.....
Mata Jamila terbuka. Ia bangkit, dan menatap jam yang menunjukkan pukul dua lewat beberapa menit. Ia turun dari kasurnya, dan berlari sepanjang tangga menuju lantai dasar. Tangannya gemetar membuka pintu depan. Di sana, di dalam keremangan cahaya lampu, sesosok tubuh berpakaian hitam sedang bergelung di atas keset. Jamila bertumpu pada kedua lututnya, menangis sambil menyentuh tubuh yang mulai bergerak itu. Kepala pria itu menoleh, membuat Jamila mundur, karena tak ada apapun di sana.
Jamila terbangun.
“Hari, kamu ngapain?” tanya Jamila kaget pada sosok pria jangkung yang duduk di satu-satunya kursi di kamar. Wajahnya menunduk menatap ke arah Jamila yang bangkit dari posisinya.
“Aku mau manik-manik aku,” rengeknya, dengan wajah manja ala Celine.
Jamila memandangi adiknya dengan tubuh lemas. Ia menyentuh telapak tangan Celine, dan mengusapnya. Melirik jam dinding yang menunjukkan pukul 06.20 pagi, kemudian tersenyum kaku pada Celine.
“Nanti, kalau semuanya udah reda. Nggak ada orang yang cariin kamu lagi, aku kembaliin. Oke?” ujar Jamila lembut.
“Tapi aku maunya sekarang...” Celine memainkan kukunya yang ujungnya hitam.
“Kamu kemana tadi?!” Jamila berdiri. Menarik tangan adiknya mendekat ke wajahnya. Mencoba menurunkan suaranya, ia bertanya kembali. “Kamu kemana tadi Celine? Kenapa kuku kamu kotor?”
“Aku nggak tahuuu...” cicitnya dengan wajah takut.
Jamila menyeka wajahnya. Kemudian menarik tangan Celine ke bawah lampu meja yang dinyalakannya. Membuka laci dan mengambil gunting kuku dari dalam sana. Memotong pendek kuku-kuku itu, sampai membuat Celine meringis kesakitan. “Siapa yang keluar tadi malam! Aku perlu kamu keluar sekarang juga!”
Celine menangis.
“Siapa ini?!” tanya Jamila sedikit ketus.
“Ribeiro,” ujar alter yang paling jarang Jamila temui itu.