
**
✨Jang Satoe Loepa, ✨
✨Jang Satoe Menjimpan Bara.✨
**
SATYA Praboeningrat.
Namanya memang Satya Praboeningrat.
Tapi di sekolah, ia cukup Satya saja—pemuda pendiam yang selalu duduk paling belakang dan mencatat paling cepat. Sepatunya yang sudah usang dan bajunya disetrika sendiri setiap pagi. Rambutnya tidak disisir minyak kelapa seperti murid-murid priayi, tapi rapi. Tak satu pun dari mereka tahu siapa dia. Dan itu lebih baik.
Nama Satya tidak tercantum dalam daftar murid saat tahun ajaran dimulai. Ia datang pada tahun ketiga, tanpa upacara penyambutan, hanya ditemani seorang guru tua dan secarik surat dari Kantoor voor Inlandsche Aangelegenheden—Kantor Urusan Pribumi.
Ia adalah peserta Program Anak Cemerlang Boemipoetera—beasiswa baru yang katanya hanya diberikan pada satu dari seribu anak. Anak yang bukan hanya cerdas, tapi juga tahan tempaan hidup.
Tapi tidak ada yang benar-benar peduli. Di sekolah ini, yang paling dihormati bukanlah kecerdasan... tapi silsilah dan nama belakang.
Tidak ada yang tahu, ia pernah melihat Ruth bertahun-tahun lalu—seorang anak perempuan kecil yang menyodorkan kue klepon ke mulut temannya, lalu tertawa lepas saat lelehan manis itu pecah dan menodai gigi dengan warna coklat. Bahkan saat kecil pun, Ruth sudah seperti api kecil yang suka melukai orang hanya untuk kesenangan. Tapi Satya tetap menatapnya saat itu.
Dan sejak hari itu, entah kenapa, wajah anak perempuan itu tak pernah benar-benar pergi dari ingatannya.
Sekarang, Ruth sudah remaja.
Lebih berkilau dari yang ia bayangkan.
Tapi juga lebih kejam.
Ia tahu, dalam banyak cara... Ruth takkan pernah mencintai orang seperti dirinya.
Tapi tak apa.
Ia tidak sedang menunggu cinta.
Ia sedang menunggu waktu yang tepat.
**
Tak ada yang tahu apa yang ada di pikiran Satya ketika ia duduk di pojok kelas. Tapi Wira menoleh sekilas, menilai pemuda itu.
"Stil," gumamnya. "Maar gevaarlijk."