita.”
Air mata jatuh di pelupuk mata Jamila dua minggu lalu. Jamila saat ini, tak sanggup melihatnya, baru sekarang terasa sesal mengapa ia menerima panggilan pria itu selarut ini.
Jamila meninggalkan mereka yang akan saling mengucapkan kata-kata memuakkan. Begitu benci dengan dirinya sendiri. Ia berjanji tidak akan melakukannya lagi. Seharusnya ia tak pernah mau. Tak pernah ada hubungan ‘spesial’ di antara mereka lagi, namun tetap saja, semua terjadi begitu saja. Bagaimana perasaan pacar Deri yang tahu hal itu dari media? ‘Jamila memiliki alibi sedang menelpon Deri saat pembunuhan terjadi’, masih untung pacar Deri tidak teriak-teriak di depan media.
Jamila berkonsentrasi penuh. Memundurkan tubuhnya sedikit, kemudian berlari menerjang ke dinding depan. Pop. Ia terjatuh di serambi depan yang remang-remang. Menatap sekitar saat bangkit dengan hati-hati, tengkuknya terasa membeku di dalam kerudungnya. Jamila berjengit melihat siluet sebuah motor terparkir di bawah hujan sana. Tangan kanannya mengusap lengan kiri yang terasa tak nyaman lagi. Gelap. Hujan. Dan ada seorang pembunuh, entah dimana. Jamila menarik napas panjang saat kakinya mencapai anak tangga. Ia mundur.