
**
✨Satoe Langkah Ke Arah Jang Salah.✨
**
Sekolah seperti Istana Harapan—tempat para anak priayi menapaki mimpi dengan anggun, dan anak rakyat biasa hanya menumpang bayangan. Di sinilah Ruth Daryanegara berjalan layaknya ratu tak bertakhta: disambut lirikan kagum, diiringi bisik kekaguman, dan dielu-elukan dalam tiap helaan napas mereka yang berharap bisa mendekat, meski setapak pun.
Satya Praboeningrat? Ia bahkan tak punya kenangan untuk diingat.
Setiap pagi, Satya datang lebih awal dari siapa pun. Sepatunya tetap usang, rambutnya tetap tidak berminyak, tapi disisir dengan rapi. Ia duduk di pojok kelas, di balik tembok kerumunan dan hiruk-pikuk teman sebaya yang bicara soal pesta ulang tahun, mobil keluarga, dan liburan ke Batavia.
Ia tak bicara banyak, tapi matanya selalu bicara. Terutama saat memandangi Ruth.
Kadang ia berdiri di tangga aula, pura-pura membaca. Padahal hanya ingin melihat Ruth lewat.
Kadang ia menawarkan membantu memindahkan peralatan saat Ruth selesai main piano—tapi Ruth hanya mengangguk singkat tanpa benar-benar menatapnya. Satya pun mengurungkan niat menyapa. Ia cukup berdiri di belakang, memastikan Ruth tidak tersandung, memastikan pintu dibukakan, memastikan langit tidak terlalu panas.
Dan itu cukup. Untuk sementara.
Karena dalam diamnya, Satya menyimpan satu hal: ia percaya akan tiba waktunya. Waktu di mana mata Ruth menoleh ke arahnya, bukan ke Wira, bukan ke dunia gemerlap yang selalu melindunginya.
Ia hanya butuh satu momen.
Tapi Ruth... Ruth tidak melihatnya. Bahkan saat mereka bersisian di koridor, atau saat dia secara tak sengaja menaruh pulpen Ruth yang jatuh di mejanya, Ruth hanya menerima tanpa kata, tampa tatap, tanpa syukur.
Ruth sibuk dengan dunia kecilnya—yang penuh glamor, rencana pesta dansa, dan ambisi untuk jadi paling bersinar. Dan Wira? Ia seperti bayangan yang menempel pada Ruth: selalu tahu harus berkata apa, selalu ada di sisinya, dan entah mengapa, Satya tak pernah menyukainya.
Bukan karena iri, bukan juga karena Wira mungkin menyimpan rasa—melainkan karena Wira terlalu licin. Ia menyembunyikan sesuatu.
Dan Satya, yang sejak kecil terbiasa membaca bahasa diam, tahu ada sesuatu di balik senyum Wira pada Ruth. Entah rasa, entah racun.
**
Pada suatu sore, ketika matahari condong ke barat dan aula seni mulai sepi, Satya melihat Ruth duduk sendiri. Jari-jarinya menggeser not balok, tapi wajahnya tampak jemu. Rambutnya disanggul setengah, dan suara langkahnya menggema pelan.
Satya sempat maju tiga langkah.
Lalu berhenti.
Tangannya ingin mengetuk piano, menyapa.