Kilau Terakhir

samSara
Chapter #2

één


*Cerita ini awalnya berlatar di Hoogere Burgerschool (HBS) Semarang, sekolah lanjutan 5 tahun setara SMP-SMA, khusus untuk kalangan siswa(i) Eropa, Tionghoa, dan Pribumi elit.*

_________________________________

**

Sang Poetri dari Tanah Warisan.

**

9 tahoen kemoedian.

Semarang, 1927 — Hoogere Burgerschool (HBS)

Bunyi lonceng pagi berdentang panjang, menggema di antara dinding kolonial sekolah yang berdiri megah sejak zaman Cultuurstelsel atau Tanam Paksa. Murid-murid berseragam rapi, rok lipit, jas abu tipis, dan sepatu kulit mengkilap berlarian memasuki ruang kelas yang jendelanya besar-besar, menghadap taman bougenville yang dirawat nyonya-nyonya Belanda setiap Senin pagi.

Para murid perempuan bergincu halus dan mengenakan pita-pita pastel di rambut, sementara para murid lelaki menyelipkan sisir tanduk di saku baju dan menyumpal surat cinta di dalam buku pelajaran Bahasa Belanda.

Di tengah dunia kecil itulah sosok wanita muda berjalan.

RUTH Daryanegara.

Langkahnya tidak terburu. Tidak pula terlalu anggun. Tapi setiap detik dia melangkah, dunia seperti memberi ruang. Seolah segala yang berdesakan pun rela mundur selangkah demi gadis priayi itu. Kilau sepatunya, pita tipis di rambutnya, bahkan cara ia menatap orang seperti sedang mengukur harga mereka: apakah pantas ia balas bicara... atau cukup dibiarkan lenyap seperti kabut pagi.

"Ruth," panggil seorang gadis lain dari jendela kelas. "Ada surat dari Herman!"

Ruth tidak berhenti. Tidak menoleh. Hanya tersenyum tipis sambil membalas,

"Geef hem maar aan de vuilnisbak."

(Berikan saja ke tempat sampah.)

Gadis-gadis di koridor terkekeh.

Ruth tidak pernah membaca surat cinta. Ia menerima bunga, menerima jam tangan emas, bahkan selendang batik sogan dari putra residen. Tapi tidak pernah surat. Ia benci kata-kata manis dari orang yang tidak cukup kuat untuk menatap matanya langsung.

"Berlagak anggun," gumam seorang murid lelaki sambil mencoret-coret meja.

Mungkin banyak yang membencinya dalam diam, namun tatapan mereka tak pernah lepas darinya.

Bagi para lelaki, rasa itu terombang-ambing antara ingin memilikinya atau justru membencinya.

Dan bagi perempuan, entah ingin membencinya juga... atau diam-diam berharap bisa menjadi sepertinya.

Lihat selengkapnya