Tepat empat bulan kasus penemuan mayat itu belum terpecahkan. Orang-orang mulai meredam kecurigaan, walau jejak digital tak akan pernah menghilang. Kondisi Jamila tak dapat dikatakan memburuk, ia tetap kalut seperti biasa namun lebih dapat ia kontrol, di samping ia konsisten berobat ke dokter Ratna. Wartawan pun tak mengusik rumahnya lagi. Sunyi, tempat ini kembali sedia kala saat pertama kali ia mengenalnya. Hanya saja, rumor keangkeran jembatan dan sungai Melati semakin menjadi-jadi. Sore hari saja, sudah tak ada lagi yang mau melintas ke desa sebelah melewati jalanan ini.
Tapi tidak hari ini. Ada seseorang yang berjalan perlahan di depan pagar rumah Jamila. Lamat memperhatikan langkahnya yang bergantian di bebatuan sungai yang ditebar di sepanjang jalan. Matahari hampir tak nampak di awan yang mulai bercorak jingga, sehingga perawakan pria itu tak jelas di mata minus Jamila.
Jamila menurunkan sekop yang ia gunakan untuk membongkar ubi jalar. Pria itu menoleh dan bersitatap dengannya.
“Jamila,” ujar pria itu, seraya melepas topinya.
Jamila mendekat, menyadari pria itu adalah polisi muda yang waktu itu. Tak lebih muda dari Jamila, namun sepertinya tak lewat dari empat puluh umurnya.
“Oh bapak waktu itu...”
“Nama saya Wisnu. Ga usah panggil Pak, ” ujarnya sambil mengulurkan tangan di celah pagar.
“Ah iya Pak, eh Kak,”
Wisnu terdiam menatap jauh ke jembatan di ujung sana. Jamila pun tak berusaha memecah kesunyiaan.
“Nggak ada lagi orang lewat sini ya?” ujarnya akhirnya.
“Orang-orang makin takut, katanya dobel angker,” terang Jamila sambil membuka kunci pagar. Sarung tangan dan sepatu botnya menjatuhkan bulir-bulir tanah ketika digerakkan.
“Kok kamu mau tinggal sendirian di sini?”
“Di sini tempat nulis paling enak, indah juga. Sebelum ada kejadian itu, kalau lagi buntu nulis saya pasti nenangin pikiran sambil lihat pemandangan di sungai. Sekarang... stres yang ada sayanya, kalau keingat itu lagi.”
Hening sejenak.
“Saya penasaran, bagaimana kamu melihat kejadian ini. Maksud saya, ada sesuatu nggak yang membuat kamu merasa aneh, atau mungkin merasakan kejanggalan. Yah, di dalam mulut mayatnya kan ada cover novel kamu, dan dia juga disiksa hampir sama dengan yang kamu tulis di buku kamu. Bedanya hanya beberapa. Kayak benda yang ia pakai untuk menusuk mayatnya, di tulisan kamu kalau nggak salah pakai kawat ya?”
“Kalau yang di sini emangnya apa p-kak?” hampir saja dia menyebut pak lagi.