Kido duduk di hadapan penghulu bersama Yura. Di sekeliling mereka sudah ada kedua orangtua Kido, Pak Jodi dan Bu Lisa. Juga, orangtua Yura, Pak Subroto dan Bu Bita. Tentu saja, ada kakek mereka, Pak Gunawan dan Pak Budi, serta beberapa orang saksi.
“Kek ...,” rengek Kido.
“Enggak usah merengek. Kamu harus bertanggung jawab atas perbuatanmu!” bentak Pak Gunawan.
Walau enggan, Kido akhirnya mengulurkan tangannya. Percuma terus merengek kepada kakeknya.
“Saya nikahkan dan kawinkan Roykido Suryasalim bin Jodi Suryasalim dengan Alyura Dinata binti Subroto Dinata dengan maskawin uang senilai 10 juta rupiah dan seperangkat alat shalat dibayar tunai.”
“Saya terima nikah dan kawinnya Alea Kiswari ...,” Kido tercekat.
“Alyura Dinata bukan Alea Kiswari,” tegur salah seorang saksi.
“Huuuuu!” sorak para saksi lainnya.
Kido meringis malu. Pak Penghulu menggelenggeleng. Baru kali ini, dia menjumpai pengantin pria yang keliru menyebut nama calon istrinya sendiri.
“Saya nikahkan dan kawinkan Roykido Suryasalim bin Jodi Suryasalim dengan Alyura Dinata binti Subroto Dinata dengan maskawin uang senilai 10 juta rupiah dan seperangkat alat shalat dibayar tunai.”
“Saya terima nikah dan kawinnya Subroto Dinata binti Alyura ....” Kido tercekat.
“Kebaliiik!” para saksi kembali berseru.
Yura memutar malas kedua bola matanya. Pak Penghulu menarik napas, kemudian mengembuskannya, mencoba meredam emosi. “Baiklah. Ulangi lagi.”
“Maaf, ya, Pak.” Kido menyeringai seolah tak berdosa.
“Saya nikahkan dan kawinkan Roykido Suryasalim bin Jodi Suryasalim dengan Alyura Dinata binti Subroto Dinata dengan maskawin uang senilai 10 juta rupiah dan seperangkat alat shalat dibayar tunai.”
“Saya terima nikahnya Alyura Dinata binti Subroto Dinata dengan Mas Su’eb ...,” Kido kembali tercekat.
“Maskawiiin ..., bukan Mas Su’eb,” tegur para saksi mulai emosi.
Satu jam kemudian, barulah Kido berhasil mengucap ijab kabul.
“Kalian tidak boleh satu kamar sebelum usia kalian 17 tahun,” ujar Pak Budi.
“Iya, Kek. Lagian, aku juga ogah tidur sama dia.” Yura menunjuk Kido dengan dagunya.
Setelah akad selesai, mau tidak mau, Yura tinggal di rumah Kido sesuai adat keluarga mereka.
“Yura, mulai sekarang, ini kamar kamu.” Pak Gunawan membuka sebuah pintu kamar untuk Yura. Kamar tersebut terletak berhadapan dengan kamar Kido.
Yura terbelalak kaget, mulutnya menganga lebar. Dia mengedarkan pandangan ke sekeliling. Sebuah kamar luas dengan dekorasi serba-pink berpadu ungu yang sangat girly. Kamar tersebut sangat luas, mungkin tiga kali lebih luas daripada kamar Yura.
“Empat bulan lagi, usia Kido 17 tahun. Lima bulan lagi, kamu juga sudah 17 tahun. Kakek sudah menyiapkan sebuah rumah agar kalian bisa tinggal bersama,” jelas Pak Gunawan.
“Tinggal berdua? Sama dia?” Yura menunjuk Kido.
“Iya. Sama Kido. Masa, sama Mang Ujang.”
“Tapi ....”
“Enggak ada tapi-tapian, Yura. Kalian sudah suami istri. Sudah sewajarnya kalian tinggal bersama saat usia kalian sudah dewasa,” potong Pak Budi.
Pak Budi, Pak Subroto, dan Bu Bita pulang ke rumah setelah menitipkan Yura di keluarga Pak Gunawan Suryasalim. Yura tentu saja sedih, mengingat dia masih suka bermanja-manja dengan kedua orangtuanya.
“Ya, ampun! Gue lupa, besok harus ngumpulin PR Bu Tutik.” Yura mengambil buku dan berusaha menyelesaikan PR dari Bu Tutik. Dia tak mau dihukum.
Yura menghela napas lega setelah berhasil menyelesaikan PR Matematika. Dia mematikan semua lampu kamarnya, lalu merebahkan diri di atas kasur dan menarik selimut. Tak sampai 2 menit, dia sudah tertidur pulas.
Kido menghentikan game yang dimainkannya. Dia teringat PR Bu Tutik. Tentu saja, PR tersebut belum dia kerjakan satu soal pun. Kido menaruh ponselnya dan bergegas mengerjakan PR. Awalnya, dia begitu semangat, tapi setelah memb aca soal pertama, dia mendadak putus asa.
Di rumah, kan, enggak ada siapa-siapa. Kakek ada meeting mendadak. Mama sama Papa baru aja pergi ke Cikampek. Tinggal gue sama Yura di rumah. Gue yakin, dia udah ngerjain PR dari Bu Tutik.
Kido keluar dari kamarnya, menengok ke kanan dan ke kiri. Setelah memastikan tidak ada orang, dia memasuki kamar Yura. Kido menelan ludah melihat betapa gelapnya kamar Yura. Dia menyalakan lampu senter ponselnya untuk penerangan dan berjalan ke arah meja belajar Yura. Mata Kido berbinar ketika melihat buku PR Yura di atas nakas.
“Siapa itu?” tanya Yura, mengagetkan Kido.
Kido membalikkan badan, senter ponsel sengaja dia arahkan ke atas untuk menyinari wajahnya. Yura berteriak histeris. Dia spontan melempar apa pun yang bisa dilempar.
“Hantuuu!” Yura melempar bantal, guling, lalu jam beker.
“Oi, oi! Gue bukan hantu,” Kido kelabakan menghindari lemparan Yura. Dia segera menyalakan lampu kamar agar Yura berhenti melempar.
“Kido? Ngapain lo di kamar gue?”
“Gue ... gue ....” Kido terbata-bata.
“Jangan-jangan, lo ....” Yura membelalak.
“Eh, Cupu! Jangan mikir yang aneh-aneh. Gue enggak nafsu sama lo. Gue ke sini cuma mau nyontek PR.” Kido memperlihatkan buku yang diambilnya.
“Enggak boleh! Lo enggak boleh nyontek PR gue. Balikin!” Yura menghampiri Kido dan merebut bukunya.
“Mbak Lala sama Bang Mamat. Yaela, pelit amat.” Kido merebut buku PR Yura.
“Balikin!” Yura mencoba mengambil buku PR-nya yang diangkat Kido tinggi-tinggi.
“Coba aja kalau bisa.”