Sebuah pohon dengan akar mengular, berada di tengah perjalanan mereka. Sinar senter Jamila terlihat lebih tajam di tempat ini. Jamila mendorong Wisnu sedikit membiarkannya maju. Berjongkok di dekat akar pohon tersebut, yang tanah di sekelilingnya lebih kering dari yang lain. Sebuah cetakan tertutup dedaunan berada di atasnya.
“Jejak apa ini...” bisik Wisnu. Ia membuka kamera ponsel Jamila, yang membuat keadaan menjadi sangat gelap –tanpa sadar Jamila mencengkram jaket Wisnu− saat lampunya mati, dan memotret penemuan tersebut.
Jamila berjalan dengan sedikit kesulitan di antara akar-akar karena botnya, ia menuju ke arah yang berbeda dari rute papan panjang di atas lumpur. Wisnu mengikuti dari belakang dan memperhatikan jalananan di depan sana, yang hanya terbantu akar pohon. Air sungai terdengar jelas, dan bahkan dari celah-celahnya dapat terlihat jika ada sebuah tempat lapang yang akan mereka temui.
Air sungai mengalir pelan di depan mereka. Luas sekali, mungkin sekitar tiga puluh meter ke seberang sana. Bot Jamila berhenti di tepian sungai yang tak nampak. Jamila yakin air sungai ini menjorok ke dalam hutan sedikit sehingga terbentuk teluk kecil ke dalam rawa-rawa, dan jika saja Jamila tak waspada dan berjalan ke dalam air sana, ia sudah pasti tercebur ke dalam air. Di bagian kiri di depan Jamila, sebuah batu besar yang tingginya dari atas permukaan air saja hampir setinggi Jamila, membuat air sungai yang mengalir berputar sedikit sebelum akhirnya lolos menuju jembatan Melati yang ada di Barat.
“Kalau Kak Wisnu nanya pendapat saya dimana motor itu sekarang. Saya yakin ada di dalam sini,” ujar Jamila sambil menunjuk kelabatan gelap di dalam air keruh yang begejolak.
Jamila menoleh, melihat kemana sinar ponsel pria itu mengarah. Sesuatu menggantung di atas kepala mereka. Kemudian ada yang terpental dan jatuh ke dalam air. Wisnu mengambil ranting, dan menyodok benda putih yang terapung itu.
“Belatung...” bisik Wisnu.
Jamila mengangkat wajahnya yang pucat seperti tepung.
“Jangan bilang itu wajah dia,” gumam Jamila parau.
“Bukan, ini bukan mayat yang kemaren, yang ini masih baru.”
“Masuk a−akal...”