
**
✨Goela Di Oedjoeng Ratjoen.✨
**
Langit Hoogere Burgerschool (HBS) pagi itu terlalu tenang. Seperti lukisan cat air yang lupa diberi hujan. Angin lembut menyentuh dedaunan ketapang yang berguguran di taman belakang sekolah, membawa aroma tanah dan serpih-serpih getah dari batang pohon tua yang retak oleh waktu.
Di tengah halaman, sekelompok siswa berkumpul. Tertawa. Bergurau. Suara mereka menggema, tapi seperti biasa yang paling nyaring berasal dari satu orang: Ruth Daryanegara.
Ruth bukan jenis gadis yang keras suara. Tapi setiap kali ia berbicara, ruang seperti ikut condong padanya.
Ia sedang bercerita sesuatu, mungkin tentang kejadian lucu di kelas tari minggu lalu, atau kisah seorang guru yang salah menulis aksara Belanda. Satya tidak bisa mendengar jelas dari jauh. Tapi ia bisa membaca sorot mata orang-orang di sekeliling Ruth: mereka semua tidak keberaran dijadikan bahan tertawaan.
Di tengah lingkaran tawa itu, salah satu temannya—Lydia—mendekatkan mulutnya ke telinga Ruth sambil berbisik setengah menggoda, "Hé, heb je het gemerkt? Die nieuwe jongen kijkt zo vaak naar je."
(Hei, kau sadar tidak? Anak baru itu sering sekali melihatmu)
Tawa kecil meletup di sekeliling mereka.
Yang lain, Marieke, langsung menimpali sambil menutup mulutnya dengan buku catatan, "Ah, jelas. Dia naksir kamu, Ruth. Siapa sih yang tidak?"
Beberapa yang lain mengangguk, menyorongkan wajah penuh rasa ingin tahu, menunggu respon sang pusat lingkaran.
Ruth tidak langsung menjawab. Ia merapikan pita biru pucat di rambutnya, lalu tersenyum tipis—senyum yang lebih mirip kemenangan ketimbang rasa malu. "Naksir aku? Tentu saja," katanya ringan, seolah-olah hal itu tak perlu diperdebatkan. "Kalau aku jadi dia pun, aku juga akan jatuh hati pada diriku."
Tawa meledak lebih keras, kali ini bukan hanya karena lelucon, tapi karena mereka semua memang terbiasa melihat Ruth mengucapkan kalimat yang tak seorang pun bisa sangkal.
Dan di kejauhan, dari balik pilar, Satya masih menatap. Ia tidak mendengar jelas kata-kata Ruth, tapi melihat bagaimana semua orang memandangnya—seolah ia memang benar-benar pusat semesta.
Dan Ruth melakukannya dengan elegan.
Ia berdiri anggun, dengan pita biru pucat yang mengikat rambutnya. Seragamnya sempurna. Sepatunya bersih. Kulitnya seputih amplop-undangan dari keluarga priyayi. Ruth tidak perlu menjadi yang paling cantik di antara mereka. Ia cukup tahu bahwa ia adalah yang tak tersentuh.
Dari balik pilar koridor sekolah, Satya Praboeningrat berdiri diam. Menyender. Melihat.
Sudah berapa lama ia memperhatikan Ruth seperti itu? Ia sendiri tidak ingat. Sejak bulan pertama? Sejak hari ia duduk di bangku belakang kelas, atau sejak lebih jauh lagi.
Dan gadis itu berjalan melewatinya tanpa menoleh?
Satu kenangan kecil menyusup seperti asap: rumah besar dengan jendela tinggi. Seorang anak perempuan berdiri di balkon atas, mengenakan gaun putih, diam memandangi jalan. Satya kecil yang ikut kakeknya mengantar sayuran berhenti sejenak. Mereka saling menatap hanya sepersekian detik.