Kilas Balik

Wiwit Widianti
Chapter #3

Dua

Sebelumnya.

Bagi Eva, hidup adalah siklus tetap. Tak ada yang berbeda dari hari-harinya, sesaat setelah Ibunya mengatakan bahwa Eva harus keluar sekolah karena tidak ada biaya.

Ayahnya sudah meninggal dunia dalam kecelakaan saat ia masih menginjak bangku kelas 2 SMA. Saat itu, hanya Ayah Eva yang menjadi tulang pungung keluarga. Semenjak saat itu, Kakak Evalah yang menjadi pungung keluarga.

Awalanya semua berjalan dengan baik, meski Eva tidak lagi mempunyai jatah uang bekal ke sekolah. Namun, semakin hari keluarganya semakin kekurangan karena harus membaya uang spp Eva yang nilainya lumayan.

Maka, dengan hati yang berat akhirnya Eva berhenti sekolah. 

Ia membantu Ibunya untuk mengurus pekerjaan rumah. Mencuci baju, piring, dan masak semua Eva lakukan. Semuanya berjalan hingga 2 tahun kemudian, titik bosan itu mendatangi hidupnya.

Ia menatap tubuhnya di cermin. Dan, saat itu barulah Eva sadari bahwa tubuhnya berubah menjadi kecil sekali. Pipi temben yang awalnya terasa kenyal saat dicubit, kini hanya menyisakan tulang dan kulit wajahnya yang kusam. Selain itu, tangannya yang awalnya lembut sekarang berubah menjadi kasar.

Selama 2 tahun ini, betapa datarnya hidup Eva. Betapa membosankannya hidupnya.

Entah ini hanya perasannya saja, atau ini benar-benar terjadi. Tapi, Ibunya dan Kakaknya terlihat bahagia. Setiap malam menjelang, mereka berdua barulah pulang. Biasanya mereka selalu menenteng kresek-kresek besar. 

Eva tidak tahu apa isinya. Dia juga tidak mau tahu.

Hari ini, pada Senin. Ketika hujan turun ke bumi. Terlepas dari peristiwa yang selalu menghantuinya tiap malam, Eva memberanikan dirinya untuk keluar rumah. Perempuan itu bosan terus menerus berada di rumah, dengan tumpukkan pekerjaan rumah yang tiada habisnya.

Ia akan mencari udara segar, di sela-sela hujan yang turun begitu deras.

Kapan terakhir kali Eva merasakan rintikan hujan? Jawaban dari pertanyaan itu Eva tahu persis. Namun, tak berniat menjawabnya.

Kakinya mulai merasa air hujan yang sudah bercampur dengan tanah. Kedua tangannya, ia bebaskan untuk merasakan setiap rintikan hujan. Eva terdiam untuk beberapa saat. Ia mengatur napasnya yang memburu. Semuanya akan baik-baik saja, peristiwa kelam tentang hujan tempo hari tak akan terjadi lagi.

Ia mulai berlari menelusuri jalan di perumahan padat penduduk. Ia tak peduli akan tubuhnya yang semakin bergetar ketika air hujan membuat tubuhnya mendingin. Ia tahu tubuhnya sangat sensitif dengan dingin, tapi Eva memilih untuk tidak peduli.

Perempuan itu berhenti beberapa menit kemudian. Kembali mengatur napasnya, hingga kemudian pandangannya jatuh pada seorang lelaki yang tergeletak di persimpangan jalan.

Eva segera berlari kearah keberadaan si lelaki. Ada banyak lebam pada wajahnya, ia sudah dipukuli. Pikir Eva.

Lihat selengkapnya