Pria itu memanjat pagarnya, dan turun dengan mudah. Hujan tak juga reda, Jamila di atas sana pasti tak menyadarinya.
Tak berusaha untuk menembus pagar, Jamila hanya terdiam di tempatnya, saat melihat pria itu berdiri di depan rumahnya.
Angin semakin kencang. Air hujan jatuh menyerong dengan cepat. Tampak Jamila dua minggu yang lalu sadar tirainya terbuka langsung menariknya menutup, tak sadar seorang pria menatapnya dari bawah sini.
Jamila mendekat dengan kaki seperti ditahan gravitasi, melewati pagar, dan berjalan dalam terpaan cuaca malam yang tak dapat menyentuh kulitnya. Terduduk di tangga kayu, was was, menantikan apa yang akan pria itu lakukan. Jamila yakin, Jamila yang di atas sana sedang berkutat dengan kegalauannya pada Deri.
Pria itu memiringkan kepala, kemudian kembali terdiam. Tak ada yang terjadi setelahnya.
Jamila kembali terbangun di kamarnya. Ia yakin tak berminat tidur lagi.
*****
Marissa bertopang dagu di depan nasi padang yang ia beli sebelum ke sini. Menunggu Jamila mencuci tangan, ia sibuk mengoceh mengenai bagaimana orang mulai khawatir dengan keadaan Jamila. Di video klarifikasi itu, pro dan kontra saling beradu layaknya perang dunia ketiga. Berbagai hipotesa berkembang biak tak terkendali.
“Jangan khawatir, polisi udah bilang kan, kalau kamu nggak mungkin ngelakuin hal itu. Mari kita lupain, dan ayo makan.”
Duduk di samping Marissa yang menyuap sepotong dendeng dan nasi belepotan gulai., Jamila ikut mencuil-cuil hanya agar terlihat bernapsu.
“Makan! Bukan icip buk!” salaknya. “Biar kamu tidur nanti malam, kita tambah joging nanti sore, biar tambah capek tuh badan, tepar deh di kasur. OKAY?”
Jamila mengangguk, sambil berusaha membuat Marissa kesal dengan menyuap nasi dengan kepalan begitu besar.
“Aish... Yang bener ah!” serunya.