Yura memiringkan salah satu sudut bibir ketika melihat Kido di ujung koridor. Kido berjalan menuju kelas IPS-F dengan dagu sedikit mendongak ke atas.
“Pagi, Kak Kido,” sapa tiga siswi cantik sambil memberikan senyuman termanis.
“Ada itik pakai bikini. Kalian cantik hari ini.” Kido mengedipkan sebelah mata sambil tersenyum.
Tiga siswi itu melompat kegirangan. Yura menghela napas bosan melihat pemandangan pagi yang selalu sama itu. Yura sangat ilfeel dengan sosok Kido, selebgram gaje yang dipuja banyak kaum hawa.
“Dasar bego! Mana ada itik pakai bikini,” Yura menggeleng-geleng.
Kido, cowok keturunan Jerman. Rambutnya ikal berantakan, hidungnya mancung menjulang, sedangkan rahangnya tampak keras. Dia kelas XI IPS-F, bersebelahan dengan kelas XI IPA-A.
Pak Wirawan selaku kepala sekolah, merancangnya seperti itu karena berharap kelas XI IPS-F dapat mencontoh kelakuan baik para siswa kelas XI IPA-A.
Nyatanya, keputusan Pak Wirawan salah di mata anak XI IPA-A. Mereka merasa terganggu dengan kegaduhan yang ditimbulkan kelas XI IPS-F. Mereka jadi kurang bisa berkonsentrasi dalam menerima pelajaran.
“Ya, ampuuun ... Kido ganteng banget, ya?” Hilda tiba-tiba menemani Yura duduk di teras depan kelas mereka.
“Ganteng, sih, iya. Tapi, kelakuannya bego parah,” Yura menyahut malas.
“Tapi, menurut gue, kelakuan begonya itu yang bikin dia tambah lucu.”
Yura menoleh ke samping, menatap heran Hilda. Ngeri mendengar pemikiran Hilda yang menurutnya tidak masuk akal.
Langkah kaki Kido terhenti. Pipinya berkedut jijik ketika melihat dua cewek cupu yang tengah membicarakannya. Siapa lagi kalau bukan Yura dan Hilda, anak kelas XI IPA-A, kelas yang penuh dengan bocah “kutuan”. Sampai-sampai, buku PR-nya pun berkutu. Itulah sebabnya, anak-anak kelas XI IPA-A dijuluki sebagai kutu buku.
Yura melengos, menghindari tatapan sinis Kido. Sementara, Hilda tersenyum sopan kepada Kido. Senyuman miring yang seolah meremehkan tibatiba tergambar jelas di wajah tampan Kido. Dia segera memasuki kelasnya, kelas XI IPS-F.
Kido mengedarkan pandangan ke sekeliling. Dahinya berkernyit heran mendapati semua orang di kelasnya terburu-buru menyalin dari sebuah buku bersampul merah.
“Oi, Kido! Lo udah ngerjain PR Matematika, belum?” tanya Hayati.
“PR Matematika?” mata Kido membulat sempurna, panik. Dia bergegas mengeluarkan buku PR dan alat tulis, lalu ikut menyalin dari buku bersampul merah yang entah milik siapa.
Belum sempat Kido menulis jawaban nomor 1, bel sekolah berdering lancang. Semua siswa kelas XI IPS-F mempercepat gerak tangan mereka untuk menyalin PR.
“Oi, Bu Tutik datang!” seru Hayati memperingatkan sambil berlari menuju bangkunya.
Siswa-siswa yang lain segera berlarian ke tempat duduk masing-masing. Kido masih asyik menyalin PR. Namun, Kolel merebut buku bersampul merah yang tengah Kido salin.
“Woi, gue belum selesai, nih!” Kido menggebrak meja.
“Kalau Bu Tutik tahu keberadaan buku ini, bisa-bisa kita sekelas dihukum lagi. Jadi, mendingan gue amankan.” Kolel melipat buku tipis tersebut dan memasukkannya ke kaus kaki.
“Selamat pagi, Anak-Anak,” sapa Bu Tutik sambil berjalan ke meja guru.
“Selamat pagi, Bu,” jawab sebagian siswa. Sebagian lagi asyik dengan diri sendiri.